Bisnis.com, JAKARTA — Pakar menyebut Indonesia memiliki dua sumber pembiayaan yang dapat mendukung realisasi program Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 100 GW yaitu pungutan ekspor batu bara dan pembiayaan asing.
Kepala Peneliti SUSTAIN Indonesia Adila Isfandiari menerangkan dengan menaikkan pungutan ekspor batu bara sekitar 5% pada 2026, Indonesia berpotensi meraup penerimaan negara sekitar Rp20 triliun–Rp90 triliun per tahun sehingga dapat membiayai 18.000 desa.
“Kedua, Belt and Road Initiative (BRI) China di mana jika Rp 14,4 triliun per tahun dialokasikan untuk pengembangan energi terbarukan, dapat membiayai 32 proyek setara PLTS Cirata,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (14/12/2025).
Tak hanya itu, menurut dia, untuk merealisasikan target 100 GW, pemerintah juga mesti membuat regulasi yang mendukung, salah satunya pengalokasian pembiayaan khusus untuk program ini di APBN (earmarked).
“Selain itu, pemerintah juga perlu menciptakan iklim investasi yang baik untuk pengembangan manufaktur solar dalam negeri dan PLTS, yakni dengan memberikan kepastian proyek dan insentif yang menarik,” jelasnya.
Sementara itu, Climate Program Manager Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Kiara Putri Mulia mewanti-wanti pemerintah agar tidak hanya terpaku pada target besar, tetapi juga menghadirkan solusi ihwal bagaimana sistem ketenagalistrikan dapat menyerap energi terbarukan.
Baca Juga
- METI Kritisi Program PLTS 100 GW, Biaya Produksi Listrik Bisa Melonjak
- SUN Energy Tawarkan Solusi PLTS Tanpa Modal Awal untuk Industri
- KEEN Garap PLTS Tobelo 10 MW Mulai Kuartal II/2026
Indonesia disebutnya dapat mencontoh dua negara lain yang telah berhasil meningkatkan energi surya dengan kapasitas besar, yakni India dan Vietnam. Kapasitas PLTS India pada 2010 dan Vietnam pada 2019 masih sangat rendah.
Namun dengan kebijakan yang mendukung, kapasitas PLTS di dua negara tersebut melonjak cepat hingga melampaui yang telah ditargetkan.
“India memiliki kementerian khusus yang menangani new and renewable energy, ada juga BUMN khusus, artinya butuh entitas yang men-deliver target-target ini,” tuturnya.
Adapun, Vietnam mereformasi sistem ketenagalistrikannya dari yang tadinya state control dengan membukanya menjadi feed in tariff.
“Dalam kaitannya dengan Indonesia, target 100 GW ini bisa menjadi transformasi sistem energi kita jadi lebih bersih dan bisa menciptakan kesejahteraan,” pungkasnya.




