FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara, Prof Mahfud MD kembali menegaskan sikap kritisnya terhadap terbitnya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 10 Tahun 2025 yang membuka peluang bagi anggota Polri untuk menduduki 17 jabatan sipil.
Mahfud menegaskan bahwa pandangannya tersebut ia sampaikan bukan dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, melainkan sebagai akademisi dan pembelajar ilmu hukum.
“Saya menjawab ini tidak sebagai anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, tetapi sebagai seorang yang menjadi peminat dan pembelajar ilmu hukum,” kata Mahfud dikutip pada Minggu (14/12/2025).
Ia menjelaskan, pertanyaan yang masuk kepadanya berkaitan langsung dengan implikasi hukum dari Perkap Nomor 10 Tahun 2025 yang dinilai membuka ruang penempatan anggota Polri di jabatan-jabatan sipil.
Dikatakan Mahfud, Perkap tersebut secara jelas bertentangan dengan setidaknya dua undang-undang yang berlaku.
“Perkap Nomor 10 Tahun 2025 ini bertentangan dengan dua undang-undang,” tegasnya.
Undang-undang pertama yang disebut Mahfud adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam undang-undang tersebut, khususnya Pasal 28 ayat (3), diatur bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil apabila yang bersangkutan mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Di dalam Pasal 28 ayat (3) disebutkan bahwa anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil itu hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun,” jelas Mahfud.
Ia menegaskan, ketentuan tersebut bukan sekadar norma biasa, melainkan telah diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi.
“Ketentuan terbatas ini sudah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114 Tahun 2025,” ungkapnya.
Selain itu, Mahfud menyebut Perkap tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama ketentuan yang mengatur pengisian jabatan sipil oleh unsur militer dan kepolisian.
“Undang-Undang ASN menyebut bahwa jabatan-jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan anggota Polri sesuai dengan yang diatur di dalam Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri,” kata Mahfud.
Ia menjelaskan bahwa Undang-Undang TNI telah secara tegas mengatur jabatan-jabatan sipil tertentu yang boleh diisi oleh prajurit aktif.
“Undang-Undang TNI sudah mengatur, adanya 14 jabatan yang kalau diperluas menjadi 16, sudah mengatur bahwa TNI bisa ke situ,” imbuhnya.
Namun, kata Mahfud, hal serupa sama sekali tidak ditemukan dalam Undang-Undang Polri.
“Tapi Undang-Undang Polri sama sekali tidak menyebut jabatan-jabatan yang bisa diduduki oleh Polri,” tegasnya.
Berdasarkan hal tersebut, Mahfud menyimpulkan bahwa jika memang diperlukan pengaturan terkait penempatan anggota Polri di jabatan sipil, maka regulasi tersebut harus ditempatkan pada level undang-undang, bukan sekadar peraturan internal kepolisian.
“Dengan demikian, ketentuan Perkap itu, kalau memang diperlukan, harus dimasukkan di dalam undang-undang,” kata Mahfud.
Ia menegaskan, pengaturan jabatan sipil tidak bisa dilakukan hanya melalui Perkap.
“Tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap, jabatan sipil itu diatur,” kuncinya. (Muhsin/fajar)





