Denda Tabrak Babi di Barito Timur

kumparan.com
1 hari lalu
Cover Berita

Status wartawan tetap mendarat di tangan saya pertengahan 2011, disusul penugasan (pengasingan) ke Barito Timur, Kalimantan Tengah. Bagi saya, yang terbiasa menghirup polusi dan hiruk pikuk ibu kota provinsi, daerah ini adalah dimensi lain—lengkap dengan mati listrik berhari-hari dan warung makan yang tutup lebih awal.

Di tengah ‘jetlag' budaya’ itu, sebuah kejadian tak terlupakan terjadi, yang seketika mengubah perspektif saya tentang yurisprudensi Indonesia; saya meliput kecelakaan lalu lintas yang melibatkan seorang pemotor dan seekor babi.

Awalnya saya kira ini kasus kecelakaan biasa, urusan asuransi (kalau ada) dan ganti rugi materil beres di tempat. Ternyata, realitas hukum di sini berbuntut sangat panjang, melebihi antrean sembako murah zaman dulu. Pemotor itu harus mendapatkan denda adat, sebuah hukum yang mengikat kuat dalam sendi budaya adat Suku Dayak di DAS Barito.

Di sinilah kelucuan hukum dimulai, yang membuat saya bertanya-tanya, “di pasal KUHP mana ini diatur? Ini masuk kategori force majeure (keadaan kahar) atau force porci (keadaan babi)?”

Mari kita bedah ‘pasal-pasal’ tak tertulis ini. Di mata hukum negara (KUHP Warisan Belanda), babi mungkin hanya objek materil. Paling banter masuk Pasal 490 (merusak barang) atau urusan lalin (Pasal 28 UU LLAJ). Dendanya mungkin receh, seharga secangkir kopi di Starbucks, atau mungkin setara biaya parkir overstay di bandara.

Namun, di mata hukum adat Dayak di Barito Timur, ceritanya berbeda drastis. Babi bukan sekadar babi. Babi adalah mata uang, babi adalah simbol status, dan babi betina, oh, babi betina adalah private equity jangka panjang yang menghasilkan dividen babi-babi baru! Sebuah aset bergerak yang sangat bernilai.

Tentu saja bagi saya saat itu, situasi pelaporan ini memusingkan, meski sinyal telepon satelit putus-putus, perjuangan banget kayak sinyal forex di pasar yang volatil, saya kontak redaktur, Bos Top [1]. Selain Redaktur, beliau ini adalah mentor segala urusan.

“Jadi, Fit [2], dendanya berapa pastinya?” tanya Bos Top, suaranya terdengar pecah di ujung sana. “Ini masuk kriminal apa perdata? Judulnya jangan aneh-aneh!”

“Puluhan juta, Bos! Bisa sampai belasan atau dua puluh juta untuk babi betina!” jawab saya, setengah berteriak. “Ini bukan kriminal atau perdata, ini sui generis, hukum adat! Validitas data tinggi, ini menyangkut budaya adat Suku Dayak di DAS Barito!”

“Gila! Lebih mahal dari harga motor yang nabrak. Pastikan datanya valid, jangan salah tulis, ini soal adat. Sensitif,” pesannya, menekankan pentingnya akurasi liputan adat, meski dia sendiri bingung mau memasukkan berita ini ke rubrik mana. Mungkin rubrik ‘Investigasi Gaib’?

Untuk memastikan keabsahan ‘pasal’ babi ini, saya menemui Pak Mantir, salah satu tokoh adat setempat yang disegani. Beliau menjelaskan duduk perkaranya dengan tenang, sambil mengisap rokok lintingnya yang mengepul santai.

“Betul, Nak. Denda ini namanya singer [3],” jelas Pak Mantir [4]. “Ini bukan soal harga daging babi di pasar swalayan, tapi soal tabe [5] (permisi), menjaga harmoni kampung, mengganggu keseimbangan sosial, dan spiritual. Kalau tidak bayar denda, roh gaib bisa murka, dan itu lebih repot dari urusan polisi. Dendanya mahal karena nilai spiritualnya tinggi.”

Ada nuansa hukum ekonomi yang cerdas di sini. Berdasarkan penjelasan Pak Mantir, ada perbedaan signifikan antara menabrak babi jantan dan betina.

Babi Betina; Nilai dendanya jauh lebih mahal karena nilai reproduksinya di masa depan. Menabrak betina sama dengan memotong rantai pasokan ‘mata uang’ adat. Ini jelas pelanggaran HAKI (Hak Asasi Keturunan Induk Babi) yang serius, sebuah kerugian inkubasi!

Babi Jantan; Dendanya cenderung lebih ‘biasa’.

Yang diterapkan adalah Hukum Adat Dayak yang hidup. Sifatnya bukan penjara, melainkan penggantian kerugian yang tujuannya mulia; mengembalikan keseimbangan. Bentuk dendanya pun khas; bisa berupa uang tunai, gong (tawaq) [6], belanga (tajau) [7], atau bahkan kerbau.

Di Tamiang Layang, Ibu Kota Barito Timur, “Pasal Nabrak Babi” ini adalah pasal karet yang benar-benar bisa membuat dompet pengemudi melar hingga puluhan juta Rupiah, setara harga satu unit sepeda motor baru yang dia kendarai. Pasal ini lebih efektif bikin kapok daripada tilang elektronik, atau mungkin daripada surat cinta dari Ditjen Pajak. Sungguh sebuah kearifan lokal yang cerdas.

Di tengah kebingungan saya memahami pasal-pasal unik ini, saya bertemu dengan Bapak Khairul Anam, kepala sekolah di SMAN 1 Tamiang Layang saat itu. Beliau adalah mentor dadakan saya, yang mengajarkan saya pentingnya menyama (menyatu) [8] dengan masyarakat lokal.

Pelajaran dari Pak Anam dan ‘kasus babi’ itu membuat saya menyadari satu hal; Indonesia ini adalah mozaik raksasa yang kaya akan khasanah bangsa. Hukum adat, dengan segala kearifan lokalnya, adalah bukti nyata bahwa keadilan bisa mengenakan jubah yang berbeda di setiap daerah. Dan terkadang, denda seekor babi betina di Tamiang Layang jauh lebih mahal dan bikin kapok daripada mencuri pasal di ibu kota. Case closed.

Catatan kaki;

[1] Fit: di lingkungan redaksi, status karyawan tetap datang sepaket dengan ‘inisial reportase’ yang melekat seumur hidup. Nama saya Fahruddin Fitriya, jadi Bos Top dengan jenaka menganugerahi saya panggilan (fit)

[2] Bos Top: Setelah saya meminta izin, yang bersangkutan mengizinkan identitas aslinya diungkap; Topan Nanyan (top), beliau adalah redaktur sekaligus mentor pertama saya di redaksi yang sangat berjasa.

[3] Singer: Sanksi atau denda adat Dayak untuk pelanggaran tatanan adat (misal: menabrak babi).

[4] Mantir: Tokoh adat yang dihormati dalam struktur hukum adat Dayak di wilayah DAS Barito.

[5] Tabe: Etika atau sopan santun yang berarti permisi, salam hormat, atau meminta izin.

[6] Gong (Tawaq): Benda adat Dayak bernilai tinggi, berfungsi sebagai alat musik dan alat pembayaran denda adat.

[7] Belanga (Tajau): Guci/vas antik Dayak, simbol kekayaan dan status, sekaligus alat pembayaran denda adat yang sah.

[8] Menyama: Filosofi sosial Dayak yang berarti menyatu atau membaur dengan masyarakat lokal dan budayanya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Akui Tekanan di SEA Games 2025, Basral Graito Bersyukur Terbayar dengan Medali Emas
• 20 jam lalutvonenews.com
thumb
Pemerintah Aceh Kirim Surat ke PBB Minta Bantuan, Begini Respons Mendagri
• 3 jam lalusuara.com
thumb
Pemprov DKI Bentuk Tim Investigasi Kebakaran Kramat Jati
• 13 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Bayi 6 Bulan di Ciputat Tangsel, Tewas Usai Dilempar Ayah Kandung
• 7 jam lalukumparan.com
thumb
Rupiah Menguat di Pembukaan Perdagangan, Pasar Bersikap Wait and See Jelang Rilis Data Ekonomi
• 12 jam lalupantau.com
Berhasil disimpan.