Emiten milik Hashim Djojohadikusumo, PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI), membukukan kinerja moncer sepanjang Januari–September 2025. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, laba bersih periode berjalan yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk melonjak 71,03% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp 260,09 miliar pada kuartal III 2025, dibandingkan Rp 152,07 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Merujuk laba bersih, maka laba per saham dasar WIFI pada periode ini mencapai Rp 105,54 per lembar. Nilai ini naik dari Rp 64,54 per saham pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Tak hanya itu, emiten layanan internet tersebut juga meraup pendapatan usaha bersih sebesar Rp 1,01 triliun. Torehan itu meroket 100,99% yoy dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 504,95 miliar pada 2024.
Secara rinci, pendapatan WIFI paling besar ditopang oleh segmen telekomunikasi sebesar Rp 739,44 miliar hingga September 2025. Sisanya berasal dari segmen periklanan sebesar Rp 276,67 miliar.
Di samping itu, beban pokok pendapatan tercatat sebesar Rp 325,42 miliar, sehingga laba bruto per September 2025 naik 124,16% menjadi Rp 689,48 miliar, dari sebelumnya Rp 307,58 miliar pada periode yang sama 2024.
Selanjutnya, beban umum dan administrasi WIFI tercatat sebesar Rp 155,42 miliar, sementara pendapatan lain-lain mencapai Rp 40,18 miliar. Dengan demikian, laba usaha WIFI per 30 September 2025 meningkat 127,18% menjadi Rp 574,24 miliar, dibandingkan Rp 252,77 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Hingga kuartal III 2025, WIFI juga mencatatkan penghasilan keuangan sebesar Rp 40,21 miliar, melonjak dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp 446 juta. Sementara itu, biaya keuangan tercatat sebesar Rp 204,59 miliar. Adapun laba sebelum pajak penghasilan WIFI per 30 September 2025 mencapai Rp 409,85 miliar, tumbuh 127,77% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 179,94 miliar.
Sejalan dengan itu, laba neto periode berjalan yang berakhir pada 30 September 2025 menjadi Rp 330,18 miliar. Torehan tersebut meningkat 108,13% yoy dari Rp 158,64 miliar pada periode yang sama tahun 2024.
Aset dan Ekuitas Meroket, Struktur Permodalan WIFI Makin SolidDari sisi neraca, total aset WIFI melesat 331,32% menjadi Rp 12,54 triliun per 30 September 2025, dibandingkan posisi 31 Desember 2024 sebesar Rp 2,91 triliun. Ekuitas WIFI juga meroket 749,90% dari Rp 969,84 miliar menjadi Rp 8,18 triliun. Kenaikan ini mendorong rasio ekuitas terhadap total aset mencapai 65,28%, mencerminkan struktur permodalan WIFI yang solid.
Di sisi lain, total liabilitas meningkat 124,69% menjadi Rp 4,35 triliun, dengan porsi terhadap total aset sebesar 34,72%. Adapun rasio pengungkit per 30 September 2025 tercatat negatif di level (0,17), yang menunjukkan posisi liabilitas neto lebih rendah dibandingkan kas dan setara kas.
Direktur WIFI, Shannedy Ong, menjelaskan kenaikan beban bunga dipicu oleh lonjakan utang obligasi perseroan yang meningkat dari Rp 600 miliar menjadi Rp 2,5 triliun. Seluruh dana tersebut digunakan untuk membiayai ekspansi usaha sehingga mendorong total aset perusahaan melonjak hingga Rp 12,5 triliun.
Ia mengakui kenaikan beban bunga yang tercermin dalam laporan keuangan kuartal III 2025 memang memberikan tekanan terhadap laba bersih dalam jangka pendek. Menurutnya, dana sebesar Rp 2,5 triliun tersebut merupakan modal kerja produktif yang diinvestasikan sejak awal untuk mematangkan pembangunan infrastruktur jaringan baru.
“Pasar bereaksi terhadap tekanan laba sesaat ini, tetapi kami yakin investasi ini adalah pondasi untuk ‘panen raya’ pendapatan di kuartal-kuartal mendatang,” ujar Shannedy Ong dalam keterangan resminya, dikutip Senin (15/12).
Shannedy Ong juga menyoroti bahwa pengakuan global terhadap fundamental WIFI belum sepenuhnya tercermin dalam valuasi pasar. Hal ini tercermin dari masuknya perusahaan telekomunikasi asal Jepang, NTT East, sebagai pemegang saham di anak usaha WIFI, PT Integrasi Jaringan Ekosistem (IJE), pada Juli 2025.
Menurutnya, kemitraan strategis dengan NTT East merupakan validasi jangka panjang atas potensi bisnis dan kualitas aset WIFI. Namun, karena kerja sama tersebut baru dimulai pada awal kuartal III 2025, dampak sinergi operasional, alih teknologi, hingga peningkatan efisiensi jaringan belum berdampak langsung.
Selain itu, Shannedy menyebut pasar belum sepenuhnya memasukkan nilai kemitraan ini ke dalam valuasi perseroan karena kontribusinya terhadap kinerja laba membutuhkan masa inkubasi sekitar enam hingga 12 bulan.
“Ini adalah katalisator pertumbuhan masa depan, bukan sekadar suntikan dana sesaat,” ujarnya.




