Kekerasan berbasis jender hadir dengan wajah baru dengan memanfaatkan teknologi informasi. Dalam beberapa tahun terakhir, ruang digital menciptakan banyak celah baru bagi terjadinya kekerasan berbasis jender, di mana perempuan menjadi korban yang paling rentan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menemukan, bentuk kasus kekerasan berbasis jender daring yang paling sering terjadi adalah ancaman penyebaran konten intim, yang seringkali disertai pemerasan, baik untuk uang maupun konten seksual lain.
Dari semua kasus, peningkatan signifikan sepanjang tahun 2024 adalah kasus morphing atau rekayasa foto/video menjadi konten seksual. “Dan kita bisa tahu sendiri bahwa korbannya paling banyak adalah perempuan,” ujar Wida Arioka dari Divisi Kesetaraan dan Inklusif SAFEnet dalam Webinar Pra-Kongres Nasional VI Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), pada Sabtu (13/12/2025).
Wida menginformasikan, kekerasan berbasis jender daring paling banyak terjadi pada perempuan. Dari 1.902 aduan, 54 persen datang dari perempuan. Kasus yang paling banyak terjadi adalah ancaman penyebaran konten intim. ”Pelakunya belum menyebarkan konten intim dari si korban, tapi sudah mengancam akan menyebarkan konten intim korban,” katanya.
Selain itu, ada juga ancaman yang disertai oleh pemerasan, entah pemerasan untuk uang atau pemerasan untuk konten intim lain yang pelaku ingin korban lakukan.
Di luar itu, ada juga kasus di mana konten sudah disebarkan di platform-platform digital. Terakhir adalah kasus morphing/ rekayasa foto atau video menjadi konten seksual.
Bentuk kekerasan lain termasuk ujaran kebencian, doxing (penyebaran data pribadi), creep shot (foto/video diam-diam di ruang privat atau publik untuk tujuan seksual), impersonasi, dan pengambilalihan akun tanpa izin.
“Kita bisa melihat bagaimana perempuan masuk ke ruang digital itu, kemudian malah menjadi celah-celah kekerasan di mana perempuan dilanggar privasinya, ada juga yang sampai dirusak kredibilitasnya,” ujar Wida.
Tak berhenti di situ, sejumlah perempuan menjadi korban pelecehan dan ancaman menuju kekerasan melalui komentar kasar, ujaran kebencian, hingga trolling (tindakan mengunggah atau berkomentar daring untuk memancing orang lain), yang tujuannya memang untuk mengontrol tubuh perempuan.
Wida juga menyoroti bagaimana perempuan yang aktif di ruang digital, termasuk mereka yang memperjuangkan HAM, memiliki kerentanan yang sangat tinggi. Kerentanan ini juga meluas ke ibu rumah tangga yang menjadi tokoh publik, di mana data pribadi mereka dan anak-anaknya disebarkan karena urusan politik.
Modus baru yang muncul antara lain job scam (jebakan bagi perempuan pencari kerja dengan permintaan foto diri yang memperlihatkan tubuh) dan love scam atau honey trap (menjebak perempuan mapan untuk pemerasan uang).
Perempuan yang aktif di ruang digital, termasuk mereka yang memperjuangkan HAM, memiliki kerentanan yang sangat tinggi.
Kekerasan berbasis jender di ranah daring berdampak psikologis, sosial, hingga ekonomi. Dampak psikologis berupa ketakutan, kecemasan, bahkan mengakhiri hidup (bunuh diri) seperti yang terjadi pada 2023. Sementara dampak sosialnya adalah korban takut berekspresi atau mengurung diri. Adapun dampak ekonomi berupa pemerasan atau dikeluarkan dari pekerjaan/sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik lembaga.
“Kita tahu bahwa ketika misalnya perempuan menjadi korban penyebaran konten intim, mereka mungkin saja akan dikeluarkan dari pekerjaannya atau dikeluarkan dari sekolah karena dianggap turut mencemarkan nama baik lembaga mereka,” tutur Wida.
Meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan lebih dari tiga tahun, implementasinya di lapangan masih menghadapi tantangan serius, mulai dari lemahnya peraturan pelaksana hingga ego sektoral antarlembaga penegak hukum.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2020-2024 Siti Aminah Tardi menilai, hanya sebagian kecil kekerasan berbasis jender daring yang diakomodasi UU TPKS. Sebagian besar kasus tersebar dan dapat dijerat melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), KUHP, dan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
”Sayangnya, upaya saat pembahasan revisi UU ITE dan UU PDP untuk memunculkan hak korban dan memasukkan tubuh perempuan ke dalam data pribadi tidak berhasil,” ujarnya.
Karena itu, perlu intervensi sistem peradilan untuk mengatasi kekerasan berbass jender di seluruh peradilan di Indonesia. Intervensi ini mutlak perlu menggunakan lensa analisis jender dan lensa korban.
Ia mencontohkan, dalam konteks hukum perdata, salah satu tantangan adalah tidak terkoneksinya hukum keluarga (seperti diatur dalam hukum perdata dan UU Perkawinan) dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Padahal, korban kekerasan dalam rumah tangga seringkali lebih memilih bercerai daripada jalur pidana.
Karena itulah, isu kekerasan terhadap perempuan harus dilihat secara menyeluruh sebagai kekerasan berbasis jender terhadap perempuan yang berakar struktural dan sistemik. Bahkan, penggunaan istilah kekerasan berbasis jender dan femisida perlu didorong untuk menunjukkan kedalaman permasalahannya.
Menurut Siti Aminah, kekerasan tidak hanya disimplifikasi sebagai kekerasan seksual, melainkan memiliki empat bentuk utama, yaitu kekerasan fisik (yang paling ekstrem, dapat berakhir dengan pembunuhan atau femisida), kekerasan seksual, kekerasan psikologis, dan kekerasan ekonomi.
Keempat bentuk kekerasan tersebut terjadi di tiga ranah, yakni personal (lingkup rumah tangga atau keluarga), publik, dan negara. Kekerasan di ranah negara seringkali diabaikan, padahal bentuknya bisa berupa serangan langsung atau pengabaian.
UU TPKS memang mengadopsi kebutuhan perlindungan korban, namun implementasinya di daerah belum optimal dan hanya dapat mengakomodasi sebagian kecil dari bentuk-bentuk kekerasan berbasis jender di ranah daring.
Soal proses perlindungan korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual berbasis elektronik atau daring, Siti Aminah menyoroti prosesnya yang berpotensi panjang, terutama terkait dengan penghapusan konten digital.
Tahapan penghapusan konten dan/atau pemutusan akses informasi elektronik yang diatur Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2025 tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual, panjang dan membutuhkan persetujuan banyak pihak.
Proses ini dinilai lama, sementara laju penyebaran konten kekerasan berbasis jender daring terjadi begitu cepat dan tidak terbatas ruang/waktu.
Kunci mengatasi tantangan perlindungan di ruang digital, menurut Wida, ialah peningkatan pengetahuan manusia (literasi digital, privasi, dan konsen bagi perempuan), teknologi yang harus berperspektif jender (moderasi konten yang kuat), serta kebijakan yang berperspektif jender dan digital.
”Kita tahu bahwa teknologi itu masih sangat maskulin. Nah, bagaimana caranya supaya teknologi ini juga bisa berperspektif jender,” ujar Wida.
Wida menambahkan, implementasi UU TPKS dan UU ITE perlu berperspektif jender dan digital karena kekerasan berbasis jender daring bisa terjadi kapan saja.
Selain kekerasan berbasis jender daring, kekerasan verbal juga perlu menjadi perhatian.Menurut Ema Husein, Presidium Nasional Kelompok Kepentingan Profesional KPI, batasan kekerasan adalah sesuatu yang membuat seseorang tidak merasa nyaman.
Kekerasan menjadi serius apabila dimaksudkan untuk merendahkan seseorang atau mencoba untuk melakukan kontrol terhadap seseorang, yang kemudian berdampak pada psikis korban.
Karena itu, Ema menekankan bahwa kekuatan untuk menolak harus dibangun pada korban dan masyarakat, terutama dalam relasi kuasa yang tidak adil, di mana korban merasa tidak mampu menolak.




