Korupsi dalam timbangan Islam bukan hanya sekadar pelanggaran hukum positif, melainkan juga bentuk kejahatan moral yang berdampak luas pada keberkahan sebuah bangsa. Dalam berbagai literatur, Islam menempatkan korupsi sebagai tindakan ghulul, yakni pengkhianatan terhadap amanah publik.
Oleh karena itu, memahami korupsi dalam timbangan Islam menjadi penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, terutama ketika korupsi terus ditemukan di berbagai sektor pemerintahan.
Dalam perspektif Islam, korupsi tidak dapat dilepaskan dari konsep amanah. Setiap pemimpin, pejabat publik, maupun pelaksana kebijakan memiliki tanggung jawab untuk menjaga harta publik, sebagaimana ia menjaga hartanya sendiri. Al-Qur’an memberikan peringatan tegas: “Barang siapa berbuat ghulul, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang ia curi” (QS. Ali Imran: 161). Ayat ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya kesalahan administratif, melainkan juga dosa besar yang memiliki konsekuensi ukhrawi.
Islam mendorong umat untuk menjauhi segala bentuk penyalahgunaan kewenangan, termasuk suap (risywah), mark-up anggaran, dan pungutan liar. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah SAW melaknatkan pemberi dan penerima suap.
Larangan ini mempertegas bahwa tindakan korupsi adalah bentuk ketidakadilan yang merampas hak orang banyak. Ketika seorang pejabat memakan uang publik, dampaknya dirasakan oleh masyarakat luas: akses kesehatan tersendat, pendidikan terbengkalai, dan pembangunan menjadi mandek.
Dari sisi sosial, korupsi menciptakan ketimpangan yang merusak. Dalam pandangan ulama seperti Ibn Khaldun, negara yang pemimpinnya kehilangan integritas akan mengalami keruntuhan moral yang diikuti krisis ekonomi.
Ketika pejabat lebih mengutamakan keuntungan pribadi, roda pemerintahan tidak lagi berjalan berdasarkan pelayanan, melainkan transaksi. Hal ini bertentangan dengan prinsip maqashid syariah yang menempatkan perlindungan harta (hifz al-mal) sebagai tujuan utama hukum Islam.
Lebih jauh—dalam konteks spiritual—korupsi menggerogoti keberkahan. Keberkahan dalam pandangan Islam tidak hanya berupa kekayaan materi, tetapi ketenteraman, stabilitas, dan kemanfaatan. Negara yang aparatnya terlibat korupsi akan sulit mendapatkan keberkahan tersebut karena hilangnya nilai kejujuran dan amanah. Bahkan, para ulama sering menyebut bahwa harta haram menjadi penyebab doa tidak dikabulkan, rezeki terhenti, dan munculnya berbagai bencana sosial.
Islam juga memberi perangkat solusi. Konsep tazkiyah al-nafs atau penyucian diri menjadi langkah awal untuk membentuk pribadi yang jujur dan amanah. Nilai-nilai pesantren seperti adab, sifat qana’ah, dan sikap wara’ harus ditanamkan kembali dalam lingkaran pemimpin dan aparatur negara. Dalam konteks modern, penerapan sistem hisbah yang mengontrol jalannya kebijakan publik perlu diperkuat melalui lembaga pengawasan yang transparan.
Pendekatan Islam terhadap pemberantasan korupsi bukan hanya represif, melainkan juga preventif. Syariah menginginkan kondisi di mana korupsi tidak hanya dihukum, tetapi dicegah agar tidak tumbuh. Oleh sebab itu, pendidikan moral berbasis nilai Islam perlu diintegrasikan ke dalam sistem birokrasi melalui pelatihan etika, komitmen amanah, dan sistem reward punishment yang adil.
Selain itu, membangun budaya malu (haya’) menjadi kunci penting. Dalam banyak kajian fikih sosial, hilangnya budaya malu merupakan pintu masuk berbagai kejahatan moral. Pejabat yang malu untuk mengkhianati amanah, malu terhadap rakyat, dan malu kepada Allah akan berpikir panjang sebelum melakukan korupsi. Ini adalah nilai yang seharusnya menjadi basis etika kepemimpinan Muslim.
Dengan demikian, pemberantasan korupsi harus dilihat sebagai bagian dari ibadah sosial. Ketika seorang pemimpin bekerja dengan jujur, ia tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi melakukan ibadah yang pahalanya berlipat. Demikian pula, ketika seorang pejabat menolak suap atau gratifikasi, ia telah menjauhkan dirinya dari dosa besar sekaligus menjaga hak publik.





