Di balik viralnya foto masjid pondok pesantren yang dikelilingi gelondongan kayu sisa material bencana ekologis di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, terselip kisah tragis para santri dan guru. Peristiwa mencekam itu membuat tidak ada lagi buku dan perlengkapan belajar yang tersisa. Kini, santri dan guru hanya pasrah, entah kapan aktivitas belajar mengajar bisa kembali dimulai.
Pada Sabtu (13/12/2025) pukul 12.00 WIB, Nur Khairunnisa (13) menyusuri lorong yang dipenuhi lumpur setinggi 30 sentimeter. Perempuan yang kerap dipanggil Anisa itu berupaya sekuat tenaga melangkahi lumpur yang berulang kali menyedot kakinya. Setelah itu, sampailah dia di satu ruangan yang terdapat gundukan lumpur.
Tanpa rasa jijik, Anisa menyingkirkan lumpur tebal itu dengan tangannya. Kemudian, tampaklah sejumlah kain di balik lumpur tersebut. Sekuat tenaga ditariknya satu per satu kain yang menempel erat dengan lumpur. Setelah mencoba mengeluarkan beberapa helai kain, tangannya kelelahan. Dia berhenti sejenak untuk menarik nafas.
Usai tenaganya kembali terkumpul, Anisa berusaha lagi mengkais kain yang terbenam di lumpur. Tiba-tiba, aura wajah Anisa berubah. Kerut wajah karena berusaha fokus dan menahan lelah sirna oleh senyum terkembang dari bibirnya. Senyumnya semakin lebar seiring gerak tangan yang semakin cepat untuk menarik sehelai kain dari dalam lumpur.
Anisa mengingat, corak dan warna kain itu mirip dengan baju gamis yang dimilikinya. Setelah kain itu dikeluarkan dan diseka dari lumpur, perkiraan Anisa tepat. Itu adalah baju gamis kesayangannya.
Dia pun tak kuasa menahan bahagia, lantas segera keluar dari ruangan tersebut, walau hanya satu pakaian yang didapatnya. "Ini gamis favorit saya karena modenya sesuai selera saya dan nyaman dipakai," ujar Anisa.
Itu adalah secukil kisah Anisa yang berusaha mencari harta-bendanya yang bersisa di asrama putri yang terletak di lantai dua salah satu gedung Pondok Pesantren Darul Mukhlisin di Kampung Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang. Pesantren itu menjadi salah satu tempat yang terdampak paling parah usai bencana ekologis melanda Aceh Tamiang, Rabu (26/11/2025).
Selain ditutupi lumpur tebal, ribuan gelondongan kayu sisa material bencana menumpuk di sekeliling masjid pesantren tersebut. Kondisi itu menjadi salah satu visual paling epik mengenai bencana di Aceh Tamiang maupun Aceh. Visual itu mengingatkan kepada Masjid Lampuuk di Aceh Besar yang menjadi satu-satunya bangunan tersisa di antara bangunan lain yang rata tanah karena disapu tsunami pada 2004.
Anisa mengatakan, sebenarnya ada puluhan pakaian yang dibawanya selama tiga tahun mondok di pesantren. Namun, nyaris tidak ada yang tersisa, kecuali satu gamis yang baru ditemukan tersebut. Pakaian lainnya diprediksi hanyut terbawa derasnya banjir bandang.
"Saya baru hari ini bisa naik ke asrama ini karena air dan lumpurnya sudah surut. Kalau kemarin-kemarin, air dan lumpur tidak bisa ditembus. Tadi, saya sudah berusaha mencari ke beberapa tempat, tapi sulit menemukan pakaian di balik lumpur. Mungkin, ada yang tersisa tapi masih tenggelam di lumpur, atau memang sudah hilang dibawa banjir," ucap santri kelas 3 tingkat SMP tersebut.
Selain pakaian, semua buku dan peralatan belajar milik Anisa tidak ada yang selamat. Semuanya sudah tidak tahu di mana rimbanya. Apalagi, saat bencana terjadi, Anisa dan penghuni pesantren lainnya hanya berpikir segera menyelamatkan diri. "Selain gamis yang baru ditemukan ini, yang bersisa dari harta-benda saya hanya pakaian dan sandal yang dipakai saat mengungsi," katanya Anisa.
Anisa masih ingat betul bagaimana detik-detik saat bencana melanda pesantrennya. Sebelum bencana terjadi, Aceh Tamiang diguyur hujan tiga hari tiga malam. Saat itu, air pelan-pelan naik dan menggenangi sejumlah bagian kompleks pesantren.
Semula, para santri maupun guru menganggap itu sebagai banjir musiman. Lagi pula, banjir bukan barang baru di sana karena sebagian wilayah pesantren berada di kontur tanah rendah.
Namun, suasana menjadi mencekam pada Selasa (25/11/2025) tengah malam. Ketika itu, hujan turun disertai dengan angin ribut. Angin itu bertiup sangat kencang hingga menimbulkan suara mirip siulan. Bahkan, pohon-pohon di sekitar pesantren ada yang bertumbangan.
"Saat itu, saya sempat terbangun dari tidur karena listrik padam. Saya dengar angin bertiup semakin kencang dan menyaksikan air banjir lebih tinggi dari biasanya. Airnya juga berarus sangat deras," tuturnya.
Karena banjir semakin tinggi hingga nyaris menggenangi sebagian lantai dasar, semua santri diinstruksikan pindah ke asrama lantai atas pada Rabu pagi. Anisa menjadi salah satu santri yang ikut pindah.
Ternyata, berada di lantai atas pun tidak aman karena banjir terus naik hingga hampir menenggelamkan lantai dasar. Karena itu, semua santri dan guru meninggalkan pesantren untuk mengungsi ke rumah berlantai dua milik salah satu sesepuh pesantren. Rumah itu dianggap aman karena berada di lokasi berkontur tanah lebih tinggi.
Kali ini, keputusan mereka tepat. Sebab, mereka pergi sebelum seisi pesantren tenggelam dan dihantam ribuan gelondongan kayu yang rata-rata berukuran raksasa. Bahkan, rumah berlantai dua tempat mereka mengungsi seperti pulau kecil bagi orang-orang yang terdampar di tengah laut lepas. Sebab, semua bangunan berlantai satu di sekeliling rumah itu dilalap banjir hingga hanya tampak bagian atap.
Kengerian itu tidak hanya dirasakan sehari, melainkan berhari-hari lamanya. "Kami baru bisa keluar dari tempat mengungsi di hari ketiga setelah bencana. Saat itu, air berangsur surut dan cuaca lebih cerah," ujar Anisa.
Bukan hanya banjir yang membuat suasana mencekam, pikiran santri dan guru semakin kalut karena listrik maupun jaringan komunikasi putus total. Mereka stres karena tidak bisa saling berkabar dengan sanak-keluarga, terutama orangtua dan saudara.
Bahkan, Anisa baru berjumpa dengan ayahnya pada Sabtu (29/11/2025). Ayah Anisa berjalan kaki menerobos genangan air dan lumpur yang masih bersisa selama kurang lebih 12 jam demi memastikan anaknya selamat. Dia berjalan kaki sekitar 30 kilometer dari Alur Jambu, Babo, Aceh Tamiang, dan sempat naik perahu untuk menyeberangi sungai karena ada jembatan putus.
Pertemuan itu membuat duka yang dirasakan Anisa maupun ayahnya terobati. "Rumah kami juga terdampak. Meski masih berdiri, semua isi rumah kami rusak terkena air dan lumpur. Tapi, saya bersyukur karena kedua orangtua dan kedua adik saya selamat. Ayah memberikan kabar melegakan itu setelah kami berjumpa," kata Anisa.
Selain gamis yang baru ditemukan ini, yang bersisa dari harta-benda saya hanya pakaian dan sandal yang dipakai saat mengungsi
Kepala Sekolah SMA Pesantren Darul Mukhlisin, Mahmuri (38), mengatakan, bencana kali ini adalah bencana terbesar yang pernah disaksikannya. Sebab, selama ini, banjir hanya melanda sebagian kompleks pesantren dengan ketinggian paling parah sekitar 1 meter. Namun, kali ini, banjir menyebabkan semua bagian pesantren tenggelam hingga ketinggian 3-4 meter.
"Bukti betapa tingginya banjir dapat dilihat dari jejak air yang menempel di dinding bangunan dan sisa lumpur di lantai. Bekas banjir tersisa hingga lantai dua bangunan. Bisa dibayangkan, jarak dari lantai dasar ke lantai kedua bangunan ini bisa mencapai 3-4 meter," ujarnya.
Akibat bencana itu, semua perlengkapan belajar-mengajar tidak ada yang bisa dipakai lagi. Buku, alat elektronik, kursi, meja, hingga dokumen sekolah, semuanya rusak karena terendam air dan lumpur. Banyak pula peralatan yang tak bersisa atau hilang karena tersapu derasnya air banjir.
"Hampir semua peralatan belajar mengajar disimpan di lantai satu. Akibatnya, tidak ada peralatan yang selamat. Bahkan, alat-alat yang berada di lantai dua juga banyak yang rusak karena air dan lumpur mencapai lantai dua di beberapa bangunan yang berada di tanah tidak terlalu tinggi," kata Mahmuri.
Bagi Mahmuri, bencana kali ini bukan sekadar takdir Tuhan. Dia menilai, hal itu tidak lepas dari ulah perbuatan manusia yang merusak lingkungan. Ribuan gelondongan kayu yang membanjiri sekeliling kompleks pesantren buktinya. Kayu-kayu itu diyakini tidak mungkin bertumbangan sendiri jika tidak karena telah dirobohkan lebih dahulu.
"Semoga bencana ini menjadi pelajaran untuk semua pihak agar lebih peduli dan menjaga lingkungan. Kalau kesadaran itu tidak tumbuh, bencana serupa mungkin saja akan terjadi lagi di kemudian hari," tutur Mahmuri.
Terlepas dari itu, semua santri dan guru berharap dampak bencana segera tertangani. Mereka berharap ada bantuan untuk segera membersihkan sisa lumpur tebal dan ribuan gelondongan kayu yang masih menutupi pesantren. Mereka pun menanti semua peralatan belajar-mengajar yang sirna segera ada gantinya.
"Sekarang, 215 orang santri dari tingkat SMP hingga SMA, serta 70 orang guru masih diliburkan untuk waktu yang belum bisa dipastikan. Sebagian dari mereka juga ada yang harus mengungsi karena kehilangan rumah akibat bencana kemarin. Entah kapan kami bisa kembali memulai aktivitas belajar-mengajar di sini, semoga saja bisa secepatnya," ujar Mahmuri.
Berdasarkan data Posko Terpadu Pemerintah Aceh, hingga Minggu (14/12/2025) pukul 19.00 WIB, dunia pendidikan Aceh menjadi salah satu sektor yang paling terpukul sesuai bencana terjadi. Paling tidak, tercatat 305 sekolah dan 431 pesantren mengalami kerusakan akibat bencana tersebut.
Juru Bicara Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh Murthalamuddin mengatakan, sekolah dan pesantren yang rusak itu tersebar di 18 kabupaten/kota yang terdampak dari total 23 kabupaten/kota di Aceh. Kendati kelanjutan pendidikan sangat penting, dia tidak ingin memasang target khusus kapan sekolah terdampak harus memulai kembali aktivitas belajar mengajar.
Murthalamuddin yang juga Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Aceh memberikan ruang kepada sekolah untuk menentukan sendiri kapan mereka siap memulai kembali aktivitasnya. "Kita tidak bisa memaksa sekolah untuk segera kembali beraktivitas karena banyak sekolah yang mengalami rusak parah dan siswa maupun guru ikut terdampak hingga harus turut mengungsi," katanya.
Sejauh ini, Pemerintah Aceh telah melapor kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah agar memberikan bantuan tenda untuk dijadikan sekolah darurat. Mereka pun meminta agar diberikan izin bagi siswa dan guru untuk sementara pindah ke sekolah lain yang masih aman.
Selain itu, Pemerintah Aceh terus mengupayakan percepatan pemulihan sekolah terdampak. Salah satu caranya dengan mengajukan akselerasi dan perubahan pemanfaatan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Sebelumnya, akses pemanfaatan dana BOS sangat terbatas.
Dengan kondisi darurat saat ini, akses pemanfaatan dana BOS pun diharapkan lebih fleksibel. Dana itu diharapkan bisa digunakan untuk menyediakan tempat belajar-mengajar darurat dan membeli pengganti perlengkapan sekolah yang rusak.
Dalam rencana anggaran biaya (RAB) sekolah selama ini, dana BOS tidak boleh digunakan untuk membeli tenda. Sekarang, dana itu diminta bisa digunakan untuk membeli tenda demi menyediakan tempat pembelajaran darurat.
Kuota anggaran membeli buku yang hanya 10 persen, misalnya, perlu dinaikkan hingga 30 persen demi mengganti buku-buku pelajaran yang rusak tak bersisa. "Kami harap pemerintah pusat memberikan dukungan penuh untuk pemulihan dunia pendidikan di wilayah terdampak bencana," ungkap Murthalamuddin.
Jangan biarkan dunia pendidikan di wilayah terdampak bencana lebih lama lumpuh. Sebab, keberlanjutan aktivitas belajar-mengajar bukan hanya untuk memastikan pendidikan siswa di wilayah terdampak tidak tertinggal, tetapi juga untuk menjaga senyum para siswa seperti Anisa yang baru saja kembali terkembang.





