Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Kementerian Kehutanan (Kemenhut), menemukan modus pencucian kayu (timber laundering) dalam penyidikan terhadap sejumlah pemegang hak atas tanah (PHAT) di Sumatra Utara. Penyidikan ini dilakukan untuk mengungkap jaringan pelaku perusakan kawasan hutan yang berpotensi berkontribusi terhadap terjadinya banjir bandang dan longsor.
Direktur Pencegahan dan Penanganan Pengaduan Kehutanan, Yazid Nurhuda, mengatakan penyidikan awal telah dilakukan terhadap satu subjek hukum PHAT berinisial JAM. JAM ini diduga memanen hasil hutan tanpa izin. Perbuatan tersebut berpotensi dikenakan sanksi pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp 3,5 miliar sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pengembangan penyidikan juga menjangkau dua PHAT lainnya berinisial M dan AR. Terduga M diduga menerima kayu bulat ilegal dari kegiatan pemanenan tanpa izin. Adapun terduga AR terindikasi melakukan penebangan di luar areal PHAT miliknya. Analisis citra satelit menunjukkan adanya aktivitas penebangan di wilayah hulu Sungai Batangtoru seluas sekitar 33,04 hektare.
Yazid menambahkan, terduga AR juga disinyalir melakukan pencucian kayu (timber laundering), dengan mencampur kayu ilegal dari luar areal PHAT dengan kayu dari dalam areal berizin agar dapat masuk ke pasar resmi. “Modus timber laundering ini menjadi fokus utama pengembangan penyidikan kami,” ucap Yazid.
Dwi Januanto Nugroho, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, mengatakan pengembangan perkara ini menunjukkan komitmen Ditjen Gakkum dalam menegakkan hukum kehutanan secara menyeluruh, bukan hanya menindak pelaku di lapangan, tetapi juga membongkar skema kejahatan yang memungkinkan hasil hutan illegal masuk ke dalam sistem perdagangan resmi. Penegakan hukum dilakukan sesuai kerangka peraturan perundang-undangan yang berlaku.




