Tidak banyak orang yang benar-benar siap ketika identitasnya dijadikan bahan olok-olok di ruang publik. Terlebih jika hal itu terjadi di media sosial, tempat sebuah ucapan bisa berlipat ganda dampaknya hanya dalam hitungan jam. Apa yang awalnya mungkin dianggap sebagai candaan, tiba-tiba berubah menjadi luka kolektif. Itulah yang dirasakan banyak warga Sunda ketika sebuah video dari YouTuber Resbob, atau Adimas Firdaus, beredar luas dan memuat pernyataan yang merendahkan orang Sunda serta komunitas Bobotoh dan Viking.
Bagi sebagian penonton, video itu mungkin terlihat sebagai konten iseng atau provokasi untuk memancing reaksi. Namun bagi mereka yang identitasnya disentuh secara langsung, kata-kata tersebut terasa jauh dari sekadar hiburan. Ia menyentuh sesuatu yang sangat personal, sesuatu yang dibangun dari sejarah, nilai keluarga, bahasa, dan kebanggaan yang diwariskan turun-temurun. Tidak mengherankan jika dalam waktu singkat, video tersebut memicu kemarahan publik, laporan ke kepolisian, hingga respons dari pihak kampus tempat Adimas menempuh pendidikan.
Peristiwa ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendalam. Apakah kita masih menyadari bahwa di balik layar gawai ada manusia dengan perasaan dan martabat? Ataukah budaya digital telah membuat kita terbiasa menertawakan luka orang lain selama kontennya ramai dan mengundang perhatian?
Ketika Ucapan Menjadi LukaMedia sosial sering dipahami sebagai ruang kebebasan. Setiap orang merasa memiliki hak penuh untuk berbicara, mengekspresikan diri, bahkan melontarkan kritik tanpa batas. Namun kebebasan ini berubah menjadi persoalan serius ketika digunakan untuk merendahkan kelompok etnis. Dalam kasus Resbob, ucapan yang disampaikan bukan hanya menyinggung selera humor, tetapi menyentuh inti identitas sebuah kelompok.
Banyak warga Sunda menyatakan bahwa rasa marah mereka bukan semata karena video itu viral. Yang lebih menyakitkan adalah perasaan direduksi menjadi stereotip. Identitas etnis bukan sekadar sebutan administratif. Ia hidup dalam keseharian, dalam cara berbicara dengan orang tua, dalam tradisi, dan dalam rasa bangga terhadap asal-usul. Ketika semua itu dijadikan bahan ejekan, yang terluka bukan hanya individu, tetapi juga memori kolektif sebuah komunitas.
Luka semacam ini tidak dapat disembuhkan dengan kalimat permintaan maaf yang defensif. Ungkapan seperti “tidak ada niat menyinggung” sering kali terdengar hampa bagi mereka yang sudah telanjur tersakiti. Yang dibutuhkan adalah pengakuan bahwa kata-kata memang memiliki daya rusak. Bahwa sebuah ucapan bisa meninggalkan bekas jauh lebih lama daripada durasi video itu sendiri.
Kreator Konten dan Tanggung Jawab yang Sering DilupakanDi tengah persaingan ketat dunia digital, banyak kreator terdorong untuk tampil ekstrem. Algoritma media sosial sering kali memberi panggung lebih besar pada kontroversi daripada empati. Dalam situasi ini, batas moral menjadi kabur. Namun kasus Resbob mengingatkan bahwa ketika seseorang memiliki audiens, posisinya tidak lagi netral.
Seorang kreator konten tidak lagi berbicara hanya untuk dirinya sendiri. Ia berbicara sebagai figur yang berpotensi membentuk cara pandang publik. Terutama bagi anak muda, apa yang mereka lihat di layar sering kali dijadikan rujukan tentang apa yang dianggap wajar. Ketika penghinaan terhadap identitas etnis dinormalisasi, kekerasan verbal pun ikut dilegitimasi.
Di sinilah pentingnya kesadaran etis. Kreativitas seharusnya tidak mengorbankan martabat manusia. Kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan tanpa tanggung jawab. Jika ruang digital dibiarkan menjadi tempat merendahkan orang lain, maka ia kehilangan fungsi sosialnya sebagai ruang dialog dan pertukaran gagasan.
Respons kampus yang mempertimbangkan sanksi menunjukkan bahwa pendidikan memiliki peran lebih dari sekadar transfer ilmu. Kampus bertanggung jawab membentuk karakter dan kepekaan sosial mahasiswanya. Terlebih di era ketika satu unggahan bisa menjadikan seseorang figur publik dalam sekejap.
Hukum Tidak Berdiri SendiriLaporan masyarakat kepada kepolisian menandakan bahwa publik menolak menganggap kasus ini sebagai angin lalu. Ujaran kebencian dipahami sebagai ancaman nyata bagi keharmonisan sosial. Namun penegakan hukum tidak bisa berdiri sendiri. Ia perlu berjalan beriringan dengan peningkatan literasi digital.
Yang dibutuhkan bukan hanya hukuman, tetapi juga pemahaman kolektif bahwa dunia digital tetap memiliki batas moral. Tidak semua yang lucu pantas ditertawakan. Tidak semua yang viral layak ditiru. Setiap ucapan memiliki konsekuensi sosial, dan konsekuensi itu tidak selalu bisa dihapus dengan klarifikasi singkat.
Indonesia adalah negara yang berdiri di atas keberagaman. Setiap suku membawa cerita dan kebanggaannya sendiri. Ketika satu kelompok direndahkan, persatuan ikut tergores. Kasus ini menunjukkan betapa rapuhnya harmoni sosial jika empati tidak dijaga.
Memilih Sikap di Ruang Digital
Kasus Resbob pada akhirnya bukan hanya soal satu video atau satu kreator. Ia adalah cermin bagi kita semua tentang bagaimana identitas kultural diperlakukan di ruang digital. Orang Sunda, seperti kelompok etnis lainnya, memiliki sejarah, nilai, dan martabat yang layak dihormati. Ketika identitas itu dijadikan bahan ejekan, yang terkikis bukan hanya perasaan satu kelompok, tetapi juga rasa saling menghargai sebagai bangsa.
Kini saatnya kita memilih berpihak pada rasa hormat. Dunia digital seharusnya menjadi ruang berbagi gagasan, bukan arena mempermalukan orang lain. Kreator perlu lebih peka terhadap dampak ucapannya, institusi pendidikan perlu lebih aktif membimbing, dan masyarakat perlu berani menegur ketika batas kemanusiaan dilanggar.
Kita mungkin tidak bisa mengubah apa yang sudah telanjur terjadi. Namun kita masih memiliki kendali atas apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Dengan empati, literasi digital, dan kesadaran moral, ruang digital bisa menjadi tempat yang lebih manusiawi. Menghormati identitas orang lain bukan sekadar soal sopan santun. Ia adalah cara kita menjaga diri sebagai bangsa yang ingin tetap utuh di tengah perbedaan.


