Bisnis.com, JAKARTA – Valuasi saham emiten berportofolio energi baru terbarukan (EBT) masih relatif murah dibandingkan dengan peluang pertumbuhan dalam jangka panjang. Kinerja saham ekonomi hijau ini sepanjang tahun juga relatif moderat.
Menggunakan data Bursa Efek Indonesia (BEI) per Jumat (12/12/2025), sejumlah saham EBT tersebut di antaranya PGEO yang harganya naik 24,60% year to date (YtD), memiliki rasio price to earnings atau PE (annualised) 21,36 kali dan price to book value (PBV) 1,46 kali. Lalu, saham KEEN yang naik 77,87% YtD, mempunyai rasio PE 17,70 kali dan PBV 1,31 kali.
Berikutnya, saham emiten yang memulai proyek EBT sebagai diversifikasi bisnis mereka, antara lain ada POWR yang harga sahamnya hanya naik 0,72% YtD dengan PE 8,98 dan PBV 0,93, atau SGER yang naik 11,52% YtD dengan PE 26,77 kali dan PBV 3,02 kali.
Selain itu, ada pula saham emiten EBT yang valuasinya lebih premium dengan rasio PE di atas 100, seperti BREN yang naik 3,23% YtD dengan PE 549,56 kali dan PBV 124,61 kali, kemudian ARKO yang melesat 459,78% YtD mencerminkan PE 237,33 kali dengan PBV 30,30 kali, serta DSSA yang sahamnya melesat 187,16% YtD memiliki PE 211,15 kali dengan PBV 27,65 kali.
Head of Research KISI Sekuritas Muhammad Wafi mengatakan prospek jangka panjang emiten EBT masih terbuka lebar. Menurutnya, valuasi PGEO, KEEN, POWR dan SGER relatif lebih 'murah' jika dibandingkan dengan BREN dan ARKO.
Sementara itu, dia melihat potensi EBT global semakin kuat, yang menandakan upside jangka panjang solid. Menurutnya, emiten EBT punya growth visibility dan risiko hype yang lebih kecil.
"Idealnya [masuk investasi] awal 2026 ketika sentimen suku bunga longgar, capex EBT global naik, dan proyek PLN/IPP makin jelas. Buat investor longterm, akumulasi bertahap dari sekarang juga bisa karena valuasi masih murah dan belum premium," kata Wafi kepada Bisnis, Senin (15/12/2025).
Sebagaimana lazimnya berinvestasi, Wafi mengingatkan bahwa ekspektasi saham-saham EBT akan melesat pesat dalam jangka panjang tak terjamin 100%. Menurutnya, potensi EBT ke depan juga dibarengi dengan risiko-risiko.
"Risiko utamanya adalah regulasi PLN atau pricing yang lambat, IRR proyek turun karena capex mahal, kompetisi teknologi, funding cost naik kalau Fed hawkish lagi, dan eksekusi proyek yang mundur," tandasnya.
Bicara ihwal peluang jangka panjang emiten EBT, perusahaan riset dan konsultan energi global Rystad Energy mencatat porsi energi bersih meningkat dari sekitar 9% pada 2015 menjadi lebih dari 14% pada 2025. Total penambahan kapasitas angin dan surya pada 2024–2025 diperkirakan melampaui 700 GW.
Saat ini, teknologi rendah karbon menarik investasi lebih dari US$900 miliar per tahun, dibandingkan US$735 miliar untuk minyak dan gas. Selisih sebesar US$181 miliar ini diperkirakan melebar menjadi US$391 miliar pada 2030. Aliran modal ini disebut akan menentukan sistem energi dunia pada 2040.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.



