Melestarikan Elang Jawa sang Simbol Negara

kumparan.com
15 jam lalu
Cover Berita

Dua helai jambul di kepalanya berdiri tegak, matanya menatap tajam. Sabtu pagi itu, 13 Desember 2025, sang Raja Dirgantara sudah siap kembali ke habitatnya di hutan. Elang Jawa jantan itu menunggu dilepasliarkan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Sukabumi, Jawa Barat.

Kandang habituasi dengan tutupan terpal dan jaring lantas dibuka. Sang elang melompat dua kali ke arah luar, lalu terdiam. Beberapa saat kemudian, bentangan kedua sayapnya yang sepanjang 1,35 meter mengepak kencang. Elang berusia lebih dari dua tahun itu lanjut mengangkasa dengan gaya terbang layang (gliding).

Ia akhirnya kembali ke alam liar setelah dilepas di Danau Situgunung, TNGGP. Lokasi ini dipilih lantaran dikelilingi bukit yang memang menjadi habitat Elang Jawa. Di sini pun tersedia pakan alami untuk sang elang seperti bunglon dan ular koros.

“Kami namai [Elang Jawa ini] Raja Dirgantara. Jadi [artinya] rajanya udara,” kata Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki usai melepasliarkan sang elang dalam rangkaian acara Tiga Dekade Konservasi Elang Jawa.

Raja Dirgantara sebelumnya menjalani proses rehabilitasi selama 1 tahun 3 bulan di Pusat Konservasi Elang Jawa Cimungkad, bagian dari Balai Besar TNGGP. Ia merupakan elang serahan masyarakat dari Kecamatan Sukanegara, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada September 2024.

Saat itu ia masih berumur kurang dari setahun dengan kondisi jinak dan belum siap dilepasliarkan; bahkan belum bisa memangsa pakan hidup yang jadi pakan alaminya. Sedikit demi sedikit ia dilatih.

“Makannya dulu marmut, tikus, mencit; sebagian pakan alami untuk perawatannya. Saat dipelihara warga, masih (diberi pakan) ayam,” kata Hendro Wirawan, keeper sang elang di Pusat Konservasi Elang Jawa Cimungkad yang lokasinya 45 menit bermobil dari Danau Situgunung.

Setelah dilepasliarkan, Raja Dirgantara bakal dipantau dengan alat GPS tracking untuk memonitor pergerakannya secara real time. Ia diharapkan akan menemukan pasangan dan berkembang biak.

Alat canggih itu bisa memantau pergerakan Raja Dirgantara hingga lima tahun ke depan dengan tenaga matahari.

Elang Jawa Terancam Punah

Spesies elang bernama latin Nisaetus bartelsi itu merupakan hewan endemik di Pulau Jawa. Salah satu yang membedakannya dengan elang-elang lain ialah jambul berdiri di atas kepalanya sebanyak 2–4 helai. Jambul itu membuat Elang Jawa terlihat karismatik.

Konservasi Elang Jawa dimaksudkan untuk menghindari kepunahan, sebab spesies ini masuk dalam Daftar Merah Spesies Terancam Punah oleh Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN Red List). Statusnya sejak 1994 adalah terancam (endangered)—yang artinya hanya tersisa kurang dari 2.500 ekor.

Prakiraan jumlah Elang Jawa dari masa ke masa selalu berubah menurut riset. Pada 1989, Meyburg dkk memperkirakan jumlah Elang Jawa sekitar 50–60 pasang.

Saking sedikitnya jumlah prakiraan tersebut, para peneliti Elang Jawa sebelum tahun 2000-an—yang semuanya peneliti asing—menganggap Raja Dirgantara sebagai elang paling langka di dunia. Namun pada 2016–2017, riset-riset teranyar sempat menaruh estimasi sekitar 615–874 pasang.

Riset Elang Jawa dihitung per pasang karena karakteristik unik hewan ini yang memiliki sarang menetap berupa ranting-ranting berbentuk mangkuk di pohon tinggi. Elang Jawa juga dikenal sebagai hewan monogami yang setia dengan satu pasangan.

“Kalau salah satu individu mati, baik jantan atau betina, nah satunya lagi tidak akan bisa berkembang biak karena dia tidak punya pasangan lain. Jadi setia sepanjang hidupnya,” kata Usep Suparman, peneliti Elang Jawa dan raptor endemik dari Raptor Conservation Society, Sabtu (13/12).

Seiring perkembangan informasi mengenai Elang Jawa dan penggunaan teknologi dalam riset, Guru Besar Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian IPB University Prof Syartinilia memperkirakan jumlah teranyar Elang Jawa kini 511 pasang atau 1.022 individu pada 2019 (riset dipublikasikan pada 2023).

Menggunakan metode species distribution model, Prof Lia—sapaan akrabnya—memetakan sebaran lingkungan yang sesuai, dan memvalidasi keberadaan sarang Elang Jawa pada habitat yang sesuai tersebut. Model ini menemukan adanya 74 tempat (patch) yang mendeteksi kehadiran Elang Jawa pada 2019 dengan luasan 10,8 ribu kilometer persegi.

Prakiraan Lia itu berbeda dari riset yang ia lakukan pada 2008—yang memperkirakan Elang Jawa berjumlah 325 pasang, dengan total 16 patch dari total luasan 2 ribu kilometer persegi.

Seiring meningkatnya angka populasi, luasan habitat, dan jumlah patch dalam riset terbaru, tidak serta-merta dapat ditafsirkan bahwa habitat Elang Jawa makin banyak dan jumlah populasinya meningkat.

Faktanya, menurut Prof. Lia, dengan bantuan teknologi citra satelit yang makin detail, terlihat hutan-hutan di Jawa justru mengalami degradasi. Artinya, tutupan alami di pinggir-pinggir hutan primer rusak, berganti menjadi hutan sekunder.

“Kami coba ulang analisa di 2008 dengan data citra atau satelit yang sama dengan yang kami analisa di 2019 [untuk mengetahui] bagaimana kondisi habitatnya. Ternyata terjadi penurunan [habitat Elang Jawa] 6,5%,” kata Prof Lia.

Konservasi Elang Jawa juga didorong oleh faktor alami spesies itu sendiri. Menurut Usep Suparman yang meneliti Elang Jawa selama hampir 30 tahun, spesies gagah ini memiliki tingkat reproduksi yang lambat meski waktu hidupnya bisa mencapai 35–40 tahun.

“Elang Jawa memang hanya memiliki satu telur [setiap 2 tahun]. Jadi populasinya cukup kecil. Dia juga berkembang biak hanya 2 tahun sekali,” kata Usep di Danau Situgunung. Ini berbeda dengan Elang Laut dan Elang Bondol yang bisa bertelur hingga 2–3 butir.

Dus, Elang Jawa kerap tinggal di hutan sekunder serta pohon yang tinggi. Selain karena rentan terhadap tekanan eksternal (seperti pembangunan), peletakan sarang di ranting pohon yang tinggi juga rawan kerusakan karena bisa terkena hujan dan angin.

Elang Jawa dan Ancaman Manusia

Ancaman terhadap Elang Jawa bukan cuma faktor biologis dan penyusutan hutan semata. Di balik rimbunnya tajuk pepohonan, isolasi habitat menjadi bom waktu yang mengancam keberlangsungan mereka.

Riset Prof Syartinilia mengungkap, dari 74 kantong habitat Elang Jawa yang terpetakan, 30% di antaranya terisolasi (terpisah) dari habitat besarnya karena faktor pembangunan manusia.

Kondisi tersebut berbahaya karena Elang Jawa dewasa membutuhkan teritori sendiri. Ketika mereka terkurung dalam satu kawasan tanpa akses ke populasi lain, bencana genetik mengintai.

“Dia enggak bisa bertukar pasangan [dengan elang di habitat lain) ... Kalau tidak ada pasangan lama-lama akan terjadi inbreeding—perkawinan dengan saudaranya sendiri. Lama-kelamaan efeknya akan menurunkan kualitas genetik, [membuat elang] gampang mati, dan penyakitan,” jelas Prof Lia.

Gunung Muria di Kudus, Jawa Tengah, menjadi saksi nyata fenomena ini. Gunung ini merupakan habitat yang terpisah jauh dari pegunungan utama lainnya di Jawa.

Dalam survei terbaru oleh Burung Indonesia pada Juni–Agustus 2025, ditemukan fakta mengejutkan: di tengah isolasi geografis Gunung Muria, Elang Jawa masih bertahan.

“Ada sekitar 10 individu berbeda dari hasil pengamatan [di Gunung Muria]—6 di antaranya kami duga individu dewasa, dan 4 lainnya remaja,” kata Achmad Ridha Junaid dari Biodiversity Research Officer Burung Indonesia.

Temuan individu elang remaja itu menjadi angin segar, menandakan bahwa populasi Elang Jawa di Gunung Muria masih aktif bereproduksi. Namun, ujar Ridha, habitat di Muria menghadapi tantangan berat, yakni pertanian kopi yang “membersihkan” pohon naungan dengan cara meracun pohon besar.

Ini membuat Elang Jawa kehilangan tempat bersarang.

Jika isolasi habitat adalah pembunuh berdarah dingin yang bekerja lambat, maka perdagangan ilegal adalah pembunuh yang bekerja cepat dan agresif.

Ilham Kurniawan, Unit Manager for WTP East Indonesia dari Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, membeberkan bahwa modus kejahatan ini telah bermigrasi dari pasar burung konvensional ke ranah digital yang sulit terendus.

“Estimasinya, 70%—atau mungkin lebih—perdagangan ilegal satwa liar sudah beralih ke online, dengan 80% transaksi via platform terenkripsi seperti Telegram dan WhatsApp Group,” ujar Ilham.

Para pelaku kini menggunakan sandi khusus untuk mengelabui pantauan aparat dan algoritma media sosial. Untuk Elang Jawa, kata sandi yang kerap digunakan adalah “Garuda”. Mereka menggunakan sistem preorder dengan pembayaran digital yang menggunakan rekening bersama.

Berdasarkan pemantauan WCS dari tahun 2016 hingga 2024, terdapat 154 temuan pelanggaran seperti perdagangan daring/konvensional, pemeliharaan, penyelundupan, dan perburuan terkait burung pemangsa (raptor). Adapun khusus Elang Jawa ada 13 kasus.

Riset Gunawan dkk. (2015) menemukan bahwa harga Elang Jawa dengan panjang tubuh 56–60 sentimeter djual secara ilegal dengan harga USD 89–111 (Rp 1,5–1,85 juta) yang terpantau melalui 38 grup Facebook.

“Para pelaku menjadikan satwa liar ini sebagai aset investasi; kemudian sebagai simbol status, konten, dan sebagai sumber mata pencaharian seperti Adsense dan lain-lain. Kemudian juga sebagai konsumsi spiritual,” tambah Ilham.

Di satu sisi, masyarakat mengagumi Elang Jawa sebagai lambang negara yang gagah. Di sisi lain, sebagian manusia—demi gengsi dan materi—justru menjadi aktor utama yang mendorong burung endemik ini ke tepi jurang kepunahan.

Elang Jawa, Identitas Bangsa yang Perlu Dilestarikan

Di balik ancaman yang mengepung, Elang Jawa memikul beban besar sebagai representasi identitas bangsa. Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki menegaskan, Elang Jawa bukan sekadar predator puncak, melainkan simbol ketahanan ekosistem yang identik dengan lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia: Burung Garuda.

“[Sehingga] ditetapkan sebagai Satwa Langka Nasional melalui Keppres Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional. Penetapan ini merupakan tonggak komitmen negara dalam menjaga keberadaan Elang Jawa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari identitas nasional,” ujar Rohmat.

Kabar baik muncul dari hasil pemodelan habitat yang dilakukan Prof Syartinilia. Meski dikenal sebagai satwa endemik Pulau Jawa, jejak sang Garuda terdeteksi melintasi batas geografis hingga ke Pulau Dewata. Berdasarkan riset terbaru yang ia bimbing, terdapat 14 titik atau patch di Bali yang secara lingkungan sesuai (suitable) sebagai habitat Elang Jawa.

“Dari 14 patch yang memungkinkan itu, saat ini sudah tervalidasi ada kehadiran Elang Jawa di 3 patch. Ini menunjukkan distribusi mereka bisa lebih luas dari yang kita duga sebelumnya jika habitatnya terjaga,” kata Prof Lia.

Prof Lia menambahkan, dari temuan penambahan habitat di Bali dan estimasi kemampuan berkembang biak, sejauh ini jumlah populasi Elang Jawa diprediksi mencapai 645 pasang atau 1.290 individu. Namun, temuan di Bali ini masih perlu diteliti lagi.

Direktur Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) Green Network, Iwan Setiawan, punya hitungan yang lebih optimistis. Dari upaya konservasi selama 3 dekade terakhir, ujarnya, jumlah Elang Jawa diperkirakan mencapai 1.417 ekor—terdiri dari 1.038 ekor yang sudah ada, 353 ekor hasil perkembangbiakan, dan 26 ekor hasil pelepasliaran.

Adapun mengenai temuan Elang Jawa di Bali, kata Iwan, disinyalir berasal dari habitat di Ijen maupun Baluran, Jawa Timur, yang bergeser menyeberangi Selat Bali. Bisa juga merupakan hasil pelepasliaran di Pulau Dewata yang tidak tercatat sehingga perlu ada penelitian lanjutan untuk memastikannya.

“Ini baru asumsi saja. Nanti yang bisa jadi pembeda adalah hasil pemetaan DNA-nya. Harus dilakukan [penelitian] dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur; ambil sampel DNA-nya untuk [dibandingkan dengan elang yang di] Bali—bedanya apa? Kalau memang [DNA] sama, bisa jadi temuan Elang Jawa di Bali itu asalnya dari sini (Jawa),” ucap Iwan.

Potensi persebaran yang kian meluas dan grafik populasi yang diprediksi menanjak juga menuntut ketersediaan habitat yang lebih besar dan—pada akhirnya—kelestarian Elang Jawa. Atas dasar itu, Kementerian Kehutanan bakal menetapkan 7 kawasan hutan baru sebagai area konservasi tambahan Elang Jawa.

Ketujuh kawasan itu yakni penetapan Taman Hutan Raya di Gunung Muria, Gunung Lawu, Gunung Wayang, Gunung Cikuray, dan Gunung Cibungur; serta penetapan Taman Nasional di Gunung Slamet dan Gunung Sanggabuana.

Selain itu, dalam rangkaian Tiga Dekade Konservasi Elang Jawa, seluruh pemangku kepentingan bakal menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Elang Jawa pada periode 2026–2035.

Direktur Konservasi Spesies dan Genetik Kemenhut, Nunu Anugrah, menjelaskan bahwa SRAK baru ini akan menekankan pada paradigma kolaborasi. Pemerintah sadar bahwa menjaga 1.000-an ekor elang yang tersisa tidak bisa dilakukan sendirian.

Perlu ada sinergi antara sektor swasta dengan masyarakat agar tidak ada lagi perburuan. Selama ini upaya konservasi dalam konteks ekosistem, spesies, maupun genetik tak cukup pendanaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Anggaran pemerintah dan dukungan pendanaan multilateral sebesar Rp 10 triliun per tahun, sedangkan kebutuhan anggarannya mencapai Rp 70–75 triliun.

“Kira-kira kebutuhannya, gapnya itu 74 persen,” kata Nunu.

Salah satu pihak swasta yang kini mulai terjun dalam konservasi Elang Jawa adalah Djarum Foundation. Jemmy Chayadi, Program Director Bakti Lingkungan Djarum Foundation, mengibaratkan upaya konservasi ini seperti lari maraton yang harus dilakukan dengan cepat.

“Ada pepatah, jika ingin lari cepat, larilah sendiri, jika ingin lari jauh, larilah bersama-sama. Untuk konteks lingkungan ini, kita harus lari cepat sekaligus lari jauh … urgensinya tinggi sekali,” kata Jemmy.

Jemmy berharap keterlibatan swasta bisa mendorong sistem baru yang mengajak lebih banyak perusahaan ikut serta, sebab upaya pelestarian satwa menjadi bagian dari upaya untuk melindungi Pulau Jawa.

“Supaya Pulau Jawa enggak banjir, enggak ada risiko itu (banjir), dan akhirnya nanti berakibat kepada private sector juga. Kami adalah bagian dari lingkungan ini, dari lingkungan yang harus kita lindungi bersama,” tambahnya.

Kini, nasib Raja Dirgantara dan kawan-kawannya berada di tangan kolaborasi lintas sektor tersebut. Memastikan Sang Garuda tetap mengepakkan sayap di langit Jawa dan Bali adalah cara terbaik menghargai simbol negara yang selama ini kita banggakan di atas kertas.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Maruarar Sirait Beber Sejumlah Titik Relokasi Korban Bencana di Sumatera dan Aceh
• 13 jam lalufajar.co.id
thumb
Rupiah tak Berdaya saat Dolar AS Melempem
• 1 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Tembus Wilayah Terisolasi, Tim Relawan UMI Dirikan Posko Kesehatan di Tukka
• 20 jam laluharianfajar
thumb
KPK Cecar Zarof Ricar Soal Percakapannya dengan Eks Sekretaris MA Hasbi Hasan
• 2 jam lalusuara.com
thumb
Toko Plastik Simpan Karbit Diduga Sumber Api Kebakaran Pasar Induk Kramat Jati
• 22 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.