JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah tetap patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi atau MK mengenai kewajiban polisi aktif untuk mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian bila menduduki jabatan sipil yang tidak terkait langsung dengan tugas Polri. Karena itu, implementasi dari Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 masih perlu dibahas lebih lanjut oleh kementerian dan lembaga agar selaras dengan putusan MK serta prinsip tata kelola ASN yang berlaku.
Menpan dan RB Rini Widyantini saat dihubungi di Jakarta, Senin (15/12/2025), mengatakan, pada prinsipnya Kemenpan dan RB menghormati dan akan melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang bersifat final dan mengikat. Berdasarkan putusan tersebut, anggota Polri yang menduduki jabatan sipil yang tidak terkait langsung dengan tugas spesifik kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Berdasarkan pertimbangan putusan MK, ditegaskan bahwa jabatan yang mengharuskan anggota Polri mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian adalah jabatan yang tidak memiliki keterkaitan dengan kepolisian. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, jabatan dimaksud adalah jabatan ASN yang terdiri atas jabatan manajerial dan jabatan nonmanajerial,” ujarnya.
Pernyataan itu disampaikan Rini menanggapi penerbitan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang membolehkan polisi menempati jabatan di 17 kementerian/lembaga di luar struktur kepolisian.
Perpol No. 10/ 2025 diterbitkan pada 9 Desember 2025. Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo belakangan menegaskan bahwa perpol dibuat sebagai tindak lanjut dari putusan MK. Menurut dia, Perpol 10/2025 justru memperjelas dan mempertegas putusan MK terkait pengisian jabatan sipil oleh polisi aktif.
Terkait hal itu, Rini berpandangan bahwa penerbitan perpol merupakan kewenangan Polri sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Menurut dia, Perpol No. 10/2025 juga merupakan bagian dari pelaksanaan dan penghormatan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk putusan MK.
“Sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, Perpol Nomor 10 Tahun 2025 tentu telah dikoordinasikan dengan Kementerian Hukum dan disusun sesuai ketentuan serta tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Namun, menurut Rini, implementasi dari Perpol No. 10/ 2025 ini tetap memerlukan pembahasan lanjutan lintas kementerian dan lembaga agar sepenuhnya selaras dengan putusan MK serta prinsip tata kelola ASN yang berlaku. Hal ini karena substansi dari perpol tersebut bersinggungan langsung dengan sistem jabatan dan manajemen ASN.
Lebih jauh Rini mengungkapkan, sejak MK memutus larangan polisi aktif duduk di jabatan sipil, Kemenpan dan RB telah berkoordinasi lintas instansi untuk mengakselerasi tindak lanjut putusan tersebut. Koordinasi dilakukan dengan Polri, Kementerian Hukum, Kementerian Sekretariat Negara, Badan Kepegawaian Negara (BKN), serta Komisi Percepatan Reformasi Polri terkait pengisian jabatan di lingkungan pemerintahan yang berkaitan dengan tugas spesifik kepolisian.
“Untuk itu, Kemenpan dan RB bersama instansi terkait akan mengakselerasi pembahasan mengenai identifikasi jabatan di instansi pemerintah yang terkait langsung dengan tugas spesifik kepolisian secara ketat, selektif, dan terukur,” tegasnya.
Secara paralel, Kemenpan dan RB juga berdiskusi dengan para pakar hukum untuk menelaah sekaligus mencari solusi yang tepat dan selaras dengan putusan MK. Selain itu, koordinasi dengan Polri dilakukan untuk memetakan serta mengidentifikasi jenis jabatan yang terkait dengan kompetensi dan tugas spesifik kepolisian.
Rini menegaskan, dalam penataan ASN di lingkungan pemerintahan, Kemenpan dan RB berpedoman pada UU ASN dan Peraturan Pemerintah No 17/2020 tentang Manajemen PNS. Seiring dengan itu, implementasi ketentuan tersebut, termasuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, harus disesuaikan dengan Putusan MK.
Kemenpan dan RB memastikan langkah penataan dilakukan secara komprehensif, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, berlandaskan prinsip sistem merit, serta mendukung profesionalisme kelembagaan, baik di lingkungan pemerintahan sipil maupun Polri. Upaya ini juga ditujukan untuk mewujudkan birokrasi yang profesional dan netral, dengan tetap mematuhi amar putusan MK.
Harus patuh
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Agus Pramusinto, menegaskan bahwa lembaga apa pun di negeri ini wajib patuh pada putusan MK.
Agus menilai, penugasan polisi di instansi sipil juga harus mengikuti prinsip sistem merit melalui mekanisme seleksi. Sistem merit, menurut dia, penting agar birokrasi diisi oleh orang-orang yang paling cerdas, kompeten, dan berintegritas.
“Posisi yang diisi dari Polri tidak boleh diklaim sebagai jenjang karier khusus institusi Polri, tetapi harus terbuka bagi siapa pun yang memenuhi syarat,” ujarnya.
Menurut Agus, polisi aktif yang menduduki jabatan sipil yang berkaitan langsung dengan tugas kepolisian tidak perlu mengundurkan diri. Namun, untuk jabatan di luar itu, anggota Polri yang bersangkutan harus mundur dari dinas kepolisian.
Ia mencontohkan, jabatan di lembaga yang menuntut independensi tinggi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebaiknya tidak diisi oleh polisi aktif. “Iya, supaya tidak bisa dimainkan Kapolri,” katanya.
Agus juga mengingatkan agar penempatan anggota Polri di kementerian dan lembaga tidak semata-mata dilakukan untuk mengamankan posisi pimpinan. “Birokrasi sebagai pembuat kebijakan dan pelayan publik tidak boleh diisi melalui sistem penugasan yang tidak berbasis sistem merit,” tegasnya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Indonesia (UI) Eko Prasojo menegaskan bahwa putusan MK memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki norma hukum sehingga harus menjadi dasar hukum.
“Artinya, persoalannya bukan pada UU ASN, melainkan di perubahan UU Polri yang oleh MK, pasal mengenai penugasan anggota Polri dalam jabatan ASN dinyatakan tidak berlaku,” ujarnya.
Eko menuturkan, selama kompetensi ASN memenuhi persyaratan jabatan, posisi tersebut semestinya diisi oleh ASN. Pengecualian hanya dapat dilakukan untuk jabatan tertentu yang memang membutuhkan kompetensi khusus yang tidak dimiliki ASN.
Ia menilai, persoalan paling krusial ketika polisi menduduki jabatan sipil yang tidak sesuai dengan kompetensi kepolisian adalah terganggunya prinsip meritokrasi ASN. Kondisi itu tentu akan berdampak pada semangat kerja, kinerja, pengembangan kompetensi, serta pola karier ASN.
“Saya melihat, saat ini kinerja dan kompetensi ASN belum sepenuhnya optimal. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi ASN,” kata Eko.
Menurut dia, ASN perlu memperkuat kompetensi dan profesionalisme agar seluruh tugas pemerintahan dapat dijalankan secara efektif. Meritokrasi, lanjutnya, merupakan instrumen penting untuk membangun profesionalisme ASN. Namun, hingga kini masih terdapat sejumlah tugas pemerintahan yang belum dilaksanakan secara efektif dan profesional, sehingga muncul anggapan perlu melibatkan anggota Polri atau TNI.
“ASN harus melakukan refleksi dan pembenahan agar benar-benar memiliki kompetensi dan profesionalisme dalam menjalankan tugas pemerintahan dan pembangunan. Jika ASN sudah profesional, penugasan anggota Polri dan TNI dalam jabatan ASN tidak lagi diperlukan,” ujar Eko.





