Tidak semua anak punya kesempatan untuk tumbuh dengan ritme yang wajar. Sebagian harus belajar kuat lebih cepat, bukan karena pilihan, tetapi karena keadaan. Saat usia masih muda, mereka sudah memikirkan tagihan rumah, biaya sekolah adik, hingga kebutuhan orang tua. Sementara sebagian lainnya diberi ruang untuk gagal, mencoba, dan menemukan diri sendiri tanpa rasa bersalah.
Perbedaan itu sering kali tidak terlihat. Padahal, dampaknya bisa menentukan arah hidup seseorang.
Banyak anak muda yang “dewasa sebelum waktunya” bukan karena matang secara emosional, melainkan karena dituntut keadaan. Mereka menjadi tulang punggung keluarga bahkan sebelum benar-benar berdiri di atas kaki sendiri. Pilihan hidup mereka bukan lagi soal minat atau potensi, melainkan soal siapa yang harus tetap makan dan sekolah.
Di sisi lain, ada anak-anak yang tumbuh tanpa tekanan itu. Orang tua mereka masih mampu menopang hidupnya sendiri. Tidak menjadikan anak sebagai harapan finansial di masa depan. Anak-anak ini bisa memilih jalan hidup dengan lebih bebas—dan sering kali, tanpa sadar, itulah sebuah privilege besar.
Privilege yang Tidak Selalu Berwujud MateriPrivilege tidak selalu soal uang jajan besar, fasilitas lengkap, atau hidup mewah. Kadang privilege itu sesederhana: tidak dipaksa memikul tanggung jawab orang dewasa terlalu dini.
Anak yang tidak menanggung keluarga punya ruang untuk salah arah, berganti mimpi, bahkan gagal berkali-kali tanpa konsekuensi fatal bagi orang lain. Saat mereka jatuh, yang terdampak hanya diri sendiri—bukan seluruh keluarga.
Bagi mereka yang sejak awal harus menanggung keluarga, kegagalan bukan sekadar pelajaran. Ia adalah ancaman.
Dua anak dengan kemampuan dan kerja keras yang sama bisa memiliki hasil hidup yang sangat berbeda. Bukan karena satu lebih malas atau satu lebih pintar, melainkan karena beban yang dibawa sejak awal tidak pernah seimbang.
Yang satu berlari ringan.
Yang lain berlari sambil menggendong harapan banyak orang.
Sayangnya, masyarakat sering menyamakan keduanya dalam satu standar keberhasilan, tanpa benar-benar memahami konteks di baliknya.
Mengakui Tanpa MeremehkanMengakui bahwa tidak menanggung keluarga adalah privilege bukan berarti merendahkan mereka yang harus menjalaninya. Justru sebaliknya, ini adalah upaya untuk memahami bahwa ketangguhan sebagian anak lahir dari keterpaksaan, bukan pilihan.
Mereka yang tidak didesak dewasa terlalu cepat perlu menyadari kenyamanan itu—bukan untuk merasa bersalah, tetapi untuk lebih empatik. Dan mereka yang tumbuh dengan beban besar layak mendapat pengakuan, bukan penghakiman.
Setiap anak seharusnya diberi waktu untuk tumbuh. Namun realitas tidak selalu adil.
Karena itu, ketika seorang anak bisa menjalani hidup tanpa harus menanggung keluarga sejak dini, itu bukan hal biasa. Itu adalah privilege yang tak semua anak dapatkan—dan sudah sepatutnya kita menyadarinya.





