Saat Hujan Tak Lagi Kita Sambut dengan Syukur

harianfajar
23 jam lalu
Cover Berita

Oleh: Yusran
Wakasek Kesiswaan dan Keagamaan SMA Islam Athirah 1 Makassar

Bagi kita yang hidup di negeri tropis, hujan bukanlah sesuatu yang asing. Setiap tahun, terutama antara Desember hingga Februari, rintik demi rintik turun dari langit, mengisi hari-hari yang basah dan sejuk. Siklus ini terus berulang, seperti denyut alam yang setia pada waktunya. Sejak dahulu hingga kini, hujan tetap datang sebagai bagian dari keseimbangan kehidupan.

Dulu, hujan sering kita rindukan. Ketika kemarau berkepanjangan mengeringkan tanah dan sumur mulai menyusut, doa-doa pun melangit, berharap awan segera menurunkan rahmatnya. Namun hari ini, suasana itu terasa berbeda. Mendung tak lagi selalu disambut dengan harap, melainkan dengan cemas. Hujan yang seharusnya membawa berkah justru sering dianggap sebagai pertanda bencana.

Kecemasan itu tentu bisa dimengerti. Banjir dan longsor telah menyisakan luka yang dalam bagi banyak saudara kita. Rumah-rumah terendam, harta benda hanyut, dokumen penting hilang, kendaraan rusak, dan tak sedikit yang harus mengungsi berhari-hari. Bahkan, nyawa pun melayang. Catatan BNPB hingga pertengahan Desember 2025 menunjukkan ribuan korban jiwa akibat banjir di sejumlah wilayah Sumatera dan Aceh. Di balik angka-angka itu, ada duka, air mata, dan kehilangan yang tak tergantikan.
Tak heran jika banyak orang lalu menggerutu, menyalahkan hujan yang dianggap terlalu deras.

Kota-kota di Indonesia memang kerap menjadi langganan banjir. Bahkan, pernyataan-pernyataan resmi pun sering menyebut hujan lebat sebagai biang keladi. Namun benarkah hujan adalah penyebab utama dari semua ini?

Pertanyaan ini penting kita renungkan bersama. Jangan sampai kita terburu-buru menaruh prasangka, seolah-olah langit adalah sumber malapetaka. Hujan bukanlah musuh manusia. Ia adalah bagian dari ketentuan Allah SWT, rahmat yang dihadirkan untuk menghidupi bumi dan seluruh makhluk di atasnya.

Jika hari ini hujan mendatangkan penderitaan bagi sebagian orang, barangkali persoalannya bukan pada hujan itu sendiri. Hujan yang turun sekarang pada dasarnya sama dengan hujan puluhan tahun lalu. Yang berubah adalah cara manusia memperlakukan alam.

Dahulu, air hujan disambut oleh pepohonan yang rimbun. Akar-akar menahan, menyerap, dan mengalirkannya kembali secara alami. Hutan berfungsi sebagai pelindung, bukan hanya bagi alam, tetapi juga bagi manusia. Kini, banyak hutan gundul oleh tangan-tangan yang tak sabar dan tak peduli. Ketika penyangga alam itu hilang, air hujan pun meluncur bebas, deras, dan tak terbendung menuju pemukiman.
Belum lagi sungai-sungai yang kian menyempit, tertimbun oleh bangunan dan kepentingan sesaat. Saluran air yang seharusnya menjadi jalan bagi air justru dipenuhi sampah. Maka ketika hujan turun, air hanya melakukan satu hal yakni mencari ruang. Ia meluap, memasuki rumah-rumah, dan kita pun menyebutnya bencana.

Mungkin inilah saatnya kita berhenti menyalahkan langit, dan mulai menata kembali bumi. Mendung tidak membawa niat buruk. Hujan tidak datang untuk mencelakakan. Yang perlu kita benahi adalah cara kita hidup berdampingan dengan alam.
Jika rahmat hari ini terasa berubah menjadi musibah, bisa jadi itu karena kita lupa menjaga amanah. Semoga hujan kembali kita sambut dengan syukur, bukan dengan ketakutan dan semoga kesadaran ini menumbuhkan tanggung jawab, sebelum alam benar-benar lelah menegur kita. (*/)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kickboxing sumbang enam medali SEA Games 2025
• 18 jam laluantaranews.com
thumb
Sinyal Rujuk Masih Ada, Pihak Ridwan Kamil Beri Kode Kemungkinan Batal Cerai, Kubu Atalia Praratya Pilih Irit Bicara
• 4 jam lalugrid.id
thumb
Wall Street Ditutup Bervariasi, Investor Cermati Arah Kebijakan The Fed
• 13 jam lalukumparan.com
thumb
BRIFINE: Biar Pensiun Tetap Cuan dan Tenang
• 8 jam lalukumparan.com
thumb
Cardiff City vs Chelsea, Alejandro Garnacho Antar The Blues ke Semivinal Piala Liga
• 13 jam lalumediaindonesia.com
Berhasil disimpan.