Sarjana di Persimpangan: Pendidikan Tinggi dan Realitas Dunia Kerja yang Berubah

kumparan.com
16 jam lalu
Cover Berita

Selama bertahun-tahun, pendidikan tinggi dipercaya sebagai jalan paling rasional menuju kehidupan yang lebih mapan. Gelar sarjana dianggap sebagai jaminan bahwa kerja keras di bangku kuliah akan berujung pada stabilitas ekonomi dan masa depan yang lebih pasti. Namun, bagi banyak lulusan hari ini, keyakinan itu mulai goyah. Ijazah tak lagi otomatis membuka pintu kerja, dan pendidikan tinggi berada di persimpangan antara harapan dan realitas.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa proporsi penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi masih relatif rendah, yakni sekitar 10 persen. Meski demikian, jumlah lulusan perguruan tinggi terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, dunia kerja tidak tumbuh dengan kecepatan yang sebanding. Ketimpangan inilah yang membuat banyak sarjana harus menghadapi masa tunggu panjang, bekerja di luar bidang keahlian, atau berada dalam kondisi kerja yang tidak pasti.

BPS juga mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka nasional masih berada pada angka jutaan orang. Di dalamnya, lulusan pendidikan tinggi bukanlah kelompok yang sepenuhnya terlindungi. Fakta ini mematahkan anggapan lama bahwa pendidikan tinggi secara otomatis menjamin terserapnya seseorang ke pasar kerja. Gelar akademik memang penting, tetapi tidak lagi cukup.

Masalah ini tidak berhenti pada persoalan statistik ketenagakerjaan. Yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya krisis harapan. Pendidikan tinggi selama ini dibangun di atas janji mobilitas sosial bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari keterbatasan ekonomi. Ketika janji tersebut tidak terpenuhi, yang terguncang bukan hanya rencana karier, melainkan juga kepercayaan terhadap sistem pendidikan itu sendiri. Banyak lulusan muda mulai mempertanyakan makna kuliah yang mereka tempuh dengan biaya, waktu, dan energi yang tidak sedikit.

Perubahan dunia kerja turut memperumit situasi. Digitalisasi, otomatisasi, dan fleksibilitas kerja menggeser kebutuhan kompetensi secara cepat. Namun, respons dunia pendidikan belum sepenuhnya sejalan. Kurikulum di banyak perguruan tinggi masih berfokus pada pencapaian akademik formal, sementara keterampilan adaptif, lintas disiplin, dan kesiapan menghadapi ketidakpastian belum menjadi perhatian utama. Akibatnya, jurang antara dunia kampus dan dunia kerja semakin terasa.

Dalam kondisi seperti ini, muncul kecenderungan untuk menyederhanakan masalah dengan menyalahkan individu. Lulusan dianggap kurang adaptif, kurang kompetitif, atau tidak cukup berusaha. Pandangan semacam ini mengabaikan kenyataan bahwa tidak semua mahasiswa memiliki akses yang setara terhadap kesempatan pendukung, seperti magang berkualitas, jejaring profesional, atau pelatihan tambahan. Ketimpangan sosial membuat sebagian lulusan melangkah lebih jauh sejak awal, sementara yang lain harus berjuang lebih keras hanya untuk mendapatkan peluang yang sama.

Ketidakpastian kerja juga berdampak pada kehidupan sosial generasi muda. Banyak yang menunda keputusan penting seperti menikah, memiliki rumah, atau merencanakan masa depan jangka panjang karena kondisi ekonomi yang belum stabil. Pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi fondasi justru berubah menjadi sumber kecemasan baru. Dalam jangka panjang, situasi ini berpotensi memengaruhi kesehatan mental dan kohesi sosial.

Pendidikan tinggi, karenanya, perlu ditempatkan kembali dalam konteks yang lebih luas. Perguruan tinggi tidak bisa berdiri terpisah dari realitas sosial dan ekonomi. Namun, pendidikan juga tidak boleh direduksi semata-mata menjadi mesin pencetak tenaga kerja. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan antara pembentukan nalar kritis dan kesiapan menghadapi dunia yang terus berubah.

Dari sisi kebijakan, peningkatan akses pendidikan perlu dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja yang layak. Tanpa ekosistem ekonomi yang mendukung, peningkatan jumlah lulusan justru berisiko memperlebar jarak antara harapan dan kenyataan. Sinergi antara negara, dunia usaha, dan institusi pendidikan menjadi kunci, bukan untuk menyeragamkan tujuan, melainkan menyelaraskan arah.

Pada akhirnya, kegelisahan generasi sarjana hari ini bukanlah tanda kemalasan, melainkan cerminan dari masa transisi yang belum tuntas. Dunia bergerak cepat, sementara sistem masih tertatih menyesuaikan diri. Menyadari hal ini adalah langkah awal agar pendidikan tinggi kembali menjadi ruang yang memampukan generasi muda membangun masa depan bukan dengan janji kosong, tetapi dengan kesiapan menghadapi ketidakpastian.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Garis Poetih Raya Festival 2026 Akan Tampilkan 12 Brand Fashion Indonesia
• 2 jam lalubeautynesia.id
thumb
Trump Larang 8 WN Negara Ini Masuk ke AS: Suriah, Otoritas Palestina hingga Laos
• 12 jam lalukumparan.com
thumb
Cara mudah cek bantuan PIP termin tiga lewat HP, lengkap dengan besaran dananya
• 12 jam lalubrilio.net
thumb
Exco PSSI Ungkap Perkembangan Terbaru Proses Pencarian Pelatih Baru Timnas Indonesia, Ada Rapat Usai SEA Games 2025
• 21 jam lalubola.com
thumb
Hari Ini MK Bakal Putus Uji Materi UU Hak Cipta Ariel Noah, BCL, Dkk
• 13 jam lalukompas.com
Berhasil disimpan.