Belum genap tiga pekan berlalu sejak 25 November 2025, tragedi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat masih meninggalkan luka yang menganga. Lebih dari 1.000 nyawa melayang akibat bencana ini.
Banjir bandang serta longsor yang menerjang tiga provinsi tersebut bukan sekadar bencana alam biasa. Ini adalah tragedi kemanusiaan. Dalam hitungan jam, air bah bercampur lumpur, batu, dan kayu gelondongan menghancurkan permukiman dan mengubah wajah wilayah tersebut dalam sekejap.
Angka 1.000 lebih korban jiwa bukanlah sekadar statistik belaka. Di baliknya, terdapat ribuan keluarga yang berduka. Pada 25 November 2025 itu, hujan turun tanpa ampun. Sungai meluap dan arus datang begitu cepat, membuat banyak warga tak sempat menyelamatkan diri.
Mereka terjebak di dalam rumah, terseret arus saat tidur, hingga hilang bersama bangunan yang runtuh. Jeritan minta tolong sempat terdengar, tapi perlahan lenyap dikalahkan derasnya suara air.
Baca:
Korban Bencana Aceh, Sumut, Sumbar Tembus 1.053 Jiwa
Pagi harinya, wajah kehancuran terlihat jelas. Rumah rata dengan tanah, kendaraan menumpuk, dan akses jalan terputus. Warga yang selamat terpaksa menggali lumpur dengan tangan kosong, berharap menemukan keluarga mereka yang hilang.
Tim SAR bekerja siang malam dengan peralatan terbatas dan risiko tinggi menyisir sungai serta reruntuhan. Setiap jasad korban yang ditemukan menambah luka, sekaligus menegaskan bahwa banjir bandang ini terlalu mematikan untuk disebut bencana biasa.
Tiga pekan pascakejadian, ribuan warga kini bertahan hidup di pengungsian. Di tenda-tenda darurat, mereka bertahan dengan keterbatasan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan. Anak-anak mulai menunjukkan gejala trauma mendalam. Bagi para penyintas, bencana ini belumlah berakhir.
Tragedi ini juga memunculkan pertanyaan kritis yang tak bisa dihindari: Ke mana hutan dan daerah resapan air menghilang?
Para ahli menyebut hujan ekstrem memang tak terelakkan, tapi kerusakan lingkungan dan buruknya tata ruang membuat dampak bencana berlipat ganda. Meski pemerintah telah menetapkan status darurat, membuka dapur umum, dan menyiapkan hunian sementara, bantuan tersebut tak akan pernah bisa menggantikan mereka yang telah pergi selama-lamanya.
Hal yang dibutuhkan kini lebih dari sekadar respons darurat, melainkan jaminan bahwa tragedi ini tak akan terulang. Banjir bandang ini menjadi peringatan keras; ketika keselamatan diabaikan dan alam terus ditekan, manusia harus membayar dengan harga yang paling mahal, yakni nyawa yang melayang.



