Kerugian akibat bencana alam di Sumut mencapai Rp 17 triliun, tetapi anggaran bencana di APBD Sumut hanya Rp 98,3 miliar. Meski Sumut merupakan daerah rawan bencana, Gubernur Sumut Bobby Nasution memangkas anggaran bencana dari Rp 843,1 miliar menjadi Rp 98,3 miliar. Anggaran darurat menjadi yang pertama dikorbankan ketika pusat memotong dana transfer.
Krisis anggaran dinilai menjadi salah satu penyebab lambatnya penanganan bencana. Hampir empat pekan bencana banjir bandang dan longsor melanda Sumut, penanganan di lapangan masih jalan di tempat.
Sejumlah daerah di Tapanuli Tengah dan Kota Sibolga masih terisolasi, jalan masih putus, dan jaringan listrik lumpuh. Bahan bakar minyak masih sulit didapat di beberapa daerah.
”Kita bisa lihat pemerintah pusat dan daerah sangat gagap dan kewalahan menghadapi bencana Sumatera. Anggaran tahun ini sudah sangat tipis, bahkan hanya tinggal sisa-sisa saja,” kata analis anggaran dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut, Elfenda Ananda, Selasa (16/12/2025).
Elfenda mengatakan, sebagai daerah rawan bencana, Sumut harusnya menyiapkan anggaran darurat yang memadai. Prinsipnya, berharap yang terbaik, bersiap untuk yang terburuk.
Bencana banjir bandang dan longsor terjadi di 19 kabupaten/kota di Sumut. Beberapa daerah dengan dampak paling parah adalah Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Sibolga, dan Tapanuli Utara.
Jumlah korban di Sumut mencapai 360 jiwa meninggal, 79 hilang, dan 2.284 terluka. Jumlah warga terdampak lebih dari 1,7 juta jiwa dengan 21.580 orang di antaranya harus mengungsi.
Melihat kebijakan anggaran darurat, kata Elfenda, Sumut sejak awal tidak siap menghadapi bencana dengan skala sebesar bencana Sumatera kali ini.
Dalam Perubahan APBD Sumut 2025 yang terakhir, kata Elfenda, alokasi belanja darurat hanya tersisa Rp 98,3 miliar atau 0,8 persen dari Rp 12,5 triliun. Sebagai daerah rawan bencana, menurut Elfanda, Sumut harusnya mengalokasikan 1,5-5 persen.
Elfenda menyebut, Sumut sejak dulu mengalokasikan dana darurat yang cukup. Penjabat Gubernur Sumut Agus Fatoni, yang menjabat sebelum Bobby, mengalokasikan Rp 843 miliar di APBD 2025.
Namun, anggaran itu dipangkas Bobby dalam empat kali pergeseran anggaran hingga hanya tersisa Rp 98,3 miliar. Anggaran itu, antara lain, digeser untuk proyek pembangunan infrastruktur jalan di Padanglawas Utara yang berujung pada kasus korupsi. Kasus itu melibatkan bekas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Sumut Topan Obaja Ginting.
Dengan kemampuan anggaran seperti sekarang, kata Elfenda, penanganan bencana di Sumut jelas terkendala. Apalagi, pemerintah pusat juga hingga saat ini enggan menetapkan bencana Sumatera sebagai bencana nasional.
Padahal, kata Elfenda, krisis anggaran penanggulangan bencana di daerah juga turut disebabkan kebijakan pemerintah pusat yang memotong dana transfer daerah.
Sebelumnya, Bobby mengatakan, berdasarkan penghitungan, bencana di Sumut menyebabkan kerugian Rp 17 triliun. ”Penghitungan kami Minggu lalu, kerugian Rp 12 triliun. Sekarang kami hitung sudah lebih dari 17 triliun,” kata Bobby, Senin (15/12/2025).
Kerusakan infrastruktur antara lain 23 ruas jalan nasional, 3 jembatan nasional, 25 ruas jalan provinsi, dan 5 jembatan provinsi.
Bencana juga menyebabkan 4.359 saluran irigasi rusak, tanggul jebol di 26 lokasi, 38.878 hektar lahan pertanian rusak, dan 5.750 hektar mengalami puso atau gagal panen.
Fasilitas publik juga rusak, antara lain 397 sekolah, 18 rumah sakit, 25 puskesmas, 19 puskesmas pembantu, dan 9 poliklinik desa.
”Kerusakan rumah sakit bukan hanya bangunannya, tetapi juga peralatan medis,” kata Bobby.
Bobby menyebutkan, penanggulangan bencana di masa tanggap darurat masih terkendala terutama karena sejumlah daerah yang masih terisolasi. Masih ada beberapa daerah yang belum bisa diakses alat berat. Hal ini membuat pencarian korban terkendala.
Terkait pemotongan anggaran bencana, kata Bobby, pergeseran anggaran pada APBD Sumut 2025 dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Negara dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025.
Bobby menyebut, sejak awal alokasi dana bencana di APBD Sumut Rp 123 miliar, bukan Rp 843 miliar seperti hasil analisis Fitra. Anggaran tersebut, kata Bobby, adalah belanja tidak terduga (BTT) yang peruntukannya juga untuk pembayaran bonus atlet Pekan Olahraga Nasional (PON).
Anggaran itu juga digunakan untuk pembangunan jembatan yang putus di Nias Barat pada Maret 2025. ”Di Nias Barat, ada jembatan putus. Itu menggunakan BTT juga karena tidak dianggarkan sebelumnya,” kata Bobby.
Terkait hal tersebut, Elfenda mengatakan, di APBD Sumut awalnya BTT memang Rp 123 miliar. Namun, alokasi BTT dinaikkan oleh Pj Gubernur Sumut Agus Fatoni menjadi Rp 843,1 miliar melalui Pergub Nomor 7 Tahun 2025 Tentang Perubahan Kedua Penjabaran APBD Sumut.
”Saat Bobby mulai menjabat Gubernur Sumut pada Februari 2025, BTT jumlahnya Rp 843,1 miliar lalu dipangkas empat kali sampai tersisa Rp 98,3 miliar,” kata Elfenda.
Elfenda mengatakan, sepanjang 2025, ada tujuh kali pergeseran anggaran pada APBD Sumut 2025. Pergeseran anggaran dilakukan dengan skema dasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020.
Regulasi pergeseran anggaran daerah yang dikeluarkan di masa pandemi Covid-19 ini tidak memerlukan persetujuan DPRD.
Laurensius Sihombing (35), warga Kecamatan Sitahuis, Kabupaten Tapanuli Tengah, mengatakan, desa mereka mulai bisa diakses setelah tiga pekan terisolasi. Selama tiga pekan warga terisolasi dan harus berjalan berjam-jam untuk mendapat bantuan.
”Sampai sekarang, dua orang warga desa kami juga masih hilang. Tidak ada alat berat yang bisa membantu,” kata Laurensius.
Laurensius menyebut, bantuan di desa mereka juga sebagian besar merupakan solidaritas dari masyarakarat, pegiat media sosial, dan lembaga keagamaan. Bantuan pemerintah masih sangat minim.
Pengelolaan anggaran untuk bencana alam mesti benar-benar dilakukan dengan cermat. Dampaknya sering kali di luar perkiraan manusia.




