Oleh: Hasrullah
Bencana yang melanda Pulau Sumatera pada penghujung tahun 2025 adalah sebuah tragedi kemanusiaan dan ekologis yang melampaui batas-batas kewajaran, meninggalkan luka yang menganga dalam memori kolektif bangsa. Banjir bandang dan tanah longsor yang secara simultan menghantam wilayah luas, dari Aceh hingga Sumatera Barat, bukan sekadar insiden cuaca ekstrem, melainkan puncak dari sebuah krisis tata kelola lingkungan yang terabaikan selama bertahun-tahun. Peristiwa ini, yang menelan ratusan nyawa dan meluluhlantakkan infrastruktur vital, menjadi panggung evaluasi terbesar bagi kesiapsiagaan nasional, terutama dalam dimensi komunikasi dan respons penanggulangan bencana.
Analisis mendalam mengungkapkan celah-celah krusial yang membuat penanganan krisis ini dinilai belum optimal, dan di sinilah Teori Komunikasi Krisis Situasional memberikan landasan teoritis yang kuat. Menurut teori ini, persepsi publik terhadap tanggung jawab pemerintah atas krisis sangat menentukan keberhasilan komunikasi dan pemulihan reputasi. Bencana alam yang diperparah oleh ulah manusia menempatkan pemerintah di posisi Tanggung Jawab yang Besar (High Attributions of Crisis Responsibility), sebuah kondisi di mana publik melihat adanya kelalaian (preventable crisis), bukan sekadar musibah tak terhindarkan.
Fokus tragedi yang tersebar di wilayah geografis yang sulit dan terjadi pada waktu yang krusial tepat menjelang pergantian tahun menguji kecepatan dan koordinasi respons. Kritik utama tertuju pada ‘How’ atau bagaimana pemerintah bertindak. Respons awal dinilai lambat, terutama dalam penetapan status darurat lintas provinsi, yang seharusnya membuka jalan bagi mobilisasi sumber daya nasional secara terpusat dan efisien. Ketiadaan pusat komando yang kuat dan terpadu untuk wilayah seluas itu mengakibatkan disrupsi komunikasi antar instansi, yang pada gilirannya memperlambat penyaluran logistik dan operasi penyelamatan.
Kegagalan dalam respon cepat ini setara dengan memperburuk narasi krisis, menggeser persepsi publik dari simpati menjadi kecaman terhadap inkompetensi. Korban yang tersebar di desa-desa terisolasi akibat putusnya jembatan dan jalan utama merasakan betul dampak dari komunikasi yang tidak terkoordinasi, di mana janji bantuan kerap kali tiba terlambat atau tidak sesuai dengan kebutuhan mendesak di lapangan.
Dalam konteks ‘Who’ atau siapa yang bertanggung jawab dan siapa target komunikasi, pemerintah sebagai aktor utama harusnya menampilkan wajah tunggal, kredibel, dan empatik. Namun, perbedaan data dan pernyataan antar pejabat memicu ‘kebisingan komunikasi’ yang merusak kepercayaan publik di tengah duka.
Teori Komunikasi Krisis Situasional merekomendasikan strategi Compassion and Concern (Kasih Sayang dan Perhatian) sebagai respons dasar. Strategi ini tidak hanya sekadar mengumumkan jumlah korban, tetapi menyampaikan empati mendalam secara eksplisit dan menawarkan instruksi bantuan praktis. Kegagalan mencapai kesatuan suara dan menampilkan empati yang konsisten melunturkan efektivitas komunikasi Concern yang sangat dibutuhkan di masa krisis.
Aspek ‘Why’ atau mengapa bencana ini mencapai skala sedemikian rupa adalah narasi yang paling kritis namun sering terpinggirkan. Bencana ini adalah cermin kegagalan tata kelola ruang dan lemahnya penegakan hukum lingkungan. Dengan mengabaikan analisis ini dalam komunikasi publik, pemerintah secara tidak langsung turut andil dalam siklus bencana yang berulang. Pilihan narasi pemerintah sering jatuh pada strategi Victimage (menyalahkan faktor luar, yaitu hujan ekstrem) untuk mengurangi atribusi tanggung jawab. Namun, karena bukti kerusakan ekologis sangat jelas seperti yang disuarakan oleh LSM dan pakar strategi ini menjadi bumerang. Komunikasi yang jujur tentang akar masalah ini, dengan mengakui kegagalan masa lalu dan menjanjikan reformasi, adalah bentuk strategi Corrective Action (Tindakan Korektif) yang disarankan untuk krisis dengan atribusi tanggung jawab tinggi. Komunikasi yang benar tentang akar masalah ini adalah fondasi untuk membangun kesadaran kolektif dan kesiapsiagaan yang lebih baik di masa depan.
Di tengah keterbatasan respons formal, peran media sosial muncul sebagai kekuatan komunikasi ‘bottom-up’ yang tak terbantahkan. Platform digital membuktikan dirinya sebagai alat kemanusiaan yang vital, melampaui hambatan birokrasi dan infrastruktur yang runtuh. Media sosial menjadi sarana utama bagi masyarakat untuk melakukan pemetaan kebutuhan mendesak, menggalang dana dengan cepat, dan mendokumentasikan kondisi di lapangan sebagai bentuk ‘saksi mata digital’ yang secara implisit menuntut pertanggungjawaban dan kecepatan aksi dari otoritas. Peran ini menegaskan bahwa komunikasi bencana di era modern adalah sebuah dialog kolektif, bukan lagi monopoli satu pihak.
Secara keseluruhan, tragedi Sumatera ini adalah panggilan yang memilukan. Komunikasi bencana yang syahdu yang berarti tulus, empatik, dan berwawasan jauh ke depan mengharuskan pemerintah untuk tidak hanya mengatasi dampak, tetapi juga mengatasi penyebab. Penggunaan strategi Bolstering (Menguatkan citra) melalui pujian terhadap upaya heroik relawan dan tim SAR dapat diterima, namun ini tidak boleh menggantikan keharusan untuk melaksanakan Corrective Action besar-besaran. Tindakan nyata berupa rekonstruksi yang cepat, restorasi ekologis yang tegas, dan penegakan hukum lingkungan yang adil adalah bentuk komunikasi yang paling kredibel dan kuat. Hanya dengan mengubah narasi dari sekadar respons darurat menjadi komitmen reformasi ekologis dan tata kelola, bangsa ini dapat memastikan bahwa duka di Ranah Khatulistiwa tidak terulang kembali, dan bahwa pemerintah benar-benar telah hadir seutuhnya, konsisten dengan prinsip-prinsip komunikasi krisis yang efektif. (*)



:strip_icc()/kly-media-production/medias/5445749/original/021618200_1765863815-3.jpg)
