Sebagian kota-kota besar, baik di pesisir hingga pegunungan, di Pulau Jawa tidak lepas dari kejadian penurunan tanah. Selain proses alam, faktor antropogenik vital memicu dampak semakin buruk di kemudian hari. Kisah-kisah tentang kota-kota yang tenggelam bisa jadi kenyataan bila tak ada perbaikan.
Rabu (17/12/2025), Badan Geologi menyebut, penurunan permukaan tanah signifikan terjadi di sejumlah daerah, baik pesisir atau pegunungan. Penurunan muka tanah signifikan itu disebutkan lebih dari 5 sentimeter per tahun.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Geologi Lana Sharia mengatakan, sebagian besar daerah itu ada di pantura Jawa. Daerah itu adalah Jakarta Utara, Semarang Utara (Genuk, Tanjung Mas, dan Kaligawe), Demak-Sayung, Pekalongan, kawasan timur dan utara Surabaya.
Akan tetapi, daerah pegunungan juga tidak lepas dari ancaman itu. Bandung di Jawa Barat, juga disebut mengalami penurunan muka tanah lebih dari 5 cm per tahun.
Meski berbeda geografis, faktor pemicu antara pesisir dan pegunungan terbilang sama. Kondisi tanahnya adalah endapan aluvial sangat lunak, eksploitasi tanah berlebihan, hingga beban bangunan dan urbanisasi masif. Khusus pesisir, pemicunya diperparah kenaikan air laut.
Lana mengatakan, saat ini, beberapa daerah di pantura Jawa telah sepenuhnya bergantung pada sistem rekayasa untuk menahan air laut dan mencegah banjir rob. Daerah itu seperti Jakarta Utara, Kabupaten dan Kota Pekalongan, Kota Semarang, hingga Kabupaten Demak.
Ke depan, kondisi ini mesti disikapi dengan bijak. Resikonya sangat rawan merugikan warga. Mulai dari banjir dan rob permanen, kerusakan bangunan, menurunkan kualitas hidup, hingga kerugian ekonomi akibat perbaikan infrastruktur daerah terdampak.
Serial Artikel
Rob yang Datang dan Pergi di Pantai Utara Jawa Tengah
Dalam sepekan ini terjadi siklus pasang air laut atau rob yang membanjiri permukiman di pesisir utara Jawa.
Di akhir tahun 2025, semua daerah-daerah dengan tingkat penurunan tanah signifikan itu sudah dilanda banjir dan rob. Bahkan, diprakirakan bencana serupa akan terjadi lagi di awal 2026, seiring terjadinya puncak musim hujan.
Di Semarang, misalnya, banjir dan rob di akhir Oktober hingga awal November 2025 membuat 63.400 orang terdampak. Aktivitas masyarakat, ekonomi, hingga transportasi.
Saat banjir surut, jalan yang direndam hampir tiga pekan pun rusak. Ke depan, bukan tidak mungkin dampaknya kian parah.
Sepanjang periode 2015-2030 banjir rob karena penurunan tanah di Semarang diperkirakan terus meningkat hingga mencapai 18 ribu hektar. Secara keseluruhan, potensi kerugian akibat banjir rob di kota-kota pesisir Indonesia ditaksir mencapai Rp 1.000 triliun.(Kompas.id, 20 Agustus 2021)
Sebelumnya, Gubernur Jateng Ahmad Luthfi memerintahkan bupati/wali kota di wilayahnya untuk memetakan ulang titik rawan bencana, termasuk wilayah banjir seperti Semarang, Demak, Jepara, Pekalongan, dan Cilacap.
Luthfi juga meminta pemerintah kabupaten/kota memastikan kesiapan sumber daya manusia, sarana-prasarana, dan logistik. Sistem peringatan dini juga harus dijalankan hingga ke tingkat desa. Hal itu mengingat, puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Desember.
Awal Desember 2025, Jakarta Utara juga kembali disapa banjir rob. Daerah terdampak seperti Kamal, Muara Angke, hingga Blencong Marunda. Namun, itu hanya permulaan.
Periode 16-23 Desember 2025, rob berpotensi datang lagi di Jakarta Utara. BMKG Stasiun Meteorologi Kelas 1 Maritim Tanjung Priok menyebut potensinya terjadi di Kamal Muara, Ancol, Pluit, hingga Tanjung Priok. Banjir ini dipicu fenomena pasang maksimum air laut yang bertepatan dengan fase bulan baru, dengan puncak pasang diperkirakan terjadi pukul 07.00–12.00 WIB.
Dalam Kompas, 8 Juli 2025, Gubernur Jakarta Pramono Anung menyatakan hendak berkoordinasi dengan kepala daerah aglomerasi, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, untuk memitigasi banjir. Sebab, Jakarta menghadapi tiga risiko banjir, yaitu dari hulu, hujan lokal, dan rob di pesisir.
”Yang paling penting pengerukan sungai-sungai di pinggir Jakarta itu diteruskan. Saya lebih pada preventif karena enggak bisa kemudian hujan atau banjir baru tergopoh-gopoh untuk mitigasi,” kata Pramono.
Berada di ketinggian, 600-700 meter di atas permukaan laut, Bandung Raya juga terendam banjir lagi tahun ini. Berbagai infrastruktur seperti kolam retensi, sodetan, hingga terowongan air, tetap tidak mampu menahan banjir luapan Citarum di awal Desember 2025.
Hampir 26.000 warga di Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, dan Kecamatan Bojongsoang di Kabupaten Bandung, misalnya, kembali terdampak banjir. Di Kota Bandung, banjir terjadi di Kelurahan Babakan di Kecamatan Babakan Ciparay dan Kelurahan Gumuruh di Kecamatan Batununggal.
Mirnawati, warga Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, mengatakan, dari tahun ke tahun selalu menjadi korban banjir. Berbagai infrastruktur yang sudah dibangun pemerintah seperti tidak ada artinya.
Setiap musim hujan, rumahnya yang tidak jauh dari Sungai Citarum selalu digenangi banjir saat musim hujan tiba. Dia menyebut, rumahnya belum pernah bebas banjir di setiap penghujung tahun.
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menyebut, penurunan permukaan tanah dipicu pembangunan yang tidak terkontrol. Kawasan resapan air mengalami alih fungsi lahan menjadi pemukiman. Terkait ini, permukiman yang ada di kawasan resapan air akan dikembalikan pada fungsi. Warga akan direlokasi ke kawasan yang bukan resapan.
Serial Artikel
Ditinggal Dedi Mulyadi, Rob dan Banjir Melanda Jabar
Sejumlah daerah di Jabar dilanda bencana. Hal itu terjadi saat Gubernur Dedi Mulyadi datang ke lokasi bencana di Sumatera.
Aturan juga akan ditegakkan. Pembangunan perumahan misalnya akan dihentikan sementara.
Penghentian sementara izin membangun rumah di kawasan Bandung Raya tercantum dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 177/PUR.06.02.03/DISPERKIM. Kawasan ini meliputi Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kota Bandung, dan Kota Cimahi. Dia meminta kepala daerah tegas dalam mengimplementasikan hal itu.
Menurut Dedi, apabila kepala daerah di Bandung Raya tidak melakukan langkah-langkah tegas untuk mengembalikan fungsi ruang-ruang terbuka hijau, ancaman bencana besar akan terjadi dalam 2-3 tahun ke depan.
”Dalam dua-tiga tahun ke depan Bandung akan tenggelam saat dilanda hujan. Potensi ini terjadi karena Bandung berada di daerah cekungan dan kawasan hulu yang rusak akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan serta bangunan liar,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Program Studi Magister dan Doktor Teknik Geodesi dan Geomatika Institut Teknologi Bandung Irwan Gumilar menegaskan pentingnya pemanfataan teknologi untuk meminimalkan dampak bencana.
Teknologi seperti Global Navigation Satellite System (GNSS) dan Robotic Total Station (RTS) kini mampu memberikan informasi pergerakan tiga dimensi secara real-time. Data ini krusial untuk mendeteksi indikasi awal bencana seperti erupsi gunung api, pergerakan tanah, hingga kerusakan pada infrastruktur buatan manusia.
"Berdasarkan informasi tersebut, dapat diketahui potensi-potensi ancaman yang terjadi sehingga dapat dilakukan mitigasi untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa," ujarnya dalam Forum Diskusi Inovasi Sesi 3 pada gelaran Prima ITB x CEO Summit dalam persentasi bertajuk "Peningkatan Peran Teknologi dan Inovasi dalam Meminimalisir Risiko dan Dampak Bencana" di Bandung, Senin (15/12/2025).
Saat ini, pengembangan sistem monitoring bencana menggunakan teknologi GNSS berbiaya rendah tengah dilakukan ITB. Ia memaparkan, purwarupa alat ini telah sukses diuji coba untuk memantau penurunan muka tanah di Cekungan Bandung dan publikasinya telah terbit di jurnal internasional bereputasi, Applied Geomatics.
Akan tetapi, ia mengingatkan, aspek manusia dan sosial tidak boleh luput dari perhatian, terutama di daerah rawan bencana. Tantangan terbesarnya adalah kesiapan untuk menggunakan dan menjaga teknologi itu.
“Setiap teknologi tentu perlu adaptasi dalam penggunaannya, termasuk sosialisasinya kepada masyarakat," ujarnya.
Pesisir atau pegunungan sama-sama rawan tenggelam bila dibiarkan. Aturan dan ketegasan harus ditegakan bila tidak mau kerugian lebih besar datang di kemudian hari.





