Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Hak Cipta yang dilayangkan artis Bernadya, Nadin Amizah, Raisa Andriana, Tubagus Arman Maulana atau dikenal Armand Maulana, hingga Nazril Irham atau akrab disapa Ariel.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di MK, Rabu (17/12).
Salah satu poin yang dikabulkan MK adalah terkait sengketa hak cipta yang harus diselesaikan lewat restorative justice (RJ).
Hal tersebut terkait dengan gugatan terhadap Pasal 113 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Menurut MK, pasal ini, khususnya huruf f, bertentangan dengan UUD 1945.
"Frasa huruf f dalam norma pasal 113 ayat (2) UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice'," papar Suhartoyo.
Terkait hal tersebut, Hakim Enny Nurbaningsih menyebut bahwa Pasal 113 ayat (2) UU 28/2014 pada dasarnya merupakan norma sekunder yang mengikuti pengaturan dalam norma primernya, yaitu pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h.
Norma tersebut mengatur bahwa pencipta lagu atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi. Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan untuk melakukan penerjemah ciptaan, pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan, pertunjukan ciptaan, komunikasi ciptaan.
Setiap orang yang akan melaksanakan hak ekonomi sebagaimana disebutkan tersebut di atas, wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta.
Menurut MK, aturan ini untuk memberikan dasar hukum perlindungan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta dari setiap bentuk penggunaan ciptaan secara komersial tanpa izin.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, pelanggaran terhadap pasal itu, menurut MK, harus terlebih dahulu diselesaikan dengan mekanisme perdata atau administratif. Adapun pilihan pidana, merupakan langkah terakhir. Hal tersebut, untuk menghindari kekhawatiran bagi para musisi saat tampil.
"Pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta karena menggunakan ciptaan secara komersial tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta, haruslah mengedepankan sanksi administratif dan mekanisme keperdataan, dibandingkan sanksi pidana," ucap Enny.
"Penerapan sanksi pidana sebagai upaya pertama akan dapat menimbulkan kekhawatiran/ketakutan bagi pengguna ciptaan yang banyak berprofesi sebagai seniman, musisi dan pelaku pertunjukkan untuk tampil di ruang publik. Hal tersebut berpengaruh pula pada ekosistem seni dan budaya yaitu kreativitas mereka dalam mengekspresikan dan menampilkan suatu karya," sambungnya.
Enny kemudian merujuk kepada pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta yang memberikan pengaturan mengenai penggunaan ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta atau pemegang hak cipta dengan membayar royalti kepada LMK.
Hal tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa hak cipta yang diterapkan dalam UU 28/2014 mengandung fleksibilitas yang seharusnya diikuti pula dengan penyelesaian sengketa yang memberikan perlindungan kepada semua pihak secara proporsional.
"Misalnya dengan penyelesaian ganti rugi secara administratif atau perdata melalui pembayaran kepada LMK, sehingga mekanisme penegakan sanksi pidana menjadi pilihan terakhir," tegas Enny.
Atas dasar tersebut, MK memberikan pemaknaan terhadap frasa dalam pasal 113 ayat (2) huruf f menjadi: 'dalam penerapan sanksi pidana dilakukan dengan terlebih dahulu menerapkan prinsip restorative justice'.
Adapun huruf f mengacu kepada Pasal 9 huruf f terkait dengan: Pertunjukan Ciptaan.
Sementara, ada dua pasal lain yang diubah oleh MK juga. Pasal itu yakni:
Menyatakan frasa 'setiap orang' dalam norma pasal 23 ayat (5) UU nomor 28 tahun 2014 tentang hak cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial'.
Menyatakan 'frasa imbalan yang wajar' dalam norma pasal 87 ayat (1) UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'imbalan yang wajar sesuai dengan mekanisme dan tarif berdasarkan peraturan perundang-undangan'.





