Pernahkah kita berpikir mengapa seseorang yang telah berhenti mengonsumsi narkoba dapat kembali melakukannya, meskipun mereka sangat menyadari konsekuensi buruknya? Mereka memahami segala risiko yang ada, mengetahui akibatnya, bahkan merasakan sakit yang pernah mereka alami. Namun, dalam situasi tertentu, keinginan untuk kembali menggunakan itu muncul. Fenomena ini disebut sebagai relapse.
Di dalam dunia pemulihan dari kecanduan, relapse bukan hanya dianggap sebagai “kegagalan,” tetapi lebih kepada bagian dari proses yang kompleks. Di tengah berbagai tekanan hidup, stres, permasalahan hubungan, atau emosi yang tidak terkelola, otak sering mencari cara cepat untuk kembali kepada sesuatu yang sebelumnya terasa “menolong,” meskipun sebenarnya itu merugikan. Jadi, mengapa zat berbahaya dapat terasa menarik kembali?
Relapse sebagai Coping MechanismDalam psikologi, mekanisme koping adalah cara seseorang menghadapi stres dan emosi yang tidak menyenangkan. Bagi beberapa mantan pengguna narkoba, zat adiktif dulunya adalah alat koping utama mereka. Ketika emosi meluap, cemas, sedih, marah, atau merasa hampa, otak memproses bahwa narkoba dahulu mampu memberikan perasaan lega, meskipun hanya untuk sementara.
Permasalahannya, ingatan emosional ini tertanam kuat dalam otak. Saat menghadapi situasi sulit dan cara koping yang sehat belum cukup kuat, otak bisa "menawarkan" narkoba sebagai solusi instan. Inilah yang membuat relapse sering terasa tiba-tiba dan bukan sebagai keputusan yang sepenuhnya logis.
Familiaritas dan Rasa “Aman” yang MenipuRelapse sering kali terjadi bukan karena pengalaman baru, tetapi justru akibat sesuatu yang sudah sangat dikenal. Zat yang familiar, sensasi yang dikenali, dan pola yang sudah ada. Familiaritas ini menciptakan ilusi rasa aman: “Aku sudah paham efeknya,” atau “Hanya sekali saja. ” Padahal, justru karena kenyamanan inilah relapse menjadi berbahaya.
Otak cenderung memilih hal-hal yang sudah dikenalnya ketika berada dalam tekanan. Mirip dengan seseorang yang memilih rutinitas lama saat stres, mantan pengguna narkoba bisa kembali terperangkap dalam pola lama yang dahulu memberikan rasa nyaman palsu.
Peran Emosi dan Efikasi DiriSecara psikologis, relapse sangat berkaitan dengan efikasi diri, yaitu keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengendalikan tindakan dan menghadapi situasi sulit. Ketika efikasi diri menurun, putus asa, atau gagal, kemungkinan untuk relapse meningkat. Sebaliknya, seseorang dengan efikasi diri yang tinggi cenderung lebih mampu menahan keinginan untuk menggunakan kembali, bahkan dalam kondisi stres yang berat.
Relapse juga sering kali disebabkan oleh emosi yang tidak dikelola dengan baik. Tidak hanya emosi negatif, tetapi juga emosi positif tertentu, seperti perasaan euforia yang berlebihan atau rasa percaya diri yang terlalu tinggi, dapat membuat seseorang lengah terhadap batas kemampuannya sendiri.
Relapse Bukan Akhir, tapi SinyalPenting untuk dipahami bahwa relapse bukanlah indikator dari kelemahan karakter, melainkan sinyal bahwa ada kebutuhan psikologis yang belum terpenuhi. Relapse menunjukkan bahwa individu masih perlu memperkuat strategi koping, dukungan sosial, dan keyakinan pada diri sendiri.
Dalam konteks psikologis, memahami relapse membantu kita melihat pemulihan sebagai proses jangka panjang, bukan sesuatu yang linear. Sama seperti mekanisme koping lainnya, keputusan untuk kembali menggunakan zat adalah usaha otak untuk bertahan, meskipun dengan cara yang salah. Dengan pemahaman ini, pendekatan pemulihan dapat lebih bersifat empatik, realistis, serta berfokus pada penguatan diri daripada sekadar menghindari kegagalan.




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5328315/original/031567500_1756205655-IMG_1575.jpg)