Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah ekonom memandang ruang pelonggaran moneter pada akan semakin terbatas, usai Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 4,75% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Desember 2025.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai keputusan BI menahan bunga untuk kali ketiga berturut-turut ini sudah sesuai ekspektasi pasar. Menurutnya, fokus utama otoritas moneter saat ini jelas yaitu memprioritaskan stabilitas nilai tukar di tengah tanda-tanda moderasi pertumbuhan ekonomi.
Meski BI sudah memangkas suku bunga secara kumulatif sebesar 150 basis poin (bps) sejak September 2024, Josua memproyeksikan 'jalan sempit' bagi penurunan bunga lanjutan pada tahun depan.
"Kami memperkirakan pemangkasan BI Rate akan berlanjut pada 2026. Namun, ruang pelonggaran kemungkinan akan lebih terbatas dibandingkan tahun 2025," ujar Josua dalam keterangannya, Rabu (17/12/2025).
Dia mengestimasi penurunan suku bunga kumulatif pada 2026 tidak akan lebih dari 50 bps. Bahkan, sambungnya, angka tersebut bisa lebih rendah apabila tekanan stabilitas global bertahan lebih lama dari yang diantisipasi.
Alasannya, langkah pro-pertumbuhan yang terlalu agresif berisiko melebarkan defisit kembar (twin deficit), yakni defisit transaksi berjalan dan keseimbangan fiskal. Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) berpotensi melebar akibat permintaan impor yang kuat, sementara ekspor masih tertekan perang dagang.
"Dampak inflasi dari tarif perang dagang di AS belum sepenuhnya terealisasi, menunjukkan The Fed kemungkinan tidak akan mengejar siklus pelonggaran agresif pada 2026," tambahnya.
Kondisi ini memaksa BI untuk menjaga selisih suku bunga positif dengan suku bunga kebijakan Bank sentral AS alias Fed Fund Rate, demi menjaga daya tarik aset keuangan domestik dan menopang arus modal masuk (capital inflow).





