JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi menegaskan, pembayaran royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta atas penggunaan ciptaan dalam suatu pertunjukan secara komersial menjadi tanggung jawab pihak penyelenggara pertunjukan. Royalti dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) bagi pencipta atau pemegang hak cipta yang memberi kuasa kepada LMK. Royalti bisa juga dibayarkan secara langsung kepada pencipta/pemegang hak cipta apabila yang bersangkutan tidak tergabung dalam LMK.
MK juga menegaskan bahwa pelanggaran terhadap hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta karena menggunakan ciptaan tanpa izin tidak boleh serta-merta dijadikan perkara pidana. Pendekatan pidana ditegaskan merupakan jalan terakhir atau ultimum remedium, setelah upaya administratif dan gugatan perdata ditempuh. Apabila penyelesaian pidana digunakan, mekanisme keadilan restoratif harus didahulukan.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Tubagus Arman Maulana atau Armand Maulana, Nazriel Ilham atau Ariel Noah, serta 27 musisi lainnya yang tergabung dalam Gerakan Satu Visi dalam sidang terbuka yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, Rabu (17/12/2025). Mereka menyoal konstitusionalitas sejumlah pasal di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Dalam putusannya, MK memberi tafsir baru terhadap aturan penggunaan ciptaan secara komersial di Pasal 23 Ayat (5), aturan pemberian royalty dalam Pasal 87 Ayat (1), dan sanksi pidana pada Pasal 113 Ayat (2) UU Hak Cipta. Ketiga norma tersebut bertentangan dengan konstitusi, khususnya terkait dengan kepastian hukum yang adil dan melanggar hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28G Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
MK menilai frasa “setiap orang” di dalam Pasal 23 Ayat (5) UU Hak Cipta multi tafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum di dalam penerapannya khususnya terkait siapa yang harus membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Setiap orang merujuk kepada siapapun yang menjadikan suatu pertunjukan dapat terselenggara yang terdiri dari pihak penyelenggara dan juga pelaku pertunjukan.
MK berpandangan, nilai keuntungan suatu pertunjukan komersial ditentukan oleh jumlah penjualan tiket dan yang mengetahui secara rinci tentang hal itu adalah pihak penyelenggara pertunjukan. “Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pihak yang seharusnya membayar royalty kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui LMK ketika dilakukan penggunaan ciptaan dalam suatu pertunjukkan secara komersial adalah pihak penyelenggara pertunjukan,” kata Enny.
Hal ini berlaku pula bagi pembayaran royalti secara langsung kepada pencipta atau pemegang hak cipta yang tidak memberikan kuasa kepada LMK. Berkaitan dengan imbalan atau royalti yang wajar, MK menegaskan bahwa parameter yangdigunakan haruslah mengacu pada tarif yang ditentukan oleh regulasi yang dikeluarkan instansi yang berwenang.
UU Hak Cipta mengatur ancaman pidana bagi pelanggaran hak cipta. Pasal 113 Ayat (2) UU Hak Cipta berbunyi: “Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
MK menilai, pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta haruslah mengedepankan sanksi administratif dan keperdataan dan bukan sanksi pidana. Hal ini sejalan dengan prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana dimana sanksi pidana menjadi upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum.
“Artinya, dalam konteks hak cipta, sanksi pidana hanya akan diterapkan setelah semua upaya penyelesaian mekanis yang lain, seperti sanksi administratif atau perdata, dinilai tidak memadai atau tidak memberikan penyelesaian,” kata Enny.
Apalagi, penerapan sanksi pidana sebagai upaya pertama untuk menyelesaikan masalah hukum akan menimbulkan kekhawatiran/ketakutan bagi pengguna ciptaan yang berprofesi sebagai seniman, Musisi, dan pelaku pertunjukan untuk tampil di ruang publik. “Hal tersebut berpengaruh pula pada ekosistem seni dan budaya, yaitu kreativitas mereka dalam mengekspresikan dan menampilkan suatu karya,” kata Enny.
MK tidak sependapat dengan pemohon untuk menghilangkan sanksi pidana dari pelanggaran ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta. Namun, menurut MK, penegakan sanksi pidana itu harus dilakukan dengan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif sebagai penerapan prinsip ultimum remedium.
“Artinya, sebagai salah satu wujud dari prinsip ultimum remidium, sanksi pidana dalam perlindungan hak cipta dilaksanakan apabila upaya penyelesaian secara administratif, perdata, atau prinsip restorative justice tidak tercapai,” tegas MK.
Dalam putusannya, MK juga menyoroti tentang pentingnya aturan yang lebih jelas dan rinci mengenai pembayaran royalty dalam suatu pertunjukkan. Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta tidak membatasi dan tidak pula membebaskan kapan pembayaran royalty harus dilakukan. Untuk itu, demi memberikan kepastian hukum, pemerintah dan LMK diminta untuk membuat aturan mendetail dengan mempertimbangkan faktor teknis dan nonteknis mengenai kapan royalty harus dibayarkan dan berapa lama jangka waktu atau batas pembayaran itu dilakukan.
MK menyarankan agar pemerintah dan LMK membuat prosedur yang lebih tegas mengenai hal tersebut. Selain itu, LMK pun diminta untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menjamin pendistribusian royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta secara tepat waktu, adil, dan transparan. Pembentuk undang-undang pun disarankan MK untuk menyusun suatu sistem pemungutan royalty kolektif melalui LMK dengan cara yang lebih sederhana agar efektif dan efisien.
Kuasa hukum pemohon, Panji Prasetyo, menegaskan, dengan adanya putusan ini, MK menegaskan penyanyi tak perlu meminta izin dari pencipta atau pemegang hak cipta asalkan membayarkan royalty kepada Lembaga Manajemen Kolektif. MK juga menegaskan bahwa pembayaran royalti dilakukan oleh pihak yang mendapatkan keuntungan, termasuk penyelenggara acara.
“Jadi, mulai hari ini, pastinya tidak ada cerita lagi penyanyi dituntut untuk membayar royalti. Yang juga penting banget, mulai hari ini nggak boleh lagi ada penyanyi dipidana karena nggak bayar royalti. MK sudah menegaskan bahwa pidana itu harus ditempuh melalui mekanisme restorative justice dulu, penyelesaian administratif dulu, perdata dulu, nggak bisa ujug-ujug pidana. Ini melegakan sekali,” ujar Panji.
Armand Maulana ditemui seusai sidang pembacaan putusan mengatakan, sejak putusan ini, tidak ada lagi kisruh di lapangan karena sudah ditegaskan bahwa penyanyi tidak membayar royalty karena hal itu menjadi tanggung jawab penyelenggara. Penyanyi tersebut hanya mendapatkan fee dari pertunjukkan, bukan masalah royalti.
Ia pun mengapresiasi putusan MK soal penyelesaian pidana sebagai upaya terakhir. “Karena sampai detik ini ada penyanyi, saya tidak mengungkapkan siapa, tapi tetap disomasi dan bahkan dipidana. Itu benar-benar terakhir banget. Mudah-mudahkan tidak ada lagi masalah dilapangan yang memusingkan manajemen artis dan para EO, dan lainnya,” katanya.





