JAKARTA, KOMPAS — Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara RI menuntaskan seluruh proses penyerapan aspirasi dari berbagai elemen masyarakat. Komisi akan memasuki tahapan rapat pleno untuk menyusun kesimpulan serta rekomendasi arah reformasi Polri kepada Presiden.
Ketua Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Jimly Asshiddiqie mengatakan, proses penyerapan aspirasi telah melibatkan lebih dari 80 kelompok dan lembaga di tingkat pusat ataupun daerah. Aspirasi datang dari lembaga negara independen, organisasi masyarakat sipil, kalangan akademisi, profesi, hingga tokoh masyarakat.
Selanjutnya, komisi akan menggelar rapat pleno yang diikuti oleh 10 anggota tim untuk mulai merumuskan kesimpulan dan rekomendasi, Kamis (18/12/2025). Rapat pleno tersebut menjadi tahapan awal penyusunan rekomendasi kebijakan reformasi Polri yang ditargetkan rampung dalam dua bulan mendatang.
”Masukan sudah kami anggap cukup lengkap. Besok mulai rapat pleno untuk memilah dan memilih usulan-usulan reformasi,” kata Jimly seusai pertemuan dengan sejumlah lembaga di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Perpol itu pada dasarnya adalah aturan internal yang kewenangannya didelegasikan oleh undang-undang kepada Kapolri. Namun dalam praktiknya, ada Perpol yang mengatur keluar dan bersinggungan dengan kewenangan instansi lain. Ini yang menjadi salah satu fokus evaluasi kami.
Penyerapan aspirasi terakhir dilakukan bersama delapan lembaga, antara lain Komnas HAM, Komnas Anak, dan Dewan Pers. Komisi juga mendengarkan masukan dari akademisi, advokat, dan praktisi forensik.
Selain di Jakarta, komisi juga telah menyerap aspirasi melalui kunjungan ke sejumlah daerah, seperti Aceh dan Balikpapan, serta Bali. Langkah ini dilakukan agar agenda reformasi Polri tidak hanya bertumpu pada perspektif pusat.
Jimly melanjutkan, rapat pleno akan difokuskan untuk menyusun tiga jenis kesimpulan reformasi, yakni reformasi struktural, reformasi kultural, dan reformasi instrumental. Reformasi struktural mencakup penataan kelembagaan, sistem pengawasan, serta relasi antarlembaga yang bersinggungan dengan tugas kepolisian.
Reformasi kultural diarahkan pada penguatan etika, profesionalisme, serta budaya kerja Polri, termasuk pendidikan, rekrutmen, dan mekanisme promosi berbasis meritokrasi. Adapun reformasi instrumental berkaitan dengan evaluasi dan pembenahan regulasi, baik di tingkat undang-undang maupun peraturan di bawahnya, termasuk peraturan Polri (perpol).
“Perpol itu pada dasarnya adalah aturan internal yang kewenangannya didelegasikan oleh undang-undang kepada Kapolri. Namun dalam praktiknya, ada Perpol yang mengatur keluar dan bersinggungan dengan kewenangan instansi lain. Ini yang menjadi salah satu fokus evaluasi kami,” ujar Jimly.
Jimly menjelaskan, untuk isu-isu lintas sektor yang tidak dapat diatur secara internal oleh Polri, komisi membuka kemungkinan penggunaan pendekatan omnibus, baik dalam bentuk undang-undang (UU) maupun peraturan pemerintah (PP). Pendekatan ini dinilai lebih efektif untuk mengharmoniskan berbagai aturan yang saling berkaitan, termasuk soal penempatan anggota Polri di kementerian/lembaga lain.
“Kalau sudah menyangkut irisan antarlembaga, tidak bisa hanya diatur lewat perpol. Itu harus diangkat ke level PP atau undang-undang,” kata Jimly.
Lebih jauh, menurut Jimly, kerja-kerja yang dilakukan komisi telah sesuai dengan rencana. Penyerapan aspirasi telah diselesaikan dalam satu bulan pertama sejak pelantikan pada 7 November lalu. Sedangkan pada bulan kedua, komisi mulai menyusun kesimpulan-kesimpulan utama melalui rapat pleno. Bulan ketiga melakukan drafting rekomendasi, baik ke dalam maupun keluar, termasuk kemungkinan revisi UU Polri.
“Habis itu langsung kami laporkan kepada Presiden. Bukan kertas kerja yang perlu seminar atau FGD (diskusi kelompok terpumpun) lagi, tetapi rekomendasi kebijakan yang bisa langsung ditindaklanjuti,” ujar Jimly.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyampaikan, reformasi kepolisian harus benar-benar menjawab tuntutan publik. Oleh karena itu, berbagai masukan kritis dari kelompok masyarakat diharapkan dapat diakomodasi untuk perbaikan Polri ke depan.
“Komnas HAM berharap Komisi Percepatan Reformasi Polri bekerja untuk memastikan tuntutan masyarakat terkait perbaikan kepolisian, baik secara profesionalitas, akuntabilitas, maupun kelembagaan, benar-benar dilakukan,” kata Anis.
Anis mengungkapkan, sejak Komnas HAM berdiri hingga saat ini, kepolisian merupakan institusi yang paling banyak dilaporkan ke Komnas HAM. Sepanjang 2025 hingga Oktober, Komnas HAM menerima sekitar 2.400 aduan, hampir 700 di antaranya merupakan aduan terkait kepolisian.
Aduan tersebut terutama berkaitan dengan tiga persoalan utama, yakni ketidakprofesionalan dalam penanganan perkara, dugaan kesewenang-wenangan dalam proses penangkapan dan penahanan, serta dugaan kuat masih terjadinya praktik penyiksaan.
“Sepanjang Januari 2024 sampai Oktober 2025, Komnas HAM menerima sedikitnya sekitar 390 aduan khusus terkait kasus penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian,” ujar Anis.
Berdasarkan temuan tersebut, kata Anis, Komnas HAM mendorong evaluasi menyeluruh terhadap sistem kepolisian. Evaluasi mencakup kinerja, kewenangan, dan pengawasan dalam tata kelola penegakan hukum. Komnas HAM juga menilai perlu dilakukan evaluasi komprehensif terhadap luasnya kewenangan kepolisian di bidang keamanan maupun ketertiban umum.
Sedangkan dari aspek kultur, pembenahan pendidikan, rekrutmen, mutasi, dan promosi berbasis meritokrasi serta pengarusutamaan HAM dinilai menjadi keharusan. Komnas HAM juga menekankan pentingnya perlindungan HAM dalam pengamanan aksi unjuk rasa. Jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi juga tidak boleh berujung pada kriminalisasi, seperti yang terjadi dalam sejumlah aksi pada Agustus hingga September lalu.
Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Sylvana Maria, menambahkan, reformasi kepolisian perlu memberi perhatian khusus pada perlindungan anak dalam praktik penegakan hukum. “Kami menemukan masih adanya diskriminasi dan kekerasan terhadap anak yang melibatkan aparat penegak hukum, baik sebagai pelaku langsung maupun karena pembiaran,” katanya.
Sylvana melanjutkan, berdasarkan pengaduan yang diterima KPAI, pengawasan pemberitaan media, serta pemantauan langsung ke lapangan, penanganan kasus kekerasan terhadap anak kerap berjalan lambat atau mengalami delay injustice. Banyak kasus yang dilaporkan ke kepolisian tidak ditangani secara tuntas. Catatan tersebut telah diserahkan kepada kepolisian sebagai bagian dari masukan reformasi struktural.
“Kami mendorong agar ada penanganan khusus menggunakan perspektif hak anak dalam setiap kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap anak,” ujar Sylvana.
Selain itu, KPAI meminta penambahan jumlah polisi wanita (polwan), tidak hanya dari sisi kuantitas, tetapi juga kualitas dan perspektif hak anak. Ketiadaan polwan dalam sejumlah penanganan kasus dinilai berdampak besar terhadap keadilan bagi anak sebagai korban.
Ketua Presidium Forum Integritas Negara Hukum (FINH) Ahmad Yani menilai, reformasi kepolisian perlu dimulai dari pembenahan di level pimpinan tertinggi. Reposisi kepemimpinan Polri menjadi langkah awal yang menentukan arah reformasi selanjutnya karena merupakan langkah yang sangat konkret untuk memulai pembenahan Polri.
Ia menilai, masa jabatan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo saat ini sudah berlangsung cukup lama. Oleh karena itu, diperlukan penyegaran kepemimpinan untuk mendorong perubahan institusional. Tanpa langkah tersebut, agenda reformasi kepolisian dinilai akan sulit diterjemahkan secara nyata.
“Tanpa reposisi kepemimpinan di tingkat Kapolri, kami khawatir reformasi hanya akan berhenti di level wacana dan tidak menyentuh perubahan mendasar,” ujar Ahmad Yani.




