Bisnis.com, JAKARTA- Beberapa tahun terakhir, terjadi penurunan jumlah pekerja yang mengambil pekerjaan sampingan.
Kepala Kajian Sosial dan Ketenagaakerjaan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Muhammad Hanri mengatakan, pada 2024, hanya 8% pekerja di Indonesia yang memiliki pekerjaan sampingan. Jumlah ini menurun jika dibandingkan pada 2019, sebelum masa pandemi Covid-19 di mana ada 10,9% pekerja yang punya side job.
“Kenyataan ini bisa dilihat dari dua sisi, apakah bagus atau jelek. Bagus ketika misalnya yang punya side job itu menjadi lebih secure di pekerjaan yang saat ini. Mereka menjadi lebih formal, mereka punya pendapatan yang lebih pasti setiap bulannya, sehingga konsumsi jadi smooth, jadi tidak harus mengambil side job sehingga kelompok yang terpaksa bekerja sampingan itu berkurang. Atau jangan-jangan, gara-gara peluang untuk side job malah ikutan berkurang,” ujarnya dalam obrolan Broadcash di kanal Youtube Bisniscom, dikutip Rabu (10/12/2025).
Menurutnya, sebaran jumlah pekerja yang memiliki pekerjaan sampingan terbanyak berada di Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Yogyakarta. Daerah seperti NTB, terangnya, kebanyakan pekerja mengambil pekerjaan sampingan di bidang jasa administrasi sosial pemerintahan maupun jasa pendidikan.
Hal ini berbeda dengan di kota besar seperti Jakarta di mana pekerjaan sampingan di sektor perdagangan eceran, akomodasi makanan minuman serta transportasi. Pasalnya, di kota besar, perilaku masyarakat yang memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi untuk berbelanja atau transportasi, melahirkan peluang pekerjaan sampingan di bidang itu.
Dia juga membeberkan, di daerah yang bukan tergolong kota besar, pekerja terdorong untuk mencari pekerjaan sampingan karena tingkat upah yang tidak begitu tinggi, antara Rp2 juta hingga Rp3 juta, tidak sebanding dengan biaya hidup di daerah-daerah tersebut juga cukup tinggi.
Selain itu, rata-rata pekerja di daerah-daerah itu bekerja di sektor pertanian, nelayan maupun peternakan sehingga memiliki waktu luang selepas bekerja, untuk melakukan pekerjaan sampingan lain seperti menjadi tenaga administrasi atau bahkan berjualan di pasar.
Sementara di kota besar, termasuk Jakarta, tren pekerja yang bekerja sampingan mengalami penurunan karena faktor kelelahan setelah bekerja, ditambah dengan perjuangan untuk mengakses transportasi umum serta menerabas kemacetan lalu lintas. Pekerja merasa lelah dan karena itu tidak ingin mencari pendapatan tambahan.
Kajian LPEM UI juga menemukan bahwa pekerja yang memiliki pekerjaan sampingan, rata-rata tinggal di daerah kota, baik kota besar maupun kota kecil. Hal ini dikarenakan biaya hidup di perkotaan dinilai lebih mahal sehingga butuh pendapatan tambahan dari pekerjaan sampingan.
“Di kota, pekerja yang punya pekerjaan sampingan itu dua kali lipat dibandingkan di desa. Selain itu di kota lebih punya infrastruktur juga dibandingkan di desa,” ucapnya.
Dia menjelaskan juga bahwa berdasarkan jenis kelamin, pekerja laki-laki lebih banyak memiliki pekerjaan sampingan dibandingkan pekerja perempuan. Hal ini menurutnya, tidak terlepas dari konstruksi sosial di Indonesia, yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga lebih memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarga.
Sementara itu dari sisi generasi, kaum milenial pun dinilai lebih banyak mencari pendapatan tambahan dibandingkan generasi Z. Alasannya, rata-rata generasi ini telah hidup berkeluarga dan tentu saja membutuhkan lebih banyak pendapatan untuk membiayai kehidupan keluarganya.




