Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya akan memberlakukan parkir digital bertahap mulai Januari 2026 mendatang. Pembayaran digital itu menggunakan kartu uang elektronik prabayar, bisa melalui e-toll atau e-money.
Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya menyampaikan, sudah menginstruksikan pada seluruh pengusaha yang memungut pajak parkir di tempat usahanya.
Menurutnya, sistem parkir harus beralih menggunakan digitalisasi yang berlaku di semua tempat usaha Surabaya. Sedangkan bagi usaha baru, syarat wajib perizinan merupakan sistem parkir digital.
Sistem parkir digital terbagi menjadi dua opsi yakni, penggunaan palang otomatis atau penerapan pembayaran nontunai melalui kartu uang elektronik prabayar, dengan memanfaatkan kartu e-toll atau e-money.
Langkah itu dinilai sebagai penyempurna rencana sebelumnya yang telah lebih dulu menggunakan pembayaran nontunai yakni, QRIS.
Sementara itu, Paguyuban Jukir Surabaya (PJS) merespons wacana Pemkot Surabaya memberlakukan parkir digital bertahap mulai 2026.
Feri Fadli Wakil Ketua PJS menyatakan pihaknya mendukung rencana Pemkot memberlakukan parkir digital, asal memperhatikan kesejahteraan jukir.
Menurut Feri rencana pemberlakuan parkir digital perlu dikaji lebih dalam lagi. Karena selain persoalan jukir, masyarakat dan pemerintah juga perlu banyak persiapan dalam penerapan parkir digital.
Karena pada rencana pemberlakuan pembayaran menggunakan QRIS beberapa waktu lalu, ternyata masyarakat belum siap. Sehingga, batal dilaksanakan.
Selain itu, Feri mengaku khawatir dengan rencana pemberlakuan parkir digital jika kajiannya belum mendalam.
Karena saat pemberlakuan pembayaran menggunakan QRIS, Feri masih menemukan adanya kebocoran transaksi di lapangan.
Lalu, apakah Anda memilih sistem pembayaram digital atau tunai?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (18/12/2025), dalam polling di Instagram @suarasurabayamedia, 85 persen masyarakat memilih melakukan pembayaran lewat digital. Sedangkan 15 persen sisanya memilih tunai.
Sementara, berdasar data dari pendengar Radio Suara Surabaya yang bergabung melalui telepon dan pesan WhatsApp, sebanyak 99 persen memilih melakukan pembayaran dengan sistem digital. Sedangkan 1 persen sisanya memilih tunai.
Persoalan parkir di Surabaya, dilihat dari sisi hukum, menurut Doktor Ardhiwinda Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya meruoakan sesuatu yang kompleks.
“Dulu parkir hanya menyediakan tempat untuk mobil dan motor beristirahat. Namun, karena demand cukup tinggi, kini parkir bergeser menjadi sektor ekonomi real yang dijalankan oleh pemerintah dan juga swasta,” katanya, saat onair di Radio Suara Surabaya.
Di Surabaya, karena parkir menjadi bagian dari pelayanan publik, maka negara harus hadir dan menjadikannya sebagai salah satu instrumen pengendali jumlah kendaraan pribadi.
Dengan begitu, retribusi parkir saat ini muncul sebagai pendapatan daerah. Tapi, dibutuhkan digitalisasi supaya ada transparansi, akuntabilitas, dan pengelolaan.
“Dengan adanya digitalisasi, pemerintah daerah (pemda) berupaya melakukan penataan untuk meminimalisasi terjadinya kecurangan di lapangan, juga untuk memberikan perspektif pembagian hasil yang lebih adil dengan juru parkir,” jelasnya.
Karena sebelumnya upaya pemberlakuan membayar dengan sistem digital sudah pernah diterapkan Pemkot Surabaya, tapi tidak berhasil, Ardhi menyarankan pemerintah tidak hanya memberlakukan sistem sanksi, tapi juga pemberian insentif.
Pemberian insentif tidak hanya ditujukan pada petugas parkir, namun juga user. Dengan cara, pemberian cashback atau diskon jika melakukan pembayaran dengan e-money.
“Dan yang paling penting, Pemkot Surabaya harus konsisten menegakkan kebijakan ini. Karena dari hasil polling yang dilakukan Suara Surabaya, sudah terlihat kalau publik banyak mendukung rencana Pemkot Surabaya,” tutupnya.(kir/rid)


