Mengapa Polisi Bisa Ada di Segala Lini?

kompas.id
23 jam lalu
Cover Berita

Polemik tentang Peraturan Kepolisian Negara RI Nomor 10 Tahun 2025 yang mengemuka belakangan ini memperlihatkan persoalan yang lebih dalam. Persoalan yang kini terjadi ditengarai berakar pada desain dan pembentukan institusi Korps Bhayangkara yang terjadi 25 tahun yang lalu.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur mengaku teringat dengan istilah "Panasea" ketika membandingkan organisasi Polri saat ini, dengan situasi di era Orde Baru. "Panasea" adalah sebuah istilah dalam mitologi Yunani tentang obat yang bisa menyembuhkan segala penyakit.

"Kita harus bisa melihat genealogi otoritarianismenya polisi sejak Orde Baru. (Waktu itu) Mau masalah apapun solusinya adalah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Mau urusan bencana? ABRI, tentara. Mau urusan swasembada pangan, dulu nanam padi? ABRI. Mau bangun desa, ya, ABRI. Urusan keagamaan, bahkan mengawasi kepercayaan masyarakat, ya, ABRI juga," tutur Isnur.

Yang dulu dilakukan ABRI itu kini digantikan oleh polisi karena seolah tidak boleh ada satu jengkal wilayah sipil yang tidak dikelola oleh mereka. Seluruh aspek dimasuki oleh polisi, bukan hanya hukum, tetapi juga ketertiban, keamanan, hingga aspek pelayanan masyarakat, seperti konser, ibadah, dan demonstrasi.

Masih soal apa-apa polisi, sambung Isnur, draf revisi Undang-Undang Polri pada 2024 memuat pasal tentang Pam Swakarsa. Di pasal itu, mulai dari serfitikat, pengajar, hingga warna seragam satuan pengamanan (satpam) yang dibentuk swasta ditentukan oleh polisi. Isnur pun menyebut contoh-contoh itu sebagai bentuk police state.

"Setelah reformasi ada pemisahan undang-undang, pemisahan badan antara tentara dan polisi. Tapi wacana itu, karakter itu, nuansa itu enggak berubah, enggak bergeser," ujarnya.

Meski polisi telah dipisahkan dari militer, namun proses demiliterisasi tidak terjadi. Bahkan, dari sisi status, polisi tidak mau disebut sebagai aparatur sipil negara (ASN) meski bukan pula militer. Di lapangan, masyarakat sipil, termasuk YLBHI, mencatat angka kekerasan, brutalitas polisi, hingga pembunuhan di luar hukum yang terus meningkat.

Sebagai contoh, alih-alih melihat suporter yang datang ke Stadion Kanjuruhan, Malang, sebagai orang yang datang penuh cinta, polisi menganggap mereka sebagai ancaman. Demikian pula demonstran dalam suatu aksi massa dianggap sebagai musuh. Hal itu diperparah dengan perilaku polisi yang tidak segan merekayasa bukti.

"Itu yang menurut saya berat sekali (perbaikannya). Saya enggak tahu dari mana mulainya. Tapi, kira-kira mengubah 400.000 orang (polisi) lebih itu dari mana karena situasinya sudah sedemikian rupa. Mengunci di sana sini," terang Isnur.

Baca JugaReformasi Polri Sudah Sering Disuarakan, Apakah Kali Ini Serius?

Apa yang disampaikan Isnur tersebut merupakan tanggapan atas laporan "Policy Brief: Reformasi Kelembagaan dan Pengawasan Eksternal Kepolisian" yang dibuat oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia. Laporan itu disampaikan dalam diskusi luring dan daring yang diselenggarakan PSHK di Jakarta, Selasa (16/12/2025).

Di dalam "Policy Brief: Reformasi Kelembagaan dan Pengawasan Eksternal Kepolisian " disampaikan, pemisahan TNI dengan Polri terjadi pada Agustus 2000 melalui penetapan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor VI/ MPR/2000. Sementara fungsi Polri diatur dalam UUD 1945, yaitu dalam rumusan Pasal 24 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

Pasal 24 ayat (3) mengatur perihal badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, yang salah satunya adalah Polri. Kepolisian diberi fungsi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Adapun Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 memfokuskan pada fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Namun, menurut Deputi Direktur PSHK Fajri Nursyamsi, kedua pasal itu tidak dimaknai secara baik. Sebab, jika menyebut fungsi kepolisian, biasanya yang dirujuk adalah Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, tidak ke Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Frase "Badan-badan lain" dalam pasal itu sebenarnya mengatur tentang kepolisian dan kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.

Fajri menyebut, adanya lubang besar pemaknaan yang pada akhirnya berdampak pada tugas dan kewenangan Polri yang semakin melebar tanpa diimbangi dengan pengawasan eksternal. Kewenangan yang dimaksud adalah kepolisian menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan, sementara di sisi lain memiliki fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Baca JugaPolisi Duduki Jabatan Sipil dan Hati Birokrasi yang Terluka 

"Dalam perspektif hukum tata negara, dua fungsi ini harus dipisahkan karena dia memiliki tata kelola yang berbeda walaupun berada dalam satu tubuh lembaga. Dua fungsi ini harus dimaknai secara berbeda karena secara prinsip, tata kelola, bahkan pertanggungjawabannya pada akhirnya itu mempunyai dua domain atau dua ranah yang berbeda," kata Fajri.

Dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, sambung Fajri, polisi sebagai penyelidik dan penyidik diatur melalui KUHAP. Masalah kemudian timbul ketika polisi menjalankan fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana amanat Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

Masalahnya, sampai saat ini tidak ada undang-undang yang mengatur tentang keamanan dan ketertiban masyarakat. Demikian pula tidak ada sistem yang dibangun agar masing-masing instansi atau lembaga yang bertugas menjaga keamanan dapat saling mengimbangi dan mengawasi, semisal dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) atau Badan Keamanan Laut (Bakamla).

"Di fungsi keamanan yang dilakukan adalah justru mempersonifikasi keamanan sebagai kepolisian. Ini permasalahan sejak tahun 2002. Dampaknya adalah apa yang dikeluarkan dari institusi kepolisian itulah pemaknaan keamanan tanpa ada check and balance, tanpa ada perimbangan dari lembaga lain," tutur Fajri.

Menurut Fajri, ketika keamanan disamakan dengan kepolisian, maka yang dirasakan publik adalah semakin tingginya kesewenang-wenangan. Kepolisian mendominasi interpretasi keamanan nasional seolah tanpa perlawanan. Hal ini terjadi karena Pasal 30 ayat (4) tidak didefinisikan secara jelas, khususnya batasan fungsi itu beserta lembaga yang terkait.

Baca JugaPolri Latih Instruktur Polisi Berkarakter, tetapi Reformasi Butuh Lebih dari Itu

Bagi publik, ketika urusan keamanan dan ketertiban masyarakat dipersonifikasi secara tunggal hanya kepada institusi kepolisian, maka batas fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi tidak terbatas. Demikian pula penerapan prinsip hak asasi manusia (HAM) sulit dilakukan kaena tidak ada yang bisa mengoreksi dan mengimbangi kewenangan yang dimiliki kepolisian.

Contoh paling baru adalah Putusan MK Nomor 114 yang menegaskan bahwa semua anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Jabatan yang mengharuskan anggota Polri mundur atau pensiun dari dinas kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian.

"Ketika dikatakan oleh MK bahwa harus sesuai dengan fungsi kepolisian, tidak ada bisa menjawab fungsi ini basisnya apa, batasan keamanan itu apa. Yang bisa mendefinisikan adalah kepolisian sendiri karena sejak awal keamanan yang diamanatkan oleh UUD itu langsung dipersonifikasikan ke Polri sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan keamanan," terang Fajri.

Baca JugaMK: Polisi Aktif Harus Mundur Saat Duduki Jabatan Sipil

Dari kajian PSHK, UU No 2/2002 tentang Polri telah memperbesar fungsi kepolisian. UU tersebut seharusnya dulu disusun untuk mengatur sistem keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan mengatur institusi kepolisian seperti sekarang. Akibatnya, fungsi Polri semakin luas tanpa ada perimbangan dan batasan. Bahkan, beberapa pasal dalam UU tersebut dinilai sudah tidak sesuai dengan konsep pemolisian demokratis.

Usulan reformasi kelembagaan

Dari berbagai analisis tersebut, PSHK mengajukan tiga lingkup reformasi kelembagaan Polri. Pertama adalah pembatasan kewenangan dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan, serta keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua adalah pembatasan ruang lingkup pelayanan publik. Sedangkan yang ketiga adalah penguatan pengawasan eksternal.  

"Di sisi fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat, perlu ada perimbangan (Polri) dengan kementerian. Kami menyebutnya di sini kementerian karena pada dasarnya sampai sekarang belum ada kementerian di Indonesia yang melaksanakan urusan keamanan," tutur Fajri.

Terkait pembatasan lingkup pelayanan publik, PSHK menyoroti adanya beberapa wewenang yang tumpang tindih dengan instansi lain. Semisal, penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) beserta sistem informasinya ada di UU tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Ketika hal ini dilaksanakan oleh kepolisian, maka harus dinilai apakah sesuai dengan fungsi penyelidikan dan penyidikan atau keamanan Polri.

Lainnya, tugas untuk penerbitan surat catatan kepolisian (SKCK) secara substantif terkait dengan catatan tentang kependudukan. Dengan demikian, seharusnya fungsi itu menjadi wewenang Kementerian Dalam Negeri. Demikian pula penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang terkait dengan pajak semestinya diurus oleh pemerintah daerah.

"Dalam kajian ini, kami merekomendasikan ada sekitar 58 urusan lain yang seharusnya tidak dilaksanakan oleh kepolisian sehingga perlu untuk dihilangkan sebagai bagian dari tugas kepolisian," ujarnya.

Dalam konsep pemolisian demokratis, kepolisian mesti diawasi oleh lembaga pengawas eksternal independen. Lembaga itu mesti di luar struktur eksekutif dan seluruh anggotanya berasal dari hasil seleksi. Untuk masa jabatannya diatur melalui UU dan terdapat tim etik ad hoc sebagai pengawas lembaga eksternal.

Titik tekan lembaga pengawas eksternal adalah mengawasi jabatan polisi, khususnya bagi pimpinan kepolisian. Selain itu, lembaga pengawas harus diberi tugas untuk membuka dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan mempublikasikannya secara terbuka.

Baca JugaPenempatan Polri di Bawah TNI atau Kemendagri Bisa Picu Problem Baru

Pada kesempatan itu, pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Asfinawati menyoroti fungsi kepolisian dalam menjaga keamanan. Ia juga mempertanyakan perbedaan antara menjaga keamanan dan ketertiban dengan menjalankan fungsi kehakiman.

"Menurut saya menjaga keamanan punya dua makna. Yang satu mengamankan saja dan lainnya mengamankan melalui penegakan hukum," kata Asfinawati.

Lebih lanjut menurutnya, model keamanan suatu negara, tergantung dari ancamannya. Hal itu berangkat dari pengalamannya bertemu dengan polisi dari suatu negara yang secara fisik tidak mencerminkan polisi yang tinggi, besar, dan gagah. Alih-alih menggunakan standar polisi konvensional, negara asal polisi tersebut bisa jadi fokus kepada kejahatan digital sehingga tidak mementingkan otot, melainkan otak.

Dengan mendasarkan pada jenis ancaman yang dibayangkan suatu negara, mestinya Indonesia juga bergerak ke arah sana. Dengan demikian, pembentukan polisi untuk menjaga keamanan disesuaikan dengan ancaman bagi Indonesia.

"Apa sih yang diasumsikan dan yang dikaji oleh Indonesia sebagai ancaman Indonesia? Baik ancaman terhadap national security, negara, bangsa, maupun human security? Apakah bencana? Apakah kejahatan cyber? Apakah perdagangan orang? Atau apakah pencurian sumber daya di pulau terluar?" tanyanya.

KOMPAS
Video Berita Aturan Polri yang Bolehkan Polisi di Jabatan Sipil

Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Saksi Sebut Tak Ada Larangan Jual Minyak di Bawah Bottom Price
• 11 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Penyerapan Anggaran Kementerian Pekerjaan Umum Diproyeksi Capai 96 Persen, Menteri PU Tetap Optimistis
• 9 jam lalupantau.com
thumb
Program CSR PGN Harum Berseri Berdayakan Lansia Agar Tetap Aktif & Produktif
• 13 jam lalujpnn.com
thumb
Alasan Penjualan Tiket Damri Baru Sentuh 16,6% Jelang Nataru 2025/2026
• 21 jam lalubisnis.com
thumb
Hasil Studi, Transisi Kendaraan Listrik Mencegah 36 Persen Kematian Dini
• 12 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.