Anak-anak di Wilayah 3T Terisolasi dari Layanan Dasar Publik

kompas.id
14 jam lalu
Cover Berita

JAKARTA, KOMPAS – Akses layanan publik anak-anak di wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal memprihatinkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan, selain angka ”stunting” yang melonjak drastis dan rendahnya kepemilikan akta kelahiran, hingga kini anak-anak di wilayah 3T itu juga terisolasi dari berbagai layanan dasar publik.

Anak-anak di wilayah 3T tidak hanya rentan secara geografis, tetapi juga menghadapi risiko berbagai bencana ekologis dan krisis iklim, terutama di area yang berdekatan dengan usaha ekstraktif. Belum lagi, ancaman kekerasan berlapis yang mereka hadapi setiap saat.

Demikian hasil pengawasan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak tahun 2023 di beberapa provinsi dan kabupaten di wilayah 3T. Papua, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Barat, Papua Barat Daya, Maluku dan Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang menjadi perhatian prioritas dalam pengawasan ini.

Baca JugaAnak Kurang Gizi di Pulau Kaya Rempah dan Ikan

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sylvana Apituley menegaskan, wilayah dengan kondisi kesejahteraan anak terparah ialah Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT), diikuti Maluku dan sebagian wilayah Sulawesi.

"Jadi, pola dan akar masalah perlindungan anak adalah isolasi, diskoneksi, dan ketimpangan sistemik. Segalanya minim infrastruktur, sarana prasarana layanan dasar publik, dan sumber daya manusia," ujar Sylvana dalam Diskusi Grup Terarah tentang Situasi Pelindungan Anak Wilayah 3T yang digelar secara hibrid, Kamis (18/12/2025).

Kelambatan akta kelahiran dan kenaikan tengkes

Salah satu indikator kegagalan sistem perlindungan anak di wilayah 3T adalah rendahnya pemenuhan hak sipil, yaitu akta kelahiran. Meskipun target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024 adalah 100 persen anak Indonesia memiliki akta kelahiran, data di lapangan menunjukkan angka yang stagnan di beberapa wilayah.

"Kenyataannya di Papua, dari tahun ke tahun tidak bergerak, paling tinggi 54 persen. Kemudian NTT 60-an persen, yang ketiga Maluku puluhan persen. Padahal target RPJMN 2024 seharusnya 100 persen akta kelahiran terpenuhi," tutur Sylvana.

Selain hak sipil, kesejahteraan dasar seperti kesehatan juga mengkhawatirkan. Sylvana mencontohkan, di NTT angka ”stunting” di Sumba Barat Daya justru naik 50 persen. Padahal, kawasan tersebut sudah diintervensi oleh program penghapusan ”stunting” atau tengkes bertahun-tahun yang diorkestrasi Kantor Wakil Presiden.

Baca JugaAnak Muda Putus Sekolah Jadi Sasaran Program Peningkatan Kualitas SDM Unggul

Bidang SDM kesehatan juga salah satu yang disoroti. Di Provinsi Papua yang luas, misalnya, hanya ada satu orang psikolog dan itu pun bukan psikolog anak. Akses layanan kesehatan semakin diperburuk oleh terbatasnya pengguna Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Sebagai contoh, kartu JKN untuk anak penyandang disabilitas di titik miskin perkotaan hanya bisa digunakan di rumah sakit pemerintah sampai anak duduk di SD kelas satu, setelah itu tidak bisa lagi.

Isu pendidikan juga mencuat, khususnya di Papua. Terbatasnya akses pada layanan pendidikan di daerah ini sangat serius. Ribuan anak tidak bersekolah.

Selain itu, konflik bersenjata di Papua menciptakan anak-anak sebagai korban. Fenomena sinophobia, tindak intoleran berbasis kekerasan, dan eskalasi kekerasan di beberapa wilayah Papua merupakan penyebab sekaligus dampak dari gagalnya sistem perlindungan anak.

Jalan satu-satunya agar anak-anak Papua di Merauke dapat hidup bermartabat adalah melalui pendidikan berpola asrama yang didampingi dan dididik dengan baik.

KPAI menggarisbawahi bahwa akar permasalahan ini terletak pada hambatan struktural dan kultural. Secara struktural, pendekatan pembangunan yang terlalu sektoral serta lemahnya koordinasi lintas kementerian/lembaga (K/L) dan lintas dinas di daerah menjadi penghalang.

Hal ini diperburuk oleh politik anggaran perlindungan anak yang lemah. "Anggaran untuk dinas perlindungan anak di semua daerah yang saya datangi itu yang paling kecil. Tercermin dari politik anggaran juga memang itu lemah, walaupun ada program-program perlindungan anak di sektor-sektor yang lain,” tutur Sylvana.

Papua kekurangan layanan

Pemantauan kondisi anak-anak oleh KPAI ini diperkuat oleh sejumlah aktivis dari lembaga perlindungan dan pendampingan anak-anak di daerah 3T. Fritz Ramandey dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Kantor Perwakilan Papua, misalnya, menyoroti kelompok pengungsi di Papua yang menghadapi tantangan berat akibat konflik bersenjata, krisis data, hingga tingginya kasus kekerasan seksual.

Komnas HAM Papua mencatat, hingga kini pengungsi anak tersebar di Nduga, Kiwirok (Pegunungan Bintang), Intan Jaya, dan Maybrat. Diperkirakan 60 persen dari populasi pengungsi di Papua adalah anak-anak.

Komnas HAM juga mengalami kesulitan dalam memberikan layanan pemulihan. Dalam kasus Yapen dan Maybrat, sulit sekali mencari psikolog anak, sehingga harus mendatangkan psikolog dari Universitas Cendrawasih dan Gereja Kristen Indonesia Papua.

Baca JugaAnak Kurang Gizi di Pulau Kaya Rempah dan Ikan

Bruder Johny MTB, pendiri Bevak Pintar di Merauke, yang membina hampir seribu anak Papua, menekankan bahwa jalan satu-satunya agar anak-anak Papua di Merauke dapat hidup bermartabat adalah melalui pendidikan berpola asrama yang didampingi dan dididik dengan baik.

Selama ini anak-anak di Merauke sangat rentan terhadap kekerasan. Jika kekerasan dibiarkan terus-menerus, anak-anak akan melihatnya setiap hari sehingga kekerasan dapat terpola dalam pikiran mereka.

Bruder Johny juga menyoroti krisis gizi. Ia menemukan anak-anak memungut mangga yang sudah masak dari karung untuk dijadikan sarapan di pinggir jalan karena tidak punya makanan, minuman, dan sebagainya.

Di Maluku perkosaan tinggi

Sementara Lies Marantika, inisiator Rumah Aman Gasira di Maluku, yang beroperasi di Kota Ambon dan Kabupaten Maluku Tengah, menyoroti tantangan penanganan kasus kekerasan anak di kepulauan. Korban kekerasan sulit mengakses layanan pemulihan komprehensif karena kantor kepolisian, korban, dan pengadilan negeri bisa berada di pulau-pulau yang berbeda.

Hal tersebut sering kali menyebabkan kasus kekerasan diselesaikan hanya melalui mekanisme sosial atau adat (pembayaran denda), sementara korban tidak mendapatkan layanan yang memadai.

Di samping itu, Rumah Aman Gasira mencatat tren yang sangat mengkhawatirkan, yakni dari 30 kasus kekerasan yang ditangani sepanjang Januari hingga Desember, 21 korban adalah anak-anak. Kasus kekerasan seksual mendominasi, dengan rincian 15 perkosaan dan 6 pelecehan seksual.

Kondisi geografis kepulauan juga menyulitkan anak mengakses pendidikan. Di Pulau Nusa Laut, misalnya, hanya terdapat satu SMP sehingga anak-anak terpaksa berjalan kaki atau mengayuh sampan ke desa berikutnya untuk bersekolah.

Lies juga menekankan pentingnya edukasi dan pelatihan yang intensif mengenai pendidikan seks bagi anak SMP, agar mereka tahu cara mengakses informasi yang tepat dan tidak menjadi target kejahatan seksual.

Ketua Dewan Eksekutif Institut KAPAL Perempuan Misiyah mengatakan, kerentanan anak tidak tunggal melainkan berlapis. Kebijakan yang netral jender dan seragam berpotensi gagal menjangkau anak-anak yang mengalami kerentanan berlapis.

Baca JugaAnak Papua Menanti Pemenuhan dan Perlindungan Hak Sepenuhnya

Kerentanan berlapis, antara lain, disebabkan karena faktor kemiskinan struktural,  keterpencilan geografis, ketimpangan layanan dasar, relasi kuasa berbasis gender, anak penyandang disabilitas, termasuk anak dari kelompok adat terpencil, anak tanpa identitas hukum, dan identitas sosial lainnya.

”Kerentanan anak di wilayah terpencil tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial dan struktural. Bahkan, anak perempuan sering mengalami beban berlapis berupa pekerjaan domestik, perkawinan anak, dan pembatasan akses pendidikan,” kata Misiyah.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pemekaran Bogor Barat Ditarget Mulai Tahun 2026, Cigudeg Bakal Jadi Ibu Kota
• 2 jam laludetik.com
thumb
Teknologi Distilasi Dinilai Efektif Hasilkan Air Minum Murni dan Aman bagi Kesehatan
• 17 jam lalutabloidbintang.com
thumb
Minim Proyek Baru, OASA Masih Menderita Rugi dan Hanya Bergantung ke Proyek Lama
• 13 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Sudah Raih 80 Emas, Indonesia Ukir Sejarah di SEA Games 2025
• 1 jam lalugenpi.co
thumb
Indonesia Kumpulkan 67 Emas SEA Games 2025, Makin Dekat dengan Target 80 Emas | KOMPAS PAGI
• 21 jam lalukompas.tv
Berhasil disimpan.