TAHUN 2026 bukan sekadar lanjutan kalender ekonomi, melainkan titik rawan yang akan menguji kesigapan negara dalam membaca arah dunia. Di tengah inflasi global yang belum sepenuhnya jinak, tekanan nilai tukar, dan ketidakpastian geopolitik, kelengahan sekecil apa pun dapat berujung pada instabilitas yang mahal. Jika negara masih bekerja sendiri-sendiri, 2026 bisa berubah dari tahun harapan menjadi tahun koreksi yang menyakitkan.
Inflasi Masih Terkendali, tapi Risiko Tetap BesarBadan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa inflasi tahunan Indonesia pada November 2025 berada di 2,72% (yoy), tetap dalam target Bank Indonesia sebesar 2,5 ± 1 %. Secara bulanan, inflasi tercatat 0,17%, terutama didorong oleh komponen inti, seperti harga emas perhiasan dan pendidikan.
Namun, angka ini jangan membuat kita terlena. Menurut teori inflasi struktural, tekanan harga bisa datang bukan hanya dari permintaan domestik, melainkan jgua dari gangguan rantai pasok global dan kenaikan harga energi—faktor yang sulit dikendalikan dari dalam negeri (Gordon, 2011).
Dalam konteks global yang semakin tidak stabil, tekanan inflasi bisa kembali melonjak—terutama bila terjadi kurs rupiah melemah lebih jauh atau gejolak di pasar internasional. Dengan kata lain: kendali inflasi hari ini adalah hasil kerja keras, bukan jaminan untuk masa depan.
Rupiah Stabil, tapi Rentan: Bukan Prestasi yang Bisa Dianggap BiasaBank Indonesia (BI) berhasil menjaga nilai tukar rupiah relatif stabil. Pada akhir November 2025, rupiah berada di kisaran Rp16.635 per dolar AS, dengan indikator pasar yang relatif terkendali meskipun aliran modal asing mencatat fluktuasi trading.
Namun, stabilitas ini datang di tengah tekanan global. Nilai tukar yang mudah bergerak dipengaruhi oleh arus modal, suku bunga global, dan sikap investor terhadap ekonomi Indonesia.
Teori impossible trinity (trilema kebijakan moneter) menyatakan bahwa negara pada saat yang sama tidak dapat mempertahankan stabilitas nilai tukar, kebebasan arus modal, dan kebijakan moneter independen tanpa kompromi besar—Indonesia hanya bisa memilih dua.
Dalam kenyataan 2025, BI memilih untuk menahan suku bunga di 4,75% untuk menjaga nilai tukar dan menarik portofolio asing, sambil menyeimbangkan transmisi kebijakan ekonomi.
Risiko ini menjadi lebih nyata ketika tekanan eksternal meningkat—dari perang dagang global, perubahan kebijakan Fed AS, hingga risiko geopolitik yang memengaruhi persepsi risiko investor global.
Pertumbuhan Ekonomi: “Kuat” di Angka, tapi Rawan Runtuh Tanpa Sinergi KebijakanData BPS menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 5,04% (y-on-y) pada triwulan III-2025, mendekati target pertumbuhan yang stabil. Bahkan, komponen ekspor barang dan jasa mencatat kenaikan signifikan sebagai salah satu pendorong utama.
Namun di balik angka pertumbuhan ini, tantangan struktural masih ada: ketergantungan pada komoditas, tantangan peningkatan produktivitas tenaga kerja, serta kebutuhan diversifikasi sektor. Ekonomi yang bertumbuh di angka 5% masih rentan terhadap guncangan global, terutama bila arus modal tiba-tiba keluar (sudden stop) atau permintaan global menurun tajam.
Pakem teori structural transformation menggarisbawahi pentingnya pergeseran ekonomi ke sektor produktif berteknologi tinggi dan ber-value add tinggi sebagai jaminan pertumbuhan berkelanjutan. Tanpa itu, pertumbuhan 5% bisa berubah menjadi stagnasi jangka panjang jika pasar global melambat drastis.
Pasar Tenaga Kerja Terkendali, tapi Kualitas Pekerjaan Masih Jadi PR BesarBPS melaporkan bahwa tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2025 sebesar 4,85%, sedikit menurun dari periode sebelumnya. Angka ini mencerminkan perbaikan dari sudut pandang statistika.
Namun, fokusnya tidak boleh hanya pada angka pengangguran. Isu besar adalah kualitas pekerjaan, produktivitas tenaga kerja, dan daya beli riil masyarakat. Kesejahteraan masyarakat tidak hanya diukur dari angka pekerjaan, tetapi juga dari daya beli, upah yang layak, dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan teknologi.
Teori human capital (Becker) menekankan bahwa investasi pada kualitas SDM adalah kunci produktivitas jangka panjang. Tanpa meningkatkan keterampilan dan kemampuan tenaga kerja, Indonesia akan tetap menghadapi tantangan dalam menarik investasi produktif dan berteknologi tinggi—dua hal yang krusial untuk menahan dampak global yang terus berubah.
Digitalisasi Sistem Pembayaran: Pilar Kedaulatan Ekonomi NasionalTransformasi sistem pembayaran digital—seperti QRIS, BI-FAST, hingga pengembangan CBDC (Rupiah Digital)—bukan sekadar teknis finansial, melainkan fondasi baru stabilitas ekonomi nasional. Penelitian menunjukkan bahwa adopsi sistem pembayaran digital meningkatkan efisiensi pasar, mempercepat aliran uang, dan meningkatkan inklusi finansial. Hal ini memperkuat bahwa pembangunan infrastruktur digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.
Dalam network effects, semakin banyak pelaku ekonomi terhubung dalam ekosistem digital, semakin besar manfaat yang dirasakan secara kolektif—termasuk peningkatan produktivitas sektor usaha kecil dan menengah (UMKM).
Kolaborasi Kementerian dan Lembaga: Syarat Utama Kesiapsiagaan 2026Semua indikator ini memperlihatkan satu hal: tantangan 2026 jauh lebih kompleks daripada sekadar menjaga stabilitas harga atau nilai tukar.
Situasi ini mensyaratkan kesiapsiagaan, sigap, dan kolaboratif antarseluruh kementerian dan lembaga negara—mulai dari koordinasi fiskal-moneter, kebijakan perdagangan, penguatan SDM, hingga pengembangan ekosistem digital dan inovasi kebijakan industri.
Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Bappenas, dan lembaga lainnya tidak bisa bergerak silo—kolaborasi rapat menjadi mutlak. Seperti dijelaskan dalam teori policy coherence, kebijakan makro yang efektif hanya tercapai ketika semua elemen pemerintahan bekerja dalam keselarasan strategi, bukan dalam isolasi.
Bukan Waktu untuk Menunggu, tapi untuk MenggerakkanTahun 2026 bukanlah tahun ketika Indonesia bisa “menikmati” hasil stabilitas sementara. Ancaman global tetap nyata: gejolak pasar, trade war yang terus menguji ketahanan ekspor, dan dinamika modal internasional yang tak bisa diprediksi. Stabilitas yang rapuh hari ini harus disulap menjadi ketahanan yang kuat melalui strategi ekonomi yang adaptif, kebijakan yang proaktif, dan kolaborasi institusi yang tak bisa ditawar lagi.
Indonesia punya modal besar—pertumbuhan ekonomi positif, inflasi terkendali, dan tenaga kerja yang produktif. Namun, semua itu bisa sia-sia bila kita tetap bekerja terpisah tanpa visi bersama. Tahun 2026 harus menjadi tahun ketika seluruh elemen pemerintahan bangkit bersama, siap menghadapi tantangan global, dan menciptakan landasan ekonomi yang benar-benar kokoh.
Stabilitas: Hadiah, bukan PilihanJika 2026 berbahaya, hal itu bukan semata karena badai global yang tak bisa dikendalikan, melainkan karena potensi kelengahan di dalam negeri. Stabilitas ekonomi tidak runtuh oleh satu kejutan besar, tetapi oleh serangkaian keputusan yang terlambat, koordinasi yang lemah, dan ego sektoral yang dibiarkan tumbuh.
Di titik inilah negara diuji: apakah mampu bergerak cepat, membaca sinyal lebih awal, dan bekerja sebagai satu kesatuan. Sebab di dunia yang semakin tidak pasti, bahaya terbesar bukan krisis itu sendiri, melainkan negara yang tidak sigap menghadapinya.

:quality(80):format(jpeg)/posts/2025-12/16/featured-07f361fe6a5fb5a08a17f5926f0b93be_1765889124-b.jpg)


