Jakarta, VIVA – Perusahaan makanan dan minuman raksasa asal Amerika Serikat (AS), Starbucks dan Burger King, melakukan perubahan strategi bisnis signifikan untuk wilayah operasional di Tiongkok. Langkah ini menandai perubahan pendekatan korporasi global dalam mempertahankan eksistensi di pasar Tiongkok yang semakin kompetitif.
Baru-baru ini, Starbuck menjual 60 persen saham bisnisnya di Tiongkok kepada Bowie Capital dengan nilai transaksi mencapai US$4 miliar sekitar Rp 66,8 triliun (estimasi kurs Rp 16.650 per dolar AS). Burger King juga mengambil keputusan serupa dengan melepas 83 persen kepemilikan bisnisnya di Tiongkok kepada perusahaan ekuitas swasta lokal, CPE Yuanfeng.
Keputusan ini bukan tanpa alasan. Kedua merek global tersebut menghadapi tekanan besar dari merek-merek asli China yang agresif berekspansi dan semakin menguasai pasar domestik.
Persaingan paling nyata terlihat di industri kopi. Merek lokal, Luckin Coffee, telah melampaui Starbucks di Tiongkok baik dari sisi penjualan maupun jumlah gerai sejak 2023 sehingga mempersempit ruang gerak Starbucks yang selama bertahun-tahun menjadi simbol dominasi kopi global di Negeri Tirai Bambu.
- vivanews/Andry Daud
Burger King juga menghadapi tantangan serupa. Rata-rata penjualan per gerai di China tercatat menjadi yang terendah dibandingkan pasar utama Burger King lainnya, mencerminkan lemahnya daya saing di pasar lokal.
Dalam situasi tersebut, kemitraan dengan ekuitas swasta lokal dipandang sebagai solusi strategis. Dana ekuitas lokal dinilai memiliki keunggulan dalam mengambil keputusan cepat, memahami karakter konsumen, serta menjangkau rantai pasok dan jaringan distribusi di dalam negeri.
"Mitra lokal tidak hanya menyediakan dana, tetapi juga pengalaman peningkatan kinerja, pengetahuan manajemen yang mendalam tentang industri, dan kumpulan talenta," ujar Partner di Bain & Company, Hao Zhou, dikutip dari CNBC Internasional pada Kamis, 18 Desember 2025.
Menurutnya, dukungan ini menjadi krusial bagi merek asing yang kesulitan beradaptasi dengan dinamika pasar Tiongkok.
Tekanan yang dihadapi perusahaan asing juga menempatkan mereka pada persimpangan strategis.
“Perusahaan makanan dan minuman luar negeri menghadapi pilihan, apakah akan terus menggelontorkan dana untuk mempertahankan pangsa pasar atau bertahan dengan dukungan mitra lokal,” imbuh Chairman McKinsey China, Cho Ngai.




