FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial, Herwin Sudikta, kembali berkomentar mengenai terbitnya Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025.
Ia menegaskan bahwa regulasi tersebut justru memberi kesan bahwa Polri tidak lagi berdiri di barisan terdepan dalam menegakkan hukum, melainkan sebaliknya.
Dikatakan Herwin, Perpol tersebut menunjukkan kecenderungan institusi kepolisian menafsirkan hingga mengabaikan aturan hukum yang lebih tinggi, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ironis. Polri seharusnya jadi garda terdepan menegakkan hukum,” ujar Herwin kepada fajar.co.id, Kamis (18/12/2025).
Namun dalam praktiknya, kata dia, yang tampak justru sebaliknya. “Tapi justru terlihat paling depan menafsirkan, membengkokkan, bahkan mengangkangi undang-undang,” sesalnya.
Herwin kemudian menyinggung absennya rujukan tegas terhadap putusan MK dalam Perpol Nomor 10 Tahun 2025.
Ia menganggap bahwa kondisi tersebut berbahaya bagi prinsip negara hukum karena membuka ruang kompromi terhadap putusan yang bersifat final dan mengikat.
“Kalau putusan MK saja bisa diakali lewat Perpol, lalu hukum ini ditegakkan untuk siapa?,” tegasnya.
Lebih jauh, Herwin mengingatkan bahwa sikap aparat penegak hukum yang memilih-milih aturan untuk dipatuhi akan berdampak buruk bagi kesadaran hukum masyarakat.
“Penegak hukum yang mulai memilih putusan mana yang mau dipatuhi sedang mengajarkan satu hal ke publik, hukum bisa dinegosiasikan, asal punya kuasa,” kuncinya.
Sebelumnya, Prof. Mahfud MD kembali bicara mengenai Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025.
Berbicara sebagai ahli hukum, Mahfud secara tegas menyebut regulasi tersebut sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan hukum.
Mahfud mengawali penjelasannya dengan meluruskan pemahaman publik terkait peran Komisi Percepatan Reformasi Polri.
Ia menegaskan, komisi tersebut bukan lembaga penanganan kasus hukum.
“Tim Reformasi Polri ini bukan lembaga yang mempunyai wewenang untuk menilai satu tindakan hukum, untuk meyelesaikan kasus. Kita ini tim untuk menyiapkan kerangka kebijakan baru tentang Polri,” kata Mahfud, Selasa (16/12/2025).
Dikatakan Mahfud, masih banyak masyarakat yang keliru memahami tugas komisi tersebut.
Ia bahkan mencontohkan sejumlah laporan yang masuk namun sama sekali tidak berkaitan dengan agenda reformasi.
“Jadi kalau sifatnya kasus, pembunuhan, korupsi, penganiayaan, banyak tu orang nda ngerti dikira komisi reformasi itu menyelesaikan kasus,” sebutnya.
Mahfud menyebut pernah menerima laporan yang sama sekali tidak relevan dengan mandat komisi.
“Ada seorang ibu-ibu kirim surat bahwa suaminya selingkuh dengan polwan, masa itu urusan reformasi,” Mahfud menuturkan.
Bukan hanya itu, laporan serupa juga datang dari internal kepolisian sendiri.
“Ada seorang polisi misalnya istrinya kepergok dengan ASN di hotel, lapor ke kita, itu bukan tugas kita,” lanjut Mahfud.
Terkait polemik Perpol Nomor 10 Tahun 2025, Mahfud menegaskan bahwa secara kelembagaan, komisi reformasi memang belum membahasnya. Namun ia berbicara dalam kapasitas pribadi sebagai ahli hukum.
“Termasuk soal Perpol nomor 10 tahun 2025, itu tidak boleh atau belum boleh dibicarakan oleh komisi reformasi. Kalau substansinya saya sudah bicara, saya sudah bicara itu kalau di Medan,” ungkapnya.
Mahfud menegaskan, pernyataannya mengenai Perpol tersebut bukan atas nama komisi, melainkan sebagai akademisi dan pakar hukum tata negara.
“Saya bicara bahwa Perpol itu bertentangan dengan konstitusi, bahkan istilah yang lebih tegas itu pembangkangan terhadap konstitusi, pembangkangan terhadap hukum. Saya yang bicara pertama itu,” tegas Mahfud.
Ia mengaku pernyataannya sempat memicu polemik luas hingga akhirnya Kapolri memberikan penjelasan ke publik.
“Ribut, baru Kapolri menjelaskan, tapi waktu saya bicara di Medan itu, saya katakan saya bukan anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri, saya Mahfud, ahli hukum, pembelajar hukum, pengamat hukum, tapi saya sebagai ahli hukum saya harus bicara meluruskan keadaan ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, Mahfud menuturkan secara rinci alasan yuridis mengapa Perpol Nomor 10 Tahun 2025 dinilainya bermasalah.
“Jadi kalau sodara bicara bagaimana undang-undang Perpol itu jelas bertentangan dengan UU nomor 2 yang menyatakan bahwa polri tidak boleh masuk,” kata Mahfud. (Muhsin/fajar)





