Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies (Celios) mengingatkan rencana Presiden Prabowo Subianto menanam sawit, tebu, hingga singkong di Papua dapat berakibat fatal pada lingkungan alih-alih mendorong swasembada pangan dan energi.
Menurut Presiden Prabowo, Papua memiliki potensi besar untuk mengembangkan bahan baku bioenergi yang dapat menghasilkan bahan bakar minyak (BBM) maupun etanol.
Melihat ambisi itu, Direktur Celios Bhima Yudhistira berpendapat bahwa Prabowo tidak belajar dari bencana Sumatra. Menurut Bhima, deforestasi karena pembukaan kebun sawit, bencana bisa terulang di Papua.
Dia mengatakan, hutan alami terakhir dengan area yang masif hanya ada di Papua. Di satu sisi, studi Celios menemukan bahwa wilayah proyek strategis nasional (PSN) di Papua tumpang tindih dengan otonomi khusus Papua.
"Artinya, semua rencana dipaksakan dari Jakarta tanpa menimbang otonomi daerah dan daya dukung daya tampung lingkungan. Pemda juga bingung soal rencana sawit," tutur Bhima kepada Bisnis, Kamis (18/12/2025).
Celios, kata Bhima, menghitung rencana pembukaan hutan untuk energi dan ketahanan pangan melepas emisi karbon 782,45 juta ton. Angka ini berisiko menaikkan 2 kali lipat emisi karbon di Indonesia.
Menurutnya, jika dipaksakan pembukaan sawit secara masif, maka bencana ekologis dan kerugian ekonomi di Papua bisa melumpuhkan ekonomi Indonesia timur.
"Secara ekonomi klaim hemat impor BBM dengan biofuel dalam negeri tidak sepenuhnya benar karena butuh investasi dan subsidi yang mahal untuk dorong substitusi biofuel," imbuhnya.
Oleh karena itu, dia mengingatkan agar pemerintah menghentikan rencana konversi lahan hutan di Papua menjadi perkebunan sawit. Dia menilai sebaiknya pemerintah fokus saja melakukan replanting.
Studi Celios menyebut bahwa replanting dan moratorium izin sawit bisa meningkatkan serapan kerja secara signifikan ketimbang buka lahan baru.
Bhima memerinci, dampak implementasi kebijakan moratorium sawit dan replanting mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada 2045 serta penyerapan tenaga kerja tambahan 761.000 orang.
"Angka ini sangat signifikan dibandingkan tanpa moratorium yang cenderung negatif di semua aspek," kata Bhima.
Arahan terkait pembukaan lahan untuk sawit, tebu, hingga singkong di Papua disampaikan Prabowo saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah se-Papua dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua di Istana Negara, Selasa (16/12/2025).
Prabowo berpendapat, pengembangan sektor ini akan memperkuat kemandirian daerah sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor energi.
"Dan juga nanti kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit. Juga tebu menghasilkan etanol, singkong atau cassava juga untuk menghasilkan etanol,” kata Prabowo.
Sang Kepala Negara itu pun menargetkan dalam 5 tahun ke depan seluruh daerah, termasuk Papua, mampu berdiri di atas kaki sendiri melalui kemandirian pangan dan energi.
“Sehingga kita rencanakan dalam lima tahun semua daerah bisa berdiri di atas kakinya sendiri, swasembada pangan dan juga swasembada energi,” ujarnya.
Prabowo menegaskan, swasembada energi akan berdampak signifikan terhadap penghematan anggaran negara, khususnya dalam pos subsidi dan impor BBM yang selama ini menelan biaya sangat besar.
“Dengan demikian kita bisa menutup ratusan triliun untuk subsidi, ratusan triliun untuk impor BBM dari luar negeri. Tahun ini, setiap tahun kita mengeluarkan ratusan triliun untuk impor BBM,” tegasnya.
Baca Juga
- Bahlil Dorong Papua jadi Basis Produksi Bahan Baku Etanol
- Targetkan Swasembada Energi, Prabowo Ingin Lahan di Papua Ditanami Sawit
- Airlangga Terbang ke AS Lusa, Lobi Tarif Impor 0% Khusus Sawit




