Morowali: Ketika ‘Karpet Merah’ Jadi ‘Karpet Bebas Cukai’ (1/3)

kumparan.com
9 jam lalu
Cover Berita

Morowali itu seksi. Bukan seksi seperti model Victoria's Secret, tapi seksi di mata investor nikel yang melihat tanah Sulawesi seperti melihat bongkahan emas berlumur sambal roa: pedas, menantang, tapi bikin nagih. Di tengah hiruk-pikuk industrialisasi, ada satu entitas yang sering luput dari radar namun vital: Bandara Khusus.

Orang sering menyebutnya ‘Bandara Hantu’. Bukan karena ada Kuntilanak yang minta diantar ke Beijing, tapi karena operasionalnya yang kadang exist kadang tiada, transparan tapi buram, ada tapi tak tersentuh hukum umum.

Sore itu, di sebuah kedai kopi yang AC-nya lebih adem dari ruang forensik (serius, tatapan debt collector aja kalah dingin), saya sudah sengaja janjian dengan kawan lama: Bang Rendi---bukan nama sebenarnya, sang ‘Profesor’ urusan bandara. Kami dulu sama-sama ‘makan debu’ saat bertugas di Palangka Raya.

Sebenarnya, Rendi enggan bicara. Dia sudah pensiun dini, memilih hidup tenang mengurus kebun hidroponik jauh dari hiruk-pikuk birokrasi. “Aku udah nyaman, Bro. Nggak mau lagi dikejar-kejar bayangan masa lalu atau diteror orang suruhan,” katanya sambil memilin tisu. Tapi matanya tak bisa bohong; ada kegelisahan seorang patriot di sana.

“Tapi kalau aku diem, rasanya kayak ikut bukain pintu gerbang buat maling masuk rumah kita sendiri. Aku nggak tahan liat negara digrogoti pelan-pelan,” ujarnya lirih, sebelum akhirnya ‘bernyanyi’ tentang semua celah yang ia tahu.

Celah Regulasi: ‘State Capture’ oleh Korporasi

“Bro,” Rendi mulai serius. “Kau tahu kenapa perusahaan besar ngotot punya Bandara Khusus dan bukan pakai bandara umum?”

“Biar cepat?” jawab saya polos.

“Itu alasan di brosur investasi,” sergah Rendi. “Alasan aslinya adalah Kontrol Total. Di Bandara Komersial, hukum itu positive law (hukum positif). Di Bandara Khusus, korporasi menciptakan enclave hukum sendiri. Mereka memanfaatkan status ‘Proyek Strategis Nasional’ (PSN) sebagai tameng. Regulasi kita memberi celah: Bandara Khusus boleh didarati penerbangan asing untuk ‘kepentingan mendesak’. Nah, definisi ‘mendesak’ ini yang dimainkan. Apakah mendatangkan buruh kasar itu mendesak? Bagi mereka, iya.”

Rendi menjelaskan bahwa perusahaan cerdik memanfaatkan kelemahan koordinasi antar-lembaga kita. Mereka tahu Bea Cukai, Imigrasi, dan Kemenhub sering tidak sinkron datanya. Di situlah mereka bermain.

“Ini namanya State Capture Corruption level tinggi. Regulasi tidak dilanggar secara frontal, tapi ‘ditekuk’ sampai pas dengan bentuk dompet mereka.”

Wisatawan Berhelm Proyek & Misteri Kargo

“Ingat dulu di Palangka Raya susahnya orang asing masuk pedalaman?” tanya Rendi. Saya mengangguk.

“Di Morowali, celahnya ada di jenis visa. Banyak tenaga kerja asing (TKA) masuk pakai Visa Kunjungan (B211), bukan KITAS kerja. Kalau lewat bandara resmi kayak Soetta, petugas Imigrasi bakal nanya: Sir, you want holiday? Why you bring helm proyek and sepatu safety?”

Rendi terkekeh sinis. “Tapi di bandara khusus, pengawasannya minim. Mereka masuk, kerja, dapet gaji dolar, tapi pajak penghasilannya (PPh 21) nol karena statusnya ‘turis’. Negara rugi miliaran, Bos! Turis kok bawa las listrik? Ini bukan Rechtsstaat (Negara Hukum), tapi Rechts-sulap.”

Masuk ke isu Bea Cukai, Rendi menggambar skema kargo. “Logikanya barang masuk adalah alat produksi. Bebas bea masuk? Mungkin, lewat fasilitas BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) atau Investment Coordinating Board.

Tapi, siapa jamin isi kargo itu cuma mesin? Gimana kalau isinya elektronik konsumtif, gadget canggih, atau narkoba? Pengawasan di pos terpencil itu cuma modal trust dan dokumen manifest. Kalau manifest bilang ‘Baut’, ya dianggap baut. Padahal isinya bisa jadi ‘BAUT’ alias Barang Antik Bernilai Tinggi."

Solusi ‘Jalan Tengah’: Tegas tapi Elegan

Saya bertanya, “Bang, kalau kita tindak keras, nanti investor kabur. Hubungan bilateral sama negara asal investor (sebut saja Negara Tirai Bambu) bisa retak. Gimana caranya negara tetap berdaulat tanpa bikin investor ngambek?”

Rendi tersenyum, kali ini senyum seorang ahli strategi, bukan pensiunan yang kini menjadi petani tanaman hidroponik.

“Investasi itu butuh kepastian, Bro. Investor nakal itu ada karena kita membiarkan diri kita nakal. Negara asalnya mereka itu sangat patuh hukum kalau sistemnya kuat. Jadi, jangan usir investornya, tapi Perbaiki Pagar Rumahnya.”

Rendi menuliskan tiga solusi kebijakan yang efektif namun tidak memusuhi investasi:

1. Digitalisasi Tanpa Kompromi (Sistem vs Sistem) “Jangan pakai orang untuk mengawasi orang, pasti masuk angin. Pakai sistem. Wajibkan Single Window System yang terintegrasi langsung ke server pusat di Jakarta.

CCTV di apron dan gudang harus online 24 jam ke Command Center Dirjen Imigrasi & Bea Cukai. Kalau kamera mati 5 menit saja, otomatis izin landing dibekukan sementara. Ini bukan mempersulit, ini standarisasi internasional. Investor asing pasti paham bahasa teknologi.”

2. Audit Gabungan Berkala (Joint Task Force) “Bentuk tim ad-hoc yang isinya bukan cuma orang lokal, tapi gabungan pusat (Kemenkeu, Kemenkumham, Kemenhub). Lakukan sidak acak (surprise audit). Jika ditemukan pelanggaran, sanksinya administratif denda progresif yang besar. Bahasa yang paling dimengerti korporasi adalah Cost & Benefit. Kalau biaya ‘curang’ lebih mahal daripada ‘patuh’, mereka otomatis akan patuh. Negara untung, investasi jalan.”

3. Diplomasi Kedaulatan Data “Pemerintah harus bilang ke negara sahabat: ‘Kami menyambut investasi Anda, tapi tolong hormati pintu rumah kami’. Tempatkan petugas negara di sana dengan fasilitas negara, bukan fasilitas perusahaan.

Jangan biarkan aparat kita tidur di mess perusahaan dan makan katering perusahaan. Itu konflik kepentingan telanjang. Negara harus modalin pos jaga yang berwibawa. Biar petugas kita tegak kepalanya.”

Bandara di Morowali adalah simbol kemajuan ekonomi, tidak ada yang menampik itu. Tapi jika ia dibiarkan menjadi ‘negara dalam negara’ dengan imigrasi dan pabean sendiri, maka kedaulatan kita sedang digadaikan di atas landasan pacu.

Seperti kata pepatah hukum modern: Fidusia itu pengalihan hak kepemilikan, tapi kalau di Morowali, jangan sampai jadi pengalihan hak kedaulatan.

Solusinya bukan menutup bandara, tapi menyalakan lampu sorot se-terang-terangnya. Karena hantu—dan mafia—paling takut sama cahaya transparansi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
10 Kelompok Calon Penghuni Neraka
• 18 jam lalurepublika.co.id
thumb
Bursa Asia Melemah, Saham Teknologi Kembali Tertekan Kekhawatiran Valuasi AI
• 13 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Warga Serpong Tuntut Pemkot Tangsel Jadikan TPA Cipeucang Jadi Tempat Pengelolaan Akhir Sampah
• 17 jam laludisway.id
thumb
Usut Dugaan Korupsi Tambang di Lahan Perhutani, Kejari Ponorogo Periksa Lima Orang
• 20 jam lalurealita.co
thumb
Hasil Timnas Futsal Indonesia Vs Malaysia di SEA Games 2025: Menang 2-1, Garuda Jaga Asa Raih Emas
• 21 jam lalutvonenews.com
Berhasil disimpan.