Jakarta (ANTARA) - Dewan Teh Indonesia (DTI) siap melakukan peningkatan nilai ekonomi kebun teh rakyat salah satunya melalui perawatan kebun-kebun yang kondisinya menua dan kurang terkelola.
Ketua Umum DTI Iriana Ekasari menyatakan kebun teh yang tidak dirawat dengan baik bukan hanya berdampak pada penurunan produksi, tetapi juga berpotensi memicu bencana ekologi di wilayah hulu.
"Kebun teh itu bukan sekadar aset produksi. Ia juga benteng ekologi. Kalau kebun dibiarkan tua dan tidak dirawat, risikonya bukan hanya produksi turun, tapi juga kerusakan lingkungan," kata dia di Jakarta, Jumat.
Dikatakannya, sebagian besar kebun teh milik petani rakyat kini menghadapi persoalan struktural, tanaman sudah berusia tua tidak diremajakan, pemeliharaan minim dan dukungan ekonomi yang terbatas membuat produktivitas terus menurun.
Padahal, lanjutnya hamparan kebun teh berfungsi menjaga tata air, mencegah erosi, dan menopang keseimbangan ekosistem pegunungan. Kalau kebun teh rusak, yang terjadi bukan hanya krisis produksi, tapi potensi bencana ekologis seperti longsor dan degradasi tanah.
Meski produktivitas teh nasional relatif rendah dibandingkan negara produsen lain, Iriana menilai teh Indonesia memiliki keunggulan tersendiri dari sisi kualitas dan nilai.
"Produktivitas kita memang rendah, tapi kita punya value. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan produktivitas yang lebih baik tanpa mengorbankan nilai itu," katanya.
Menurut Iriana, pendekatan pembangunan industri teh tidak bisa hanya berorientasi pada volume produksi, sebaliknya nilai ekonomi harus berjalan seiring dengan nilai ekologis.
Oleh karena itu, penting melihat kebun teh sebagai aset multifungsi, bukan hanya penghasil daun teh tetapi juga penyedia jasa lingkungan.
Terkait peluang dari aspek nilai ekologi dan perdagangan karbon, menurut dia, hamparan perkebunan teh yang mencapai ribuan hektare sejatinya menyimpan potensi serapan karbon yang signifikan, namun, hingga kini aset tersebut belum sepenuhnya terlihat dan dimanfaatkan.
"Kita perlu memikirkan bagaimana nilai ekologinya, termasuk potensi carbon trading, bisa diangkat dan memberi manfaat langsung bagi petani," kata Ketua DTI periode 2025 -2029 itu.
Selain karbon, pengembangan ekowisata dinilai menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan nilai tambah kebun teh. Lanskap perkebunan teh yang khas, udara sejuk, serta budaya lokal di sekitarnya memiliki daya tarik kuat bagi pariwisata, termasuk wisatawan internasional.
Baca juga: DTI: Standar Teh Indonesia tingkatkan pasar teh nasional hingga global
"Eco-tourism di kawasan kebun teh itu value-nya banyak. Tidak hanya ekonomi, tapi juga memperkuat kesadaran lingkungan dan menjaga keberlanjutan kebun itu sendiri," ujarnya.
Iriana menekankan, peningkatan nilai ekonomi menjadi prasyarat utama agar petani mau dan mampu merawat kebunnya. Selama produksi rendah dan harga tidak menarik, petani cenderung meninggalkan kebun atau mengelolanya secara minimal.
"Petani akan merawat kebunnya kalau ada nilai ekonomi yang jelas. Kalau kebun memberi penghidupan yang layak, perawatan akan berjalan dengan sendirinya," kata dia.
Oleh karena itu, DTI siap melakukan kolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintah, pelaku industri, hingga lembaga lingkungan, untuk merancang skema yang mengintegrasikan produksi teh, pelestarian ekologi, dan penciptaan nilai ekonomi baru.
Baca juga: Perkebunan teh miliki potensi pengurangan emisi gas rumah kaca
Ketua Umum DTI Iriana Ekasari menyatakan kebun teh yang tidak dirawat dengan baik bukan hanya berdampak pada penurunan produksi, tetapi juga berpotensi memicu bencana ekologi di wilayah hulu.
"Kebun teh itu bukan sekadar aset produksi. Ia juga benteng ekologi. Kalau kebun dibiarkan tua dan tidak dirawat, risikonya bukan hanya produksi turun, tapi juga kerusakan lingkungan," kata dia di Jakarta, Jumat.
Dikatakannya, sebagian besar kebun teh milik petani rakyat kini menghadapi persoalan struktural, tanaman sudah berusia tua tidak diremajakan, pemeliharaan minim dan dukungan ekonomi yang terbatas membuat produktivitas terus menurun.
Padahal, lanjutnya hamparan kebun teh berfungsi menjaga tata air, mencegah erosi, dan menopang keseimbangan ekosistem pegunungan. Kalau kebun teh rusak, yang terjadi bukan hanya krisis produksi, tapi potensi bencana ekologis seperti longsor dan degradasi tanah.
Meski produktivitas teh nasional relatif rendah dibandingkan negara produsen lain, Iriana menilai teh Indonesia memiliki keunggulan tersendiri dari sisi kualitas dan nilai.
"Produktivitas kita memang rendah, tapi kita punya value. Tantangannya adalah bagaimana menciptakan produktivitas yang lebih baik tanpa mengorbankan nilai itu," katanya.
Menurut Iriana, pendekatan pembangunan industri teh tidak bisa hanya berorientasi pada volume produksi, sebaliknya nilai ekonomi harus berjalan seiring dengan nilai ekologis.
Oleh karena itu, penting melihat kebun teh sebagai aset multifungsi, bukan hanya penghasil daun teh tetapi juga penyedia jasa lingkungan.
Terkait peluang dari aspek nilai ekologi dan perdagangan karbon, menurut dia, hamparan perkebunan teh yang mencapai ribuan hektare sejatinya menyimpan potensi serapan karbon yang signifikan, namun, hingga kini aset tersebut belum sepenuhnya terlihat dan dimanfaatkan.
"Kita perlu memikirkan bagaimana nilai ekologinya, termasuk potensi carbon trading, bisa diangkat dan memberi manfaat langsung bagi petani," kata Ketua DTI periode 2025 -2029 itu.
Selain karbon, pengembangan ekowisata dinilai menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan nilai tambah kebun teh. Lanskap perkebunan teh yang khas, udara sejuk, serta budaya lokal di sekitarnya memiliki daya tarik kuat bagi pariwisata, termasuk wisatawan internasional.
Baca juga: DTI: Standar Teh Indonesia tingkatkan pasar teh nasional hingga global
"Eco-tourism di kawasan kebun teh itu value-nya banyak. Tidak hanya ekonomi, tapi juga memperkuat kesadaran lingkungan dan menjaga keberlanjutan kebun itu sendiri," ujarnya.
Iriana menekankan, peningkatan nilai ekonomi menjadi prasyarat utama agar petani mau dan mampu merawat kebunnya. Selama produksi rendah dan harga tidak menarik, petani cenderung meninggalkan kebun atau mengelolanya secara minimal.
"Petani akan merawat kebunnya kalau ada nilai ekonomi yang jelas. Kalau kebun memberi penghidupan yang layak, perawatan akan berjalan dengan sendirinya," kata dia.
Oleh karena itu, DTI siap melakukan kolaborasi lintas sektor, mulai dari pemerintah, pelaku industri, hingga lembaga lingkungan, untuk merancang skema yang mengintegrasikan produksi teh, pelestarian ekologi, dan penciptaan nilai ekonomi baru.
Baca juga: Perkebunan teh miliki potensi pengurangan emisi gas rumah kaca



