Isu perparkiran di Kota Surabaya kini dinilai tidak lagi sekadar soal kendaraan berhenti, tetapi sudah menyentuh langsung iklim usaha dari segi kenyamanan konsumennya.
Hal itu disampaikan Timothy Jason perwakilan Asosiasi Pengusaha Kafe dan Resto Indonesia (Apkrindo) Jawa Timur (Jatim), dalam program Semanggi Suroboyo di Radio Suara Surabaya, Jumat (19/12/2025).
Menurutnya, pelanggan kerap mengurungkan niat datang karena biaya parkir yang dinilai tidak sebanding dengan nilai transaksi yang dilakukan.
Dia mencontohkan dalam dunia usaha printing yang kini bisa pemesanan bisa dilakukan via WA, memungkinkan para pelanggan hanya datang ke tempat tanpa perlu mengantri. Namun, kondisi saat mengambil pesanan sering kali membuat pelanggan terbebani.
“Kita parkir nih di salah satu jalan besar, cuma mau ngambil. Sekarang sudah enggak bisa, harus kena (parkir mobil) bayarnya Rp5.000. Ngambil pakai motor juga kena bayarnya Rp2.000 sampai Rp3.000. Padahal kan kita cuma mau mengambil printing,” ujarnya.
Dia pun menyebut fenomena itu memunculkan fenomena ketimpangan antara biaya parkir dan harga layanan.
“Nge-print cuma Rp2.000 atau Rp3.000, parkirnya Rp5.000. Apakah dari pola bisnis itu sesuatu yang make sense? Itu yang bikin kadang-kadang orang ogah datang,” katanya.
Timothy menyebut, kondisi ini tidak hanya dialami restoran atau kafe, tetapi juga pelaku usaha kecil dan menengah yang lahannya terbatas.
Ia mengakui, bahkan ada konsumen yang akhirnya memilih menggunakan atribut pengemudi ojek online (ojol), agar mendapat tarif parkir lebih murah.
“Kalau misalnya kita pakai jaket ojol, cuma Rp1.000. Tapi masalahnya enggak semua orang punya jaket itu,” tuturnya.
Selain masalah parkir yang memberatkan pelanggan, Timothy yang juga CEO salah satu merek camilan asal Kota Surabaya itu menyoroti keresahan pengusaha terkait rencana penerapan parkir digital dan kewajiban pajak parkir 10 persen.
“Yang cukup kita khawatirkan adalah penarikan pajak. Ada gambaran bahwa kita ini harus bayar pajak 10 persen untuk pengenaan parkir,” katanya.
Ia menjelaskan, sebagian usaha besar memang sudah memiliki sistem parkir sendiri. Contohnya gerai Mie Gacoan yang sudah punya sistem one gate, di mana pengelolaan parkirsnya masuk ke resto karena sudah jelas.
Namun persoalan muncul bagi banyak usaha lain yang memiliki lahan parkir sendiri tetapi belum mampu membangun sistem tersebut.
“Yang repot adalah sistemnya di mana mereka punya lahan parkir sendiri, tapi belum bisa membangun one gate sistem ini. Kadang jukir (juru parkir) datang pun juga kita sudah perkenal, kita enggak minta. Mereka datang, pemasukannya semua mereka terima,” katanya.
Ia menyebut pengusaha berada di posisi sulit ketika tetap harus menanggung pajak parkir, sementara tidak mendapatkan pemasukan dari parkir itu sendiri.
“Yang repot adalah bagaimana Pemkot menagih kita pajak. Pajak yang di mana pemasukan ini kita enggak dapat share sama sekali dari jukir,” ujarnya.
Meski demikian, Timothy menegaskan pihaknya tidak menutup diri terhadap rencana parkir digital selama ekosistemnya siap. Karenanya, ia berharap sudah ada kesiapan lapangan jika digitalisasi diterapkan.
“Apakah ekosistemnya sudah siap? Teman-teman Ojol siap enggak dengan sistem tap dan lain-lain? Apalagi dengan sinyal, edukasinya apakah sudah masuk ke mereka?” ujarnya.
Menurut Timothy, pelaku usaha pada prinsipnya siap mendukung kebijakan apa pun selama diterapkan dengan jelas dan adil. “Selama istilahnya semuanya sudah oke, semuanya lancar, kita pasti akan mendukung ke arah mana pun,” katanya.
Namun ia menekankan perlunya kejelasan regulasi, terutama terkait hubungan antara pengusaha dan jukir. Dia berharap para jukir juga dieduaksi agar penarikan 10 persen itu bisa imbang.
Ia juga mengingatkan agar kebijakan parkir tidak justru membuat pengusaha kecil terbebani.
Timothy berharap penataan parkir di Surabaya ke depan tidak hanya fokus pada penarikan pajak, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap iklim usaha dan kenyamanan konsumen.
“Karena parkir itu bukan cuma soal kendaraan berhenti, tapi benar-benar ngaruh ke orang mau datang atau enggak ke tempat usaha,” ujarnya. (bil/ipg)

