Oleh: Fadillah Maryam Bau Agiel
Program Studi Doktor Ilmu Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta / Program Studi Sarjana Farmasi, Universitas Almarisah Madani Makassar
Perkembangan ilmu pengetahuan modern telah membawa transformasi signifikan dalam pengembangan obat herbal, khususnya yang diposisikan sebagai produk halal. Integrasi pendekatan ilmiah seperti farmakologi modern, bioteknologi, metabolomik, dan standarisasi mutu telah meningkatkan kredibilitas obat herbal dari sekadar pengobatan tradisional menjadi bagian dari sistem kesehatan berbasis bukti. Dalam konteks masyarakat Muslim global, sertifikasi halal menjadi nilai tambah strategis yang tidak hanya menjamin kesesuaian syariah, tetapi juga memperkuat persepsi keamanan, kualitas, dan kepercayaan konsumen. Dengan demikian, obat herbal halal berpotensi besar mendukung kesehatan masyarakat sekaligus mendorong pertumbuhan industri farmasi berbasis sumber daya alam.
Manfaat utama dari perkembangan ini terletak pada peningkatan efektivitas, keamanan, dan konsistensi produk herbal. Melalui riset ilmiah, senyawa aktif dapat diidentifikasi, mekanisme kerja dipahami, serta dosis dan potensi toksisitas dapat dikendalikan secara lebih akurat. Selain itu, penerapan prinsip halal tidak hanya berkaitan dengan bahan baku, tetapi juga mencakup proses produksi, penyimpanan, dan distribusi yang higienis dan etis. Hal ini sejalan dengan konsep halalan thayyiban, yang menekankan bahwa produk tidak hanya boleh secara hukum agama, tetapi juga baik, aman, dan bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Namun, di balik manfaat tersebut, terdapat risiko etis yang perlu dicermati. Komersialisasi obat herbal halal berpotensi menggeser nilai-nilai kearifan lokal dan pengetahuan tradisional menjadi sekadar komoditas ekonomi. Praktik bioprospeksi tanpa keadilan, misalnya pengambilan sumber daya hayati dan pengetahuan masyarakat adat tanpa pembagian manfaat yang layak, menimbulkan persoalan etika serius. Selain itu, klaim ilmiah dan label halal yang tidak didukung bukti kuat dapat menyesatkan konsumen, terutama jika digunakan untuk mengejar keuntungan pasar semata tanpa memperhatikan integritas ilmiah dan moral.
Dari sisi sosial, perkembangan ini juga dapat memperlebar kesenjangan akses terhadap layanan kesehatan. Produk herbal halal yang telah melalui proses penelitian dan sertifikasi sering kali memiliki harga lebih tinggi, sehingga tidak selalu terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah yang justru menjadi pengguna utama obat tradisional. Selain itu, dominasi industri besar berpotensi meminggirkan produsen kecil dan praktisi pengobatan tradisional, yang selama ini berperan penting dalam sistem kesehatan komunitas. Ketimpangan ini dapat memicu konflik sosial dan mengurangi keberlanjutan ekosistem pengetahuan herbal lokal.
Oleh karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan modern pada obat herbal produk halal perlu dikelola secara bijak dan bertanggung jawab. Diperlukan regulasi yang kuat, transparansi riset, perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, serta edukasi masyarakat agar mampu bersikap kritis terhadap klaim produk. Dengan keseimbangan antara inovasi ilmiah, etika, dan keadilan sosial, obat herbal halal tidak hanya menjadi solusi kesehatan yang aman dan bermutu, tetapi juga sarana pembangunan berkelanjutan yang menghormati nilai kemanusiaan dan budaya. (*/)




