Refleksi Kritis Filosofis tentang Moral dan Etika terhadap Pelaksanaan KUHAP Baru

harianfajar
1 jam lalu
Cover Berita

Oleh Teguh Esa Bangsawan DJ, S.Hum., M.Hum.

Reformasi hukum pidana di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kritik mendasar terhadap praktik penegakan hukum yang cenderung legalistik, represif, dan proseduralistik.

KUHAP lama, meskipun lahir dengan semangat perlindungan hak asasi manusia pasca kolonial, dalam praktik sering direduksi menjadi alat legitimasi kekuasaan koersif negara terhadap warga negara.

Fenomena kriminalisasi berlebihan, penyiksaan terselubung, penyalahgunaan kewenangan, serta ketimpangan perlakuan hukum menunjukkan bahwa problem utama bukan semata pada norma hukum, melainkan pada absennya orientasi moral dalam pelaksanaannya.

Dalam konteks ini, KUHAP baru harus dipahami bukan hanya sebagai pembaruan teknis prosedural, tetapi sebagai rekonstruksi moral sistem peradilan pidana.
Filsafat moral menjadi landasan penting untuk menjawab pertanyaan fundamental. Misalnya, untuk apa hukum acara pidana ditegakkan, dan nilai apa yang seharusnya membimbing tindakan aparat penegak hukum?

Kerangka Teoretis Filsafat Moral dalam Hukum Acara Pidana

Dalam etika deotologis kewajiban moral aparat penegak hukum, melalui perspektif Immanuel Kant, mengatakan bahwa moralitas bertumpu pada kewajiban dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri.

Jika diterapkan dalam KUHAP baru, maka etika deontologis menuntut agar tersangka dan terdakwa tidak diperlakukan semata sebagai objek penyidikan, seperti dalam proses penahanan, penggeledahan, dan pemeriksaan harus menghormati hak-hak fundamental manusia.

Aparat penegak hukum bertindak berdasarkan kewajiban moral, bukan sekadar kepatuhan formal terhadap perintah atau target institusional.

Dengan demikian, KUHAP baru dalam kerangka ini, harus memperkuat prinsip non derogable rights, dan menjadikan pelanggaran prosedur sebagai pelanggaran etis serius, bukan sekadar kesalahan administratif.

Tujuan Moral Penegakan Hukum dalam Etika Teleologis

Dalam etika teleologis, terutama utilitarianisme menilai tindakan berdasarkan tujuan dan dampaknya.
Dalam konteks KUHAP, memiliki pertanyaan yang mendasar seperti, apakah prosedur harus dipatuhi, tetapi apakah prosedur tersebut menghasilkan keadilan substantif dan kemanfaatan sosial.

Penerapan etika teleologis dalam KUHAP baru meniscayakan: penerapan pada penyelesaian perkara yang proporsional, penghindaran kriminalisasi berlebihan terhadap pelanggaran ringan, dan orientasi pada pemulihan korban, bukan sekadar penghukuman pelaku.
Dengan demikian, KUHAP baru harus mengakomodasi mekanisme restorative justice sebagai manifestasi tujuan moral hukum pidana.

Karakter Moral Penegak Hukum dalam Etika Kebajikan

Etika kebajikan Aristoteles, menekankan pembentukan karakter moral seperti keadilan, kebijaksanaan, keberanian moral, dan empati.

Dalam pelaksanaan KUHAP baru, etika kebajikan menggeser fokus dari apa aturan hukumnya menjadi siapa penegak hukumnya, hal ini berarti aparat penegak hukum tidak cukup hanya kompeten secara teknis.

Integritas, kepekaan, nurani, dan kebijaksanaan kontekstual menjadi syarat utama. Pendidikan hukum harus mengintegrasikan etika dan filsafat moral secara substantif.

Implementasi Filsafat Moral dalam Pelaksanaan KUHAP Baru

Penyidikan dan Penahanan Berbasis Etika Martabat Manusia. KUHAP baru harus menempatkan penyidikan sebagai proses pencarian kebenaran yang bermartabat, bukan di dominiasi kekuasaan.

Penahanan harus menjadi ultimum remedium, dengan pertimbangan moral atas dampaknya terhadap kehidupan sosial, keluarga, dan reputasi tersangka.

Peran Hakim sebagai Subjek Moral

Hakim dalam KUHAP baru harus diposisikan sebagai aktor moral yang memiliki ruang diskresi etis.

Putusan tidak boleh sekadar legal correct, tetapi harus morally justifiable. Pertimbangan moral, keadilan substantif, dan konteks sosial perkara harus diakui sebagai bagian sah dari penalaran hukum.

Akuntabilitas Etis pada Aparat Penegak Hukum

KUHAP baru harus memperluas konsep akuntabilitas, tidak hanya pada pelanggaran hukum, tetapi juga ada pelanggaran etika. Penyalahgunaan kewenangan, manipulasi proses hukum, dan kekerasan prosedural harus dipahami sebagai kegagalan moral institusional.

Novelty (Kebaruan Ilmiah)

Novelty dalam tulisan ini adalah konseptualisasi KUHAP sebagai rezin etika institusional. Berbeda dari pendekatan konvensional yang memandang KUHAP sebagai instrumen prosedural.

Tulisan ini menawarkan gagasan bahwa KUHAP baru harus dipahami sebagai rezim etika instutisional, yakni sistem hukum yang secara sadar mengintegrasikan norma hukum dan nilai moral dalam setiap tahap proses pidana.

Integrasi dari Tiga Aliran Filsafat Moral dalam Analisis KUHAP. Tulisan ini tidak hanya menggunakan satu pendekatan etis, melainkan mengintegrasikan etika deontologis, teleologis, dan kebajikan secara simultan sebagai kerangka evaluatif pelaksanaan KUHAP baru dan sebuah pendekatan multidimensional yang masih jarang digunakan dalam kajian hukum acara pidana Indonesia.

Adanya Pergeseran Paradigma dari Legal Compliance ke Moral Responsibility. Kebaruan lain terletak pada pergeseran paradigma dari kepatuhan prosedural (legal compliance) menuju tanggung jawab moral (moral responsibility) aparat penegak hukum.

Hal ini, menegaskan bahwa keberhasilan KUHAP baru diukur bukan hanya dari efisiensi perkara, tetapi dari kualitas keadilan dan kemanusiaan.

Kesimpulan

Dengan demikan, kesimpulan dalam tulisan ini adalah menegaskan bahwa KUHAP baru merupakan peluang historis untuk merekonstruksi wajah penegakan hukum pidana di Indonesia.

Tanpa fondasi filsafat moral, pembaruan KUHAP berisiko menjadi sekadar perubahan tekstual yang tidak menyentuh akar problem ketidakadilan.

Dengan menjadikan filsafat moral sebagai roh pelaksanaan KUHAP baru, hukum acara pidana dapat berfungsi bukan hanya sebagai alat negara, tetapi institusi etis yang melindungi martabat manusia dan menegakkan keadilan substantif.

Saran Internalisasi Prinsip Martabat Manusia dalam Praktik Aparat Penegak Hukum

Penerapan KUHAP baru harus disertai dengan internalisasi prinsip martabat manusia (human dignity) sebagai nilai moral fundamental dalam seluruh tahapan proses peradilan pidana.

Aparat penegak hukum penyidik, penuntut umum, dan hakim perlu diposisikan bukan sekadar sebagai pelaksana norma prosedural, tetapi sebagai subjek moral yang terikat pada kewajiban etis untuk memperlakukan setiap individu sebagai tujuan pada dirinya sendiri.

Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan aparat penegak hukum perlu memasukkan filsafat moral, khususnya etika deontologis Kantian, sebagai bagian dari kurikulum wajib.

Tanpa fondasi etis tersebut, norma KUHAP baru berisiko direduksi menjadi formalitas administratif yang kehilangan makna keadilannya.

Penegasan Etika Tanggung Jawab dalam Penggunaan Diskresi

KUHAP baru memberikan ruang diskresi yang lebih luas, baik dalam penahanan, penghentian penuntutan, maupun penerapan keadilan restoratif.

Secara moral, diskresi ini harus dipahami bukan sebagai kebebasan absolut, melainkan sebagai tanggung jawab moral yang rasional. Dalam perspektif filsafat moral Kantian, diskresi hanya sah apabila dijalankan berdasarkan prinsip universalitas dan rasionalitas praktis.

Oleh karena itu, diperlukan pedoman etis operasional yang mengikat aparat penegak hukum, sehingga setiap penggunaan diskresi dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya secara hukum, tetapi juga secara moral.

Penguatan Peran Hakim sebagai Penjaga Rasionalitas Moral Hukum

Dalam pelaksanaan KUHAP baru, hakim perlu diposisikan sebagai penjaga rasionalitas moral hukum (moral guardian of the legal order), bukan sekadar penguji kepatuhan prosedural.

Hakim diharapkan aktif menilai apakah tindakan aparat penegak hukum selaras dengan prinsip proporsionalitas, keadilan substantif, dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Untuk itu, mekanisme pengujian tindakan upaya paksa dan perluasan kewenangan hakim harus dimanfaatkan sebagai instrumen koreksi moral atas praktik penegakan hukum yang berpotensi menyimpang secara etis meskipun tampak sah secara formal.

Implementasi Keadilan dalam Restoratif Berbasis Persetujuan Moral

Penerapan keadilan restoratif dalam KUHAP baru perlu dijalankan dengan kehati-hatian moral. Pendekatan ini hanya memiliki legitimasi etis apabila didasarkan pada persetujuan bebas dan rasional para pihak, serta tidak digunakan sebagai alat pragmatis untuk mengurangi beban perkara.

Dalam kerangka filsafat moral, keadilan restoratif harus diarahkan pada pemulihan martabat korban, pelaku, dan masyarakat, bukan sekadar efisiensi sistem peradilan. Oleh karena itu, negara wajib memastikan bahwa mekanisme restoratif tidak bersifat koersif atau diskriminatif.

Pembentukan Budaya dalam Akuntabilitas Moral Institusional

Pelaksanaan KUHAP baru perlu diiringi dengan pembangunan budaya akuntabilitas moral institusional, di mana setiap pelanggaran prosedural dipahami sebagai kegagalan etis negara hukum.

Aparat penegak hukum harus dimintai pertanggungjawaban bukan hanya atas kesalahan teknis, tetapi juga atas penyimpangan dari kewajiban moral yang melekat pada kewenangan publik.

Dengan demikian, sistem pengawasan internal dan eksternal perlu diarahkan untuk menilai kualitas moral praktik penegakan hukum, bukan semata-mata kepatuhan administratif.

Pengembangan Indikator dalam Evaluasi Etis KUHAP Baru

Sebagai langkah lanjutan, disarankan pengembangan indikator evaluasi etis dalam pelaksanaan KUHAP baru, seperti: tingkat penghormatan terhadap hak tersangka dan terdakwa, proporsionalitas penggunaan upaya paksa, kualitas pertimbangan moral dalam putusan hakim, serta konsistensi perlakuan manusiawi dalam seluruh proses pidana.

Indikator ini akan membantu memastikan bahwa reformasi KUHAP benar-benar mencerminkan pergeseran paradigma dari legal compliance menuju moral responsibility.

Penutup Saran

Dengan demikian, secara keseluruhan, penerapan filsafat moral dalam pelaksanaan KUHAP baru merupakan syarat fundamental bagi terwujudnya negara hukum yang berkeadilan substantif.

Tanpa dimensi moral, KUHAP baru berisiko mengulang problem klasik hukum acara pidana lama, sah secara formal, tetapi lemah secara etis. Oleh karena itu, integrasi filsafat moral bukanlah pelengkap normatif, melainkan fondasi utama legitimasi hukum acara pidana modern. (*)

Penulis, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Indonesia


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Jumlah Korban Tewas Bencana Sumatra Bertambah jadi 1.068 Orang, 190 Hilang
• 19 jam lalurctiplus.com
thumb
Pengusaha Tekstil Sebut PP Pengupahan Bisa Jadi Pisau Bermata Dua, Ini Sebabnya
• 19 menit laluidxchannel.com
thumb
Melinda Aksa: Pengolahan Maggot Kunci Kurangi Beban TPA Makassar
• 1 jam lalucelebesmedia.id
thumb
Selain Banten dan Kalsel, KPK Juga Lakukan OTT di Bekasi
• 17 jam lalumerahputih.com
thumb
Rico Waas: Korupsi Pengkhianatan terhadap Bangsa dan Rakyat
• 22 jam lalumediaapakabar.com
Berhasil disimpan.