Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menurunkan tim khusus untuk menyelidiki material kayu yang terbawa banjir dan tanah longsor di sejumlah wilayah Sumatra. Melalui Task Force Supporting Penanggulangan Bencana, BRIN melakukan forensik kayu guna mengidentifikasi jenis, asal, hingga mekanisme pergerakan kayu yang hanyut bersama bencana hidrometeorologi tersebut.
Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran berbasis data mengenai penyebab dan faktor pendukung bencana, sekaligus menjadi dasar penyusunan strategi mitigasi ke depan. Forensik kayu dinilai penting untuk melihat keterkaitan antara kondisi hutan di hulu daerah aliran sungai (DAS), aktivitas manusia, dan dampak bencana di wilayah hilir.
Peneliti Ahli Utama BRIN bidang Forensik Kayu yang juga Direktur Kebijakan Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya Alam, dan Ketenaganukliran, Ratih Damayanti, mengatakan tim forensik kayu BRIN yang terjun ke lapangan terdiri dari dirinya bersama Sudarmanto, Perekayasa Muda dari Pusat Riset Biomassa dan Bioproduk, Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material. Kegiatan ini turut melibatkan akademisi dan sejumlah lembaga terkait.
Tim diperkuat oleh dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, serta mendapat pendampingan dari Balai Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Kehutanan, Xylarium Bogoriense, Pusat Pembangunan Hutan Berkelanjutan Kemenhut, dan Bareskrim Polri. Kolaborasi lintas institusi ini dilakukan untuk memastikan proses pengambilan data dan analisis berjalan komprehensif.
"Pengambilan data dilakukan di lokasi-lokasi dengan timbunan kayu yang signifikan akibat bencana, antara lain di Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Garoga, Desa Muara Sibuntuon, Kecamatan Sibabangun, Kabupaten Tapanuli Tengah, serta di Desa Tamiang, Aceh. Selain itu, tim juga menjadwalkan survei lanjutan di Pantai Parkit, Sumatra Barat," ujar Ratih dalam keterangannya dikutip jumat, Jumat (19/12/2025)
Di lapangan, tim mengambil sampel kayu dan tanah untuk menelusuri jenis serta asal material tersebut. Selain itu, dilakukan pembuatan plot pengamatan guna menghitung volume kayu yang terbawa banjir dan longsor. Analisis ini mencakup pemetaan persentase kayu yang berasal dari aktivitas penebangan, tumbang alami akibat pelapukan, maupun kayu yang tercabut karena longsor.
"Kami menghitung berapa volume kayu yang ada, lalu memetakan persentase kayu yang berasal dari tebangan, tumbang alami (lapuk), atau tercabut akibat longsor dan banjir," jelas Ratih.
Identifikasi jenis kayu dilakukan melalui analisis struktur anatomi kayu, metode yang menjadi keahlian utama tim forensik kayu BRIN dan Xylarium Bogoriense. Untuk meningkatkan akurasi, analisis juga akan diperkuat dengan pengujian lanjutan menggunakan teknologi DNA dan DART TOFMS (Direct Analysis in Real Time-Time of Flight Mass Spectrometry) di Laboratorium Genetika Hutan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, yang tergabung dalam konsorsium WoodID Indonesia.
"Proses ini membutuhkan ketelitian karena setiap kesimpulan harus benar-benar didukung bukti ilmiah," ujarnya.
Ratih menyebutkan saat ini seluruh sampel masih berada pada tahap pengumpulan dan pengolahan awal. Data kuantitatif terkait volume dan klasifikasi kayu ditargetkan rampung dalam waktu dekat. Namun, penelusuran jenis kayu dan asal-usulnya secara detail diperkirakan memerlukan waktu sekitar satu bulan.
Ia menegaskan bahwa pendekatan forensik kayu tidak berangkat dari asumsi, melainkan dari temuan ilmiah di lapangan.
"Pendekatan forensik tidak berangkat dari asumsi, tetapi dari bukti ilmiah. Itu prinsip utama kami," tegas Ratih.
(hoi/hoi)
:strip_icc()/kly-media-production/medias/2018380/original/058022700_1521628383-Rafflesia_sumatra.jpg)


