Persiapan Natal di Cancar: Antara Ritme Adat dan Iman Katolik

kumparan.com
2 jam lalu
Cover Berita

Ritme hidup tradisional menjadi satu keunggulan bagi masyarakat Cancar, Manggarai. Kehidupan masyarakat masih bergantung pada sektor perkebunan karena secara geografis berada di tengah hamparan bukit-bukit hijau nan indah. Dengan lanskap seperti ini, perayaan Natal menemukan makna yang lebih sunyi, sederhana, tetapi justru lebih hangat dan penuh kedalaman.

Bagi masyarakat Cancar, Natal bukan hanya menjadi perayaan tahunan, melainkan momen spiritual yang dirayakan bersama komunitas dan keluarga besar. Setiap rumah, setiap beo, dan setiap kapela memiliki cara tersendiri dalam menyambut kelahiran Mori Kraeng (Sang Juru Selamat).

Gang yang dulunya gelap sekarang sudah begitu terang seakan terang Mori Kraeng langsung terpancar di sana. Adat manggarai dalam konteks ini menjadi lebih terjaga dan iman mewarnai kedalaman batin mereka.

Tulisan ini termotivasi dari keyakinan bahwa persiapan Natal di Cancar bukan hanya sekedar kegiatan teknis menjelang perayaan besar, melainkan perjumpaan dua sumber nilai: adat sebagai identitas kultural, dan iman Katolik sebagai pusat spiritual masyarakat.

Ritme Alam dan Adat sebagai Awal Persiapan

Persiapan Natal di Cancar tidak dilihat dari kalender liturgi semata. Ritme alam dan adat mengakar dalam kehidupan sehari-hari. Hidup di daerah agraris menjadikan masyarakat Cancar melihat waktu dengan tanda-tanda alam: perubahan cuaca bisa dijadikan patokan bahwa perayaan besar segera datang, termasuk Natal.

Natal dipedalaman selalu menjadi indah dengan kesadaran masyarakat dalam bergotong royong membuat hiasan Natal terbaik versi beo. Namun, jangan pernah lupa kehadiran pemicu semangat gotong royong yang telah menjadi tradisi, yaitu sopi/tuak. Tanpa kehadirannya, pekerjaan bersama terasa berat.

Setiap gang yang sebelumnya sepi, sekarang begitu banyak pohon Natal ala kadarnya terpajang hampir di depan rumah penghuninya. Ini bukan menjadi kompetisi, melainkan sudah masuk dalam tradisi, seakan bila gang tidak dihias perayaan Natal akan ditunda.

Pada kesimpulannya, ritme adat ini membentuk suasana batin masyarakat sebelum memasuki masa Natal. Kesibukan yang dijalani bukan dianggap sebagai beban, melainkan ungkapan tanggung jawab sosial dan spiritual. Dengan demikian, sebelum perayaan natal dilaksanakan, masyarakat Cancar telah lebih dahulu mempersiapkan diri melalui kerja, kebersamaan, dan kesetiaan pada nilai-nilai adat yang diwariskan secara turun-temurun.

Masa Advent: Memulai Persiapan Rohani

Masa Advent menjadi ruang bagi masyarakat Cancar untuk mempersiapkan diri secara rohani menjelang Natal. Advent dipahami sebagai masa penantian yang mengajak umat menata kembali hubungan dengan Tuhan. Di daerah pedalaman, persiapan rohani ini justru dijalani dengan kesungguhan dan kekhusukan.

Gereja Paroki Santa Maria Fatima dan kapel di berbagai stasi di Cancar menjadi pusat kegiatan umat selama Advent. Melalui doa bersama, umat dibantu memahami makna Natal secara lebih mendalam. Lilin-lilin natal yang dinyalakan secara bertahap melambangkan tumbuhnya perngharapan, sejalan dengan kesiapan batin umat menyambut kelahiran Kristus.

Peran tokoh Gereja lokal—pastor, katekis, dan pengurus lingkungan—menjadi penghubung antara ajaran iman Katolik dan realitas hidup masyarakat Cancar. Dengan cara inilah, persiapan Natal tidak berhenti pada ritual, tetapi menjelma menjadi pengalaman iman yang membumi.

Gotong Royong dan Kebersamaan dalam Persiapan Natal

Persiapan Natal di pedalaman Cancar selalu diwarnai oleh kesadaran kolektif masyarakat akan pentingnya gotong royong. Warga bersama-sama membuat hiasan Natal sederhana versi beo—yang meskipun ala kadarnya—sarat makna kebersamaan. Kegiatan ini tidak pernah dimaknai sebagai ajang kompetisi, melainkan sebagai tradisi yang menegaskan identitas komunal masyarakat.

Dalam proses gotong royong tersebut, kehadiran sopi atau tuak menjadi pemicu semangat yang tak terpisahkan. Minuman tradisional ini berfungsi sebagai perekat sosial, mencairkan suasana, dan meringankan pekerjaan bersama. Tanpanya, kerja kolektif sering terasa lebih berat. Melalui tradisi ini, kebersamaan tidak hanya dibangun lewat kerja fisik, tetapi juga melalui interaksi sosial yang hangat dan akrab.

Menjelang Natal, gang-gang yang sebelumnya sepi berubah menjadi ruang hidup yang penuh warna. Pohon Natal hasil kreativitas dengan bahan bambu tampak hampir di setiap depan rumah, menandai kesiapan bersama menyambut perayaan. Demikian juga, bambu tetap menjadi bahan pilihan dalam membuat kandang Natal.

Bagi masyarakat Cancar, menghias lingkungan bukan sekadar estetika, melainkan bagian dari kesadaran adat: seolah-olah tanpa hiasan, perayaan Natal belum pantas dimulai. Di sinilah gotong royong, tradisi, dan iman bertemu dalam persiapan Natal yang membumi.

Harmoni Adat dan Iman dalam Persiapan Natal

Perayaan Natal di Cancar memperpadukan antara adat Manggarai dan iman Katolik. Adat Manggarai memberikan kerangka yang menata kebersamaan, sementara iman Katolik memberi kedalaman spiritual yang mengarahkan makna perayaan Natal.

Nilai-nilai adat—seperti kebersamaan, penghormatan terhadap sesama, dan tanggung jawab kolektif—menemukan relevansinya dalam praktik iman Katolik. Gotong royong, doa bersama, dan kesederhanaan hidup menjadi jembatan yang menyatukan dua dunia tersebut. Dalam konteks ini, persiapan Natal bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan proses pembentukan sikap hidup yang selaras dengan nilai budaya dan ajaran iman.

Masyarakat Cancar memaknai Natal sebagai peristiwa iman yang hadir dalam realitas hidup mereka sehari-hari. Simbol-simbol adat yang sederhana, cara merayakan yang tidak berlebihan, serta keterlibatan seluruh komunitas menunjukkan bahwa iman Katolik telah berakar kuat dalam budaya lokal. Harmoni inilah yang menjadikan persiapan Natal di Cancar bukan hanya sakral, melainkan juga membumi dan kontekstual.

Orang Muda dan Harapan akan Natal yang Membumi

Dalam keseluruhan persiapan Natal di Cancar, orang muda (iset reba dan iset molas) tampil sebagai penggerak yang menjaga denyut tradisi tetap hidup. Keterlibatan mereka dalam latihan koor, persiapan liturgi, pembuatan hiasan, hingga kerja gotong royong menunjukkan bahwa Natal bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan juga milik generasi masa kini. Melalui proses ini, iset reba agu iset molas belajar mencintai adat Manggarai sekaligus menghayati iman Katolik secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pada akhirnya, persiapan Natal di tanah Cancar memperlihatkan sebuah wajah iman yang membumi. Adat dan iman tidak saling meniadakan, tetapi justru bertemu dalam kesederhanaan, kebersamaan, dan kerja kolektif. Dari gang-gang kecil yang dihiasi pohon Natal sederhana, dari tawa dalam gotong royong, hingga doa-doa yang dipanjatkan di kapel, Natal tumbuh sebagai perayaan yang hidup dalam komunitas.

Dalam kesunyian pedalaman, masyarakat Cancar mengajarkan bahwa Natal tidak harus dirayakan dengan kemewahan, tetapi cukup disambut dengan hati yang siap, tangan yang mau bekerja bersama, dan kesadaran bahwa kebersamaan adalah wujud iman yang paling nyata. Di sanalah Natal menemukan maknanya yang paling jujur dan manusiawi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
BNPB Percepat Pembangunan Huntara untuk Korban Banjir dan Longsor di 3 Provinsi Sumatera
• 5 jam laluliputan6.com
thumb
Arab Saudi Eksekusi Mati 340 Orang Sepanjang 2025
• 9 jam laluidntimes.com
thumb
Erika Carlina tak terima pengasuh anaknya kena ejekan rasis, tegaskan cari medsos si pelaku
• 1 jam lalubrilio.net
thumb
Tanpa Upgrade Mesin, Motor Bebek Ini Tetap Laku dengan Harga Segini
• 4 jam laluviva.co.id
thumb
KPK Tangkap 2 Jaksa, Termasuk Kajari Hulu Sungai Utara Kalsel
• 10 jam lalubisnis.com
Berhasil disimpan.