JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menangkap kepala daerah yang diduga terlibat korupsi. Kali ini, Bupati Bekasi Ade Kuswara ditangkap karena diduga terlibat kasus suap proyek yang ada di wilayahnya.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo mengatakan, operasi tangkap tangan atau OTT KPK di wilayah Bekasi, Kamis (18/12/2025) berhasil meringkus 10 orang. Dari pemeriksaan awal, hanya tujuh orang yang dibawa ke Gedung Merah Putih KPK, Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan intensif, salah satunya Bupati Bekasi Ade Kuswara serta sisanya dari pihak swasta.
“Ini tim juga masih terus melakukan pemeriksaan secara intensif kepada tujuh pihak yang sudah diamankan tersebut,” kata Budi, di Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Hingga pukul 18.00 WIB, pemeriksaan kepada tujuh orang tersebut masih berlangsung. Pemeriksaan dilakukan sebelum memutuskan status hukum mereka, yakni apakah akan ditingkatkan menjadi tersangka atau tidak.
Yang pasti partai tidak pernah mengajarkan kadernya untuk korupsi, sehingga ketika terjadi kasus seperti ini, tentu adalah tanggung jawab pribadi.
Selain itu, tim KPK juga menyita barang bukti dalam bentuk uang tunai berjumlah ratusan juta rupiah. Pihaknya juga sudah menyegel beberapa tempat, salah satunya ruang kerja Ade di kompleks perkantoran Pemerintah Kabupaten Bekasi.
KPK juga menyegel ruang kerja Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Bekasi Iman Nugraha; Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Bekasi Benny Sugiarto Prawiro; dan Kepala Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga, dan Bina Konstruksi Kabupaten Bekasi Henri Lincoln.
Menurut Budi, dari pemeriksaan sementara, Ade bersama pihak swasta terlibat dalam kasus suap proyek di wilayah Pemerintahan Kabupaten Bekasi. “Nanti detailnya kami akan sampaikan saat konferensi pers,” katanya.
Ade adalah kepala daerah kelima hasil Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024 yang terjerat OTT KPK. Sebelumnya, lembaga antirasuah ini menangkap Bupati Kolaka Timur Abdul Azis, Gubernur Riau Abdul Wahid, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, dan Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya.
Dua dari lima kepala daerah ini merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Selain Ade yang baru saja ditangkap, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko juga kader dari partai berlambang banteng moncong putih ini. Selebihnya, Abdul Azis berasal dari Partai Nasdem, Abdul Wahid dari PKB, dan Ardito Wijaya dari Partai Golkar.
Menanggapi kondisi ini, Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira menyatakan, partai menghormati semua proses hukum yang menjerat dua kadernya tersebut. Dia juga menegaskan, PDI-P selalu mengingatkan kader yang menjadi kepala daerah untuk tidak korupsi dalam menjalankan tugas pemerintahan.
“Kendatipun demikian, ada saja yang terjadi, dan kali ini terjadi pada Bupati Bekasi. Yang pasti partai tidak pernah mengajarkan kadernya untuk korupsi, sehingga ketika terjadi kasus seperti ini, tentu adalah tanggung jawab pribadi,” ujar Hugo.
PDI-P, kata Hugo, tentu akan mendampingi yang bersangkutan jika diminta untuk pendampingan hukum selama proses peradilan. Namun, dia menegaskan PDI-P tetap menekankan kepada para kader agar tidak melanggar hukum dan korupsi.
“Partai juga berharap dan selalu memperhatikan agar KPK juga sebagai lembaga penegak hukum berlaku adil, tidak tebang pilih dan tidak menjadi alat politik. Masyarakat tahu dan melihat banyak indikasi kasus-kasus yang lebih besar, yang seharusnya ditindak lanjuti. Namun itu didiamkan, bahkan lenyap begitu saja,” kata Hugo.
Ketua DPP PDI-P Tri Rismaharini menyayangkan Bupati Bekasi yang terjaring OTT KPK. Sebagai orang yang pernah menjabat sebagai Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Risma mengingatkan kepada kader-kader PDI-P yang memimpin daerah untuk mengemban amanah dengan baik.
“Sebetulnya di dalam hidup, apa yang kita cari? Kita enggak tahu besok mati, nanti sore bisa mati. Saat seseorang itu memilih kita, artinya mereka bergantung kehidupannya kepada kita,” kata Risma.
Oleh karena itu, lanjut Risma, seharusnya kepala daerah itu bekerja dengan integritas. Dia menekankan, kepercayaan dari publik itu harus dijaga dan jangan dikhianati dengan tindak pidana korupsi. “Kepercayaan itu. Jadi, saya berharap mari kita semua bisa menjaga amanah itu, karena itu yang paling berat,” kata Risma.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman melihat korupsi kepala daerah ini akan terus berulang. Bahkan, dia menduga KPK bisa menangkap semakin banyak kepala daerah yang terlibat korupsi karena sebagian besar melakukan kejahatan dengan modus yang mirip.
“Jualan paket pengadaan barang dan jasa dengan mendapatkan persentase kickback, jualan jabatan di daerah, atau suap perizinan atau korupsi anggaran. Ya, tidak akan jauh-jauh dari itu gitu,” kata Zaenur saat dihubungi terpisah.
Menurut Zaenur, banyak celah yang bisa dimanfaatkan untuk korupsi, bahkan di tengah penerapan teknologi. Dia beranggapan, hal yang lebih penting adalah pengawasan yang maksimal, terutama dari inspektorat di instansi pemerintahan.
Selama ini, kata Zaenur, posisi inspektorat di bawah kepala daerah sehingga tidak bisa mengawasi dengan maksimal. Oleh karena itu, dia berpendapat pemerintah perlu mendesain ulang pola pengawasan untuk menutupi celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk korupsi.
“Perlu redesign, ya, dengan mendesain ulang inspektorat agar tidak dipilih oleh kepala daerah dan tidak bertanggung jawab kepada kepala daerah. Misalnya, bertanggung jawabnya kepada level atasnya. Kalau kabupaten-kota, bertanggung jawab ke gubernur. Kalau gubernur, bertanggung jawab ke menteri dalam negeri,” usulnya.
Desain ulang ini juga tidak hanya di birokrasi pemerintahan, tetapi juga proses politik sebelum menjadi kepala daerah. Menurut Zaenur, perubahan itu diperlukan karena kondisi ini menunjukkan politik transaksional masih marak dipergunakan oleh para politisi yang ingin maju sebagai kepala daerah.
Namun, ini juga tidak menjadi alasan untuk kepala daerah dipilih oleh DPRD. Zaenur khawatir adanya perilaku korupsi di lingkungan DPRD sehingga politik transaksional berlangsung tertutup.
“Korupsinya tidak akan hilang. Korupsinya akan terus ada dan dimonopoli oleh elite-elite politik. Jadi, solusinya bukan itu (Pilkada di DPRD). Solusinya reformasi sistem kepartaian, reformasi sistem pengawasan. Itu yang paling penting,” ujarnya.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5449546/original/003874500_1766068931-dinh_bac.jpg)


