Bela Proyek Cetak Sawah di Papua, Menteri Nusron Wahid Singgung soal NKRI

katadata.co.id
2 jam lalu
Cover Berita

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid menyebut, proyek ketahanan pangan merupakan salah satu cara sebuah bangsa untuk bertahan hidup. Pernyataan Menteri Nusron ini merupakan respons terhadap rencana pemerintah mencetak sawah baru seluas 100 ribu hektare di wilayah Papua. 

Saat ditanya soal opsi diversifikasi pangan di Papua, Nusron justru menyinggung soal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

“Kita ini kan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jangan kemudian di Papua sagu, kan sagunya sudah tercukupi. Di sisi lain, ada kebutuhan beras juga,” kata Nusron, saat ditemui di Jakarta, pada Jumat (19/12).

Menurutnya, masalah ketahanan pangan ini perlu dilihat secara komprehensif. Terkait pihak-pihak yang menolak rencana tersebut, Nusron mengatakan, pemerintah akan mengajak mereka berdialog.  

Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyampaikan komitmen pemerintah pusat untuk menjadikan Papua meraih swasembada pangan dalam waktu maksimal tiga tahun. 

Menurut catatan Amran, kebutuhan beras Papua saat ini mencapai sekitar 660 ribu ton per tahun, sementara produksi lokal baru sekitar 120 ribu ton per tahun. 

“Untuk menutup kekurangan sekitar 500 ribu ton beras tersebut, dibutuhkan pencetakan sawah baru seluas kurang lebih 100 ribu hektare,” kata Amran. 

Pelaksanaan program tersebut sudah dibagi di Papua Selatan, Papua, dan Papua Barat. Amran juga menyebut ada enam provinsi di Papua yang mengajukan permohonan cetak sawah ini. 

Proyek ini bertujuan membentuk kemandirian pangan nasional tanpa ketergantungan antarwilayah. Menurut Amran, saat ini Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra sudah di jalur swasembada. Jawa bahkan telah mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. 

“Ini solusi permanen untuk mengatasi persoalan inflasi,” tuturnya. 

WALHI Papua Kritik Rencana Pemerintah

WALHI Papua menilai, swasembada pangan dan energi yang dirancang pemerintah justru cenderung menguatkan dominasi korporasi atas lahan luas, bukan didasarkan pada kebutuhan dan kearifan lokal masyarakat adat.

Monokultur besar seperti sawit dan tebu, justru mengancam keanekaragaman hayati, ekosistem hutan, serta ketahanan pangan tradisional masyarakat adat Papua. Oleh karena itu, Direktur Eksekutif WALHI Papua, Maikel Peuki, tegas menyampaikan penolakan terhadap segala bentuk deforestasi pembukaan hutan adat di Papua dengan skala besar.

“Masyarakat adat Papua tidak mau mendapat bencana ekologis yang akan datang. Papua bukan tanah kosong, Papua tolak deforestasi, Papua tolak Proyek Strategis Nasional (PSN),” tutur Maikel.

Menurutnya, pemerintah pusat dan daerah belum melibatkan masyarakat adat secara bebas dan informatif atau free, prior, and informed consent (FPIC) sebelum mengambil keputusan.

WALHI Papua memandang kebijakan ini rentan memicu konflik agraria, mempercepat kerusakan hutan, dan menghancurkan sistem pangan lokal yang selama ini bertumpu pada sagu dan hasil hutan lainnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
SEA Games 2025: Lampaui Capaian 2023, Indonesia Tembus 89 Emas 
• 3 jam lalutvrinews.com
thumb
Dari Transparansi ke Target 100%, Komitmen PAM JAYA Bangun Kepercayaan Publik
• 4 jam lalukumparan.com
thumb
Debut Gemilang Nayaka Budidharma, Pecatur Muda Asal Malang Raih Perak di Sea Games 2025
• 3 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Kesempatan Emas, BNI Buka Lowongan Kerja ODP Legal untuk Lulusan Hukum
• 17 jam lalukompas.tv
thumb
Aksi Bendera Putih di Aceh, Desak Status Bencana Nasional Diberlakukan
• 14 jam laluidntimes.com
Berhasil disimpan.