Guru Penggerak Pamit, Guru Pejuang Digital Datang: Pendidikan/Pergantian Istilah

kumparan.com
12 jam lalu
Cover Berita

Pada 3 Juli 2020, pemerintah meluncurkan Program Guru Penggerak sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar. Guru dipersiapkan melalui pendidikan berbulan-bulan untuk menjadi pemimpin pembelajaran, agen perubahan, dan penggerak komunitas belajar di sekolah. Mereka diminta tidak lagi sekadar mengajar, tetapi mengubah budaya. Lima tahun berselang, pada 18 Maret 2025, program itu resmi dihentikan. Sertifikatnya tak lagi menjadi rujukan, perannya perlahan memudar, seolah tugas menggerakkan telah selesai.

Namun belum kering jejak Guru Penggerak, negara kembali memanggil guru dengan nama baru. Pada 11 Desember 2025, lahirlah Guru Pejuang Digital—kali ini dengan narasi perjuangan, teknologi, dan percepatan. Pertanyaannya bukan soal digital atau tidak, melainkan: apakah pendidikan kita sedang bergerak maju, atau hanya berpindah istilah tanpa jeda refleksi?

Nama itu terdengar mentereng. Heroik. Kata pejuang memberi kesan darurat, seolah ruang kelas adalah medan tempur dan papan interaktif digital adalah senjata utama. Dalam peluncuran resminya melalui Pusdatin Kemendikdasmen, disebutkan bahwa 1.450 guru dan tenaga kependidikan disiapkan sebagai garda terdepan transformasi pembelajaran digital. Mereka direkrut dari berbagai simpul yang sebelumnya juga telah aktif—Duta Teknologi, komunitas belajar, dan jejaring guru inovatif—untuk mendampingi sekolah dalam pemanfaatan Papan Interaktif Digital dan platform Rumah Pendidikan.

Pesannya jelas: transformasi digital harus dipercepat, dan sekali lagi guru dipercaya sebagai ujung tombaknya.

Di atas kertas, ini tampak mulia. Siapa yang ingin sekolah tertinggal dari perkembangan zaman? Siapa yang menolak penguatan kompetensi digital guru? Persoalannya bukan pada tujuan, melainkan pada pola kebijakan yang berulang dan tergesa. Guru Penggerak belum pernah benar-benar dievaluasi secara terbuka dampaknya, tetapi panggung sudah disiapkan untuk peran baru. Tongkat estafet berpindah cepat, tanpa jeda refleksi bersama tentang apa yang berhasil, apa yang gagal, dan apa yang melelahkan guru.

Di titik ini, pertanyaan menjadi penting: apakah Guru Pejuang Digital adalah kelanjutan yang utuh, atau sekadar pengemasan ulang dari semangat lama dengan nama berbeda?

Di ruang-ruang kelas yang tak pernah masuk panggung peluncuran kebijakan, guru tetap berdiri setiap pagi dengan papan tulis yang sama, siswa dengan persoalan yang beragam, dan beban administrasi yang terus bertambah. Mereka tidak disebut pejuang, tidak pula dilekatkan label transformator. Namun merekalah yang memastikan pembelajaran tetap berlangsung ketika istilah-istilah kebijakan silih berganti, datang dan pergi tanpa pernah benar-benar menetap.

Jika ditelusuri, beban perubahan hampir selalu berhenti di pundak guru. Ketika mutu pembelajaran dipersoalkan, guru diminta berinovasi. Ketika karakter siswa dianggap rapuh, guru diminta menguatkan. Ketika teknologi tertinggal, guru diminta beradaptasi. Kini, ketika digitalisasi dikejar, guru diminta berjuang. Sementara itu, sistem—mulai dari infrastruktur yang timpang, koneksi internet yang tak merata, hingga kebijakan yang sering berubah arah—kerap hadir sebagai latar, jarang disentuh secara konsisten dan menyeluruh.

Negara terlalu sering memindahkan persoalan struktural menjadi tanggung jawab individual guru. Kata pejuang terdengar heroik, tetapi juga berbahaya. Ia bisa menjadi legitimasi halus bahwa jika transformasi gagal, yang dianggap kurang gigih adalah guru, bukan kebijakan.

Pendidikan kita tampak lebih rajin melahirkan istilah daripada membangun kesinambungan. Kita punya Program Guru Penggerak, peran Pengajar Praktik dalam pelatihannya, dan kini Guru Pejuang Digital. Guru seolah bukan manusia dengan batas tenaga dan emosi, melainkan perangkat lunak yang bisa terus diperbarui tanpa risiko kelelahan. Padahal, di balik layar program, ada guru yang tetap mengajar dengan jadwal padat, administrasi berlapis, dan ekspektasi yang tak pernah benar-benar disederhanakan.

Dalam pengalaman banyak guru, perubahan kebijakan sering datang lebih cepat daripada kesiapan di lapangan. Pelatihan selesai, sertifikat terbit, tetapi dukungan berkelanjutan kerap menguap. Guru diminta adaptif, sementara sistem terasa eksperimental. Kritik dalam konteks ini bukan penolakan terhadap kemajuan, melainkan ikhtiar menjaga agar transformasi pendidikan tidak dibangun di atas kelelahan guru.

Humanisme pendidikan seharusnya berangkat dari pengakuan bahwa guru bukan alat kebijakan, melainkan subjek yang hidup dengan kompleksitas. Guru bukan hanya penggerak, bukan hanya pejuang, dan jelas bukan sekadar target program. Guru adalah manusia yang mengajar di ruang kelas nyata, dengan siswa nyata, di tengah tuntutan administratif yang juga nyata.

Transformasi digital memang tak terelakkan. Tetapi transformasi yang sehat tidak lahir dari kejar-kejaran istilah. Ia tumbuh dari konsistensi, keberanian mengevaluasi diri, dan kemauan negara untuk berbenah bersama guru—bukan di atas guru.

Jika Guru Pejuang Digital dimaknai sebagai kelanjutan yang sungguh-sungguh dari upaya sebelumnya, ia layak didukung. Namun jika ia hanya menjadi etalase baru dari kebiasaan lama—mengganti nama tanpa mengubah fondasi—maka pertanyaan itu perlu diajukan: yang sedang bergerak ini pendidikan, atau sekadar kosa kata kebijakan?

Guru sudah terlalu sering diminta siap. Kini saatnya sistem yang benar-benar bergerak.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Sabtu Ini Harga Emas Antam Naik Rp8.000 Jadi Rp2,491 Juta per Gram
• 1 jam lalutvonenews.com
thumb
AS Luncurkan Operasi Hawkeye, Bertekad Balas Serangan ISIS di Suriah
• 3 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Anggar Indonesia pulang tanpa medali setelah kandas di perempat final
• 18 jam laluantaranews.com
thumb
Kolaborasi Lesti Kejora dan Dewi Perssik Siap Guncang HUT ke-31 INDOSIAR 
• 13 jam lalutabloidbintang.com
thumb
SPPG Dorong Efisiensi Produksi Massal dan Perkuat Ekonomi Pangan Lokal
• 23 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.