Lampung Geh, Bandar Lampung - Lembaga Bantuan Hukum Dharma Loka Nusantara (LBH DLN) menggelar dialog publik dalam rangka penutupan Legal Course Angkatan Pertama dengan mengangkat tema Rekonstruksi Wacana Keadilan, Kamis (19/12).
Dialog publik ini menjadi ruang diskusi kritis bagi peserta Legal Course, mahasiswa hukum, serta pegiat keadilan untuk membahas persoalan penegakan hukum di Indonesia yang dinilai masih menjauh dari keadilan substantif dan cenderung berhenti pada pemenuhan prosedur formal.
LBH DLN menilai upaya rekonstruksi wacana keadilan perlu dilakukan agar hukum tidak hanya dipahami sebagai norma tertulis, tetapi juga dijalankan dengan keberpihakan pada kepentingan masyarakat, khususnya kelompok rentan yang selama ini menghadapi keterbatasan akses keadilan.
Kegiatan tersebut menghadirkan empat narasumber dari latar belakang berbeda, yakni praktisi hukum Penta Peturun, akademisi Dr. Budiono, perwakilan pemuda Iqbal Ardiyansah, serta jurnalis Hendry Sihalolo.
Para narasumber membahas penegakan hukum dari perspektif praktik, pendidikan, partisipasi publik, dan peran media.
Praktisi hukum Penta Peturun menyampaikan, bahwa praktik penegakan hukum di Indonesia masih kuat dipengaruhi kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Kondisi tersebut, kata dia, berdampak pada ketimpangan akses keadilan di masyarakat.
“Dalam banyak kasus, hukum tidak berjalan secara netral. Ada relasi kuasa dan kepentingan ekonomi yang memengaruhi proses penegakan hukum, sehingga keadilan sulit diakses oleh masyarakat kecil,” ujar Penta dalam dialog tersebut.
Akademisi Dr. Budiono menyoroti persoalan struktural dalam pendidikan hukum yang dinilai turut berkontribusi pada kondisi tersebut.
Menurut dia, sistem pendidikan hukum masih menitikberatkan aspek teknis dan formal, tanpa membangun kesadaran sosial dan keberpihakan terhadap keadilan.
“Pendidikan hukum kita cenderung menghasilkan praktisi yang patuh prosedur, tetapi kurang memiliki sensitivitas sosial. Akibatnya, hukum sering kali dijalankan tanpa mempertimbangkan konteks dan dampaknya bagi masyarakat,” kata Budiono.
Dari perspektif generasi muda, Iqbal Ardiyansah menekankan pentingnya keterlibatan pemuda dalam mengawal isu keadilan.
Ia menyebut, bahwa normalisasi ketidakadilan menjadi tantangan serius apabila tidak direspons secara kritis oleh generasi muda.
“Ketika ketidakadilan dianggap sebagai sesuatu yang wajar, maka di situlah peran anak muda dibutuhkan untuk bersuara dan terlibat aktif mengawalnya,” ujar Iqbal.
Sementara itu, jurnalis Hendry Sihalolo menegaskan peran media sebagai pengawas kekuasaan, termasuk dalam praktik penegakan hukum.
Ia mengatakan, media memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan informasi secara kritis dan berimbang kepada publik.
“Media harus tetap menjalankan fungsi kontrol sosial dengan mengungkap praktik-praktik penegakan hukum yang menyimpang dan merugikan kepentingan publik,” kata Hendry.
Sementara itu, Direktur LBH DLN Ahmad Hadi Baladi Ummah atau yang akrab disapa Pupung mengatakan, Legal Course Angkatan Pertama dirancang sebagai ruang pendidikan hukum yang tidak hanya berfokus pada penguasaan aspek teknis, tetapi juga pembentukan kesadaran etik dan politik advokat.
“Legal Course ini bukan sekadar pelatihan hukum teknis. Kami ingin membentuk advokat dan pegiat hukum yang memiliki keberanian, integritas, dan keberpihakan pada keadilan substantif,” ujar Pupung.
Ia menambahkan, LBH DLN berkomitmen untuk terus memperluas ruang pendidikan hukum kritis sebagai bagian dari upaya mendorong penegakan hukum yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat. (Cha/Lua)




