Jakarta, VIVA - Polemik kepengurusan Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA PMII) memasuki babak baru.
Pimpinan PB IKA PMII hasil Musyawarah Nasional (Munas), Slamet Ariyadi, resmi mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta sekaligus melaporkan majelis hakim ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Upaya hukum banding diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) terhadap Putusan PTUN Jakarta Nomor 222/G/2025/PTUN.JKT tertanggal 15 Desember 2025.
Banding tersebut diajukan pada Jumat, 19 Desember 2025 siang oleh H. Akhmad Muqowam selaku Penanggung Jawab Munas dan Slamet Ariyadi sebagai Ketua Umum PB IKA PMII.
Perkara ini bermula dari gugatan Akhmad Muqowam dan Slamet Ariyadi terhadap Kementerian Hukum dan HAM atas penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara Nomor AHU-0000589.AH.01.08.Tahun 2025 tertanggal 11 April 2025 tentang Persetujuan Perubahan Perkumpulan Alumni PMII. Dalam perkara tersebut, Fathan Subchi tercatat sebagai Tergugat Intervensi.
Anggota tim hukum PB IKA PMII, Afriendi Sikumbang menilai putusan PTUN Jakarta yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima sarat kejanggalan dan mencederai rasa keadilan.
“Majelis Hakim patut diduga mengabaikan fakta-fakta persidangan, yang begitu terang menyajikan bukti-bukti otentik yang tidak terbantahkan. Bahkan, photo copy Akta Pendirian PB IKA PMII, yang diajukan oleh Tergugat Intervensi dan belakangan menunjukkan aslinya, diduga keras merupakan salinan yang seolah-olah asli atau otentik. Karena, asli otentiknya berada pada pihak Penggugat,” kata Afriendi kepada wartawan, Jumat, 19 Desember 2025.
Selain itu, Afriendi menilai putusan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) yang dijatuhkan majelis hakim tidak hanya bermasalah secara hukum, tetapi juga dinilai melabrak logika keadilan.
“Karena, jika Majelis Hakim menilai adanya cacat formil, sejatinya masuk dalam Putusan Sela sehingga tidak perlu memakan waktu panjang yang mencederai asas peradilan singkat dan biaya ringan,” ujar dia.
Atas dasar itu, Afriendi memastikan pihaknya menempuh langkah lanjutan dengan melaporkan majelis hakim ke lembaga pengawas.
“Secara etika dan perilaku, Majelis Hakim layak untuk dilaporkan ke Komisi Yudisial yang mengawasi etika dan perilaku hakim di Indonesia,” ujarnya.





