jpnn.com, JAKARTA - Komisioner Kompolnas Yusuf Warsyim mengatakan pihaknya akan melakukan menggali informasi penahanan tiga orang buruh oleh Polresta Banyumas, Jawa Tengah.
Sebab, penahanan tiga orang buruh tengah menjadi sorotan terkait kasus dugaan pertambangan mineral tanpa izin di Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas.
BACA JUGA: Sahroni Viralkan Dugaan Penganiayaan Terhadap ART Asal Banyumas
“Sedang Kompolnas koordinasikan untuk mendapatkan informasi awal apa dan bagaimana kronologi adanya peristiwa penahanan di Polresta Banyumas,” kata Yusuf saat dihubungi wartawan pada Kamis (18/12).
Selanjutnya, Yusuf memastikan Kompolnas akan mengawal proses hukum kasus penahanan tiga orang buruh tambang tersebut setelah mendapatkan penjelasan lengkap dari Polresta Banyumas.
BACA JUGA: Tak Dukung MADSus, Kepala Desa di Banyumas Mengaku Diancam Ketua DPRD
“Untuk selanjutnya, Kompolnas akan monitoring lebih lanjut berdasarkan informasi awal dan klarifikasi apabila benar ada penahanan sebagaimana yang dimaksud,” ujarnya.
Pada kesempatan berbeda, Praktisi Hukum Peradi SAI Purwokerto, Djoko Susanto menyoroti kasus penahanan tiga buruh tambang dalam kasus dugaan pertambangan mineral tanpa izin di Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas.
BACA JUGA: SnackVideo Dorong Pendidikan Banyumas Lewat Program Desa Sejahtera
Djoko selaku kuasa hukum tiga orang tersangka menilai penegakan hukum dalam perkara ini berpotensi salah sasaran dan mencederai rasa keadilan.
Menurut Djoko, ketiga tersangka yakni Slamet Marsono alias Marsuno, Yanto Susilo alias Yanto, dan Gito Zaenal Habidin alias Gito hanya pekerja lapangan yang menerima upah harian.
“Mereka tidak memiliki kuasa menentukan operasional tambang, apalagi mengurus perizinan. Klien kami ini cuma buruh, kerjane nurut perintah, dibayar saben dina, ora ngerti soal izin, ora nduwe kendali tambang,” kata Djoko.
Jika aparat benar-benar ingin memberantas tambang ilegal, kata dia, harusnya Polresta Banyumas membidik pihak yang mengendalikan modal, menentukan lokasi tambang, serta menikmati keuntungan dari hasil pertambangan.
“Sing kudu tanggung jawab kuwe sing megang duit dan ngatur tambang, bukan buruhe sing cuma bekerja dapat pangan,"ujarnya.
Untuk itu, ia mengkritisi Polresta Banyumas yang belum menyentuh pihak-pihak yang diduga memiliki peran strategis seperti mandor lapangan maupun pemilik tambang.
Padahal, kata dia, penegakan hukum harus dilakukan secara profesional dan transparan.
"Kalau hukum hanya tajam ke bawah, ini bakal dadi preseden ora apik. Masyarakat bisa mikir, sing gede aman si," ungkapnya.
Sementara itu, kasus dugaan tambang ilegal di Ajibarang sendiri telah resmi naik ke tahap penyidikan oleh Satreskrim Polresta Banyumas. Penyidikan dimulai sejak 29 Oktober 2025 dan telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yang seluruhnya berstatus buruh harian lepas.
Penyidik menyatakan proses hukum berjalan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri Purwokerto untuk penanganan lanjutan.
Diketahui, dalam surat bernomor B/SPDP/164/X/RES.5.5/2025/Satreskrim, Polresta Banyumas menyampaikan bahwa penyidikan dilakukan berdasarkan sejumlah ketentuan perundang-undangan, di antaranya KUHAP, Undang-Undang Kepolisian, KUHP, serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Peristiwa tersebut diduga terjadi di wilayah Grumbul Tajur RT 05 RW 03, Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, dan wilayah hukum Polresta Banyumas lainnya. Penyidikan dimulai pada Rabu, 29 Oktober 2025, oleh penyidik Satreskrim Polresta Banyumas, dan telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yang seluruhnya berstatus buruh harian lepas.
Penyidikan ini berkaitan dengan dugaan perbuatan setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengembangan, pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara tanpa izin usaha pertambangan (IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya), sebagaimana diatur dalam Pasal 161 UU Minerba atau Pasal 55 KUHP. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif



