Misinformasi, Polarisasi Politik, dan Bias Gender Menjelang Pemilu

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Menjelang pemilu dan pilkada, ruang publik digital Indonesia kembali dipenuhi arus informasi politik yang masif. Media online memainkan peran sentral dalam situasi ini; bukan sekadar sebagai penyalur berita, melainkan juga sebagai aktor yang ikut membentuk cara publik memahami realitas politik. Sayangnya, di tengah derasnya pemberitaan, dua persoalan krusial terus berulang: maraknya misinformasi dan semakin tajamnya polarisasi politik.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masa menjelang pemilu merupakan periode paling rentan terhadap penyebaran hoaks dan disinformasi. Kontestasi politik yang ketat, meningkatnya konsumsi berita, serta emosi publik yang menguat menciptakan ekosistem yang subur bagi informasi menyesatkan (Vargo, 2017).

Media online arus utama secara konsisten menyoroti isu ini dengan menekankan dampaknya terhadap stabilitas demokrasi, persatuan sosial, dan kepercayaan publik terhadap proses elektoral.

Fenomena tersebut dapat dijelaskan melalui konsep agenda setting. Media memang tidak selalu menentukan apa yang harus dipikirkan publik, tetapi sangat berpengaruh dalam menentukan isu apa yang dianggap penting untuk dipikirkan (McCombs & Shaw, 1966).

Ketika isu misinformasi dan polarisasi diberitakan secara intens dan berulang, publik diarahkan untuk memandang keduanya sebagai ancaman utama bagi demokrasi. Dalam konteks ini, media tidak hanya menyampaikan fakta, tetapi juga membentuk prioritas perhatian publik.

Namun, media tidak berhenti pada penentuan agenda. Melalui framing, media membingkai realitas politik dengan sudut pandang tertentu. Seperti dijelaskan Entman (1993), framing bekerja dengan menyeleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas, sehingga memengaruhi cara audiens memahami suatu isu. Dalam pemberitaan menjelang pemilu dan pilkada, misinformasi kerap dibingkai sebagai ancaman terhadap demokrasi, persatuan nasional, dan keamanan politik.

Framing semacam ini memang penting untuk menegaskan bahaya hoaks. Namun, narasi yang menekankan konflik dan ancaman juga berpotensi membangun iklim komunikasi politik yang penuh kecemasan dan saling curiga. Paparan terhadap berita politik yang dibingkai secara negatif dan konfliktual terbukti dapat meningkatkan kecemasan politik serta memperkuat polarisasi di masyarakat (Zúñiga, 2019).

Di balik pemberitaan tentang misinformasi dan polarisasi, terdapat persoalan lain yang sering luput dari perhatian, yakni bias gender dalam representasi media. Politik dan ruang publik masih didominasi oleh suara laki-laki dan kondisi ini tecermin dalam pemberitaan media.

Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai aktor politik, elite, dan narasumber ahli, sementara perempuan cenderung kurang terepresentasi atau ditempatkan dalam posisi periferal (Byerly & Ross, 2006; Ross & Carter, 2011).

Dalam konteks pemberitaan misinformasi, perempuan kerap direpresentasikan sebagai kelompok yang rentan terhadap hoaks atau sebagai objek program literasi digital. Narasi ini secara implisit membingkai perempuan sebagai pihak yang perlu diedukasi dan dilindungi, bukan sebagai subjek politik yang memiliki otoritas, pengetahuan, dan kapasitas pengambilan keputusan.

Padahal, representasi media memiliki implikasi langsung terhadap partisipasi politik perempuan dan kualitas demokrasi yang inklusif (Byerly & Ross, 2006).

Agenda media, dalam hal ini, tidak hanya menentukan isu apa yang dianggap penting, tetapi juga siapa yang dianggap penting. Ketika media lebih sering menampilkan laki-laki sebagai sumber utama dalam pemberitaan politik, dominasi laki-laki dalam ruang publik semakin dilegitimasi. Sebaliknya, minimnya representasi perempuan memperlemah visibilitas dan pengakuan sosial terhadap perempuan sebagai aktor politik yang setara.

Situasi ini menjadi semakin kompleks di era media digital. Audiens tidak lagi sepenuhnya pasif, tetapi turut memproduksi, menyebarkan, dan menafsirkan informasi melalui media sosial. Interaksi antara media arus utama dan media sosial mempercepat penyebaran misinformasi sekaligus memperkuat polarisasi (Vargo, 2017). Namun, kompleksitas ini justru menuntut media untuk lebih reflektif dan bertanggung jawab dalam membangun narasi.

Media memiliki peran strategis dalam menjaga kualitas demokrasi, terutama menjelang pemilu dan pilkada. Tanggung jawab tersebut tidak hanya mencakup verifikasi fakta dan penanggulangan hoaks, tetapi juga kepekaan terhadap isu representasi dan keadilan gender. Pemberitaan yang inklusif dan sensitif gender akan membuka ruang bagi partisipasi politik yang lebih setara, sekaligus memperkaya kualitas diskursus publik.

Di tengah ancaman misinformasi dan polarisasi, media seharusnya bukan hanya menjadi penanda bahaya, melainkan juga bagian dari solusi. Demokrasi yang sehat membutuhkan informasi yang akurat, narasi yang berimbang, dan representasi yang adil bagi seluruh warga negara baik laki-laki maupun perempuan. Tanpa itu, kita berisiko memiliki demokrasi yang ramai oleh informasi, tetapi timpang dalam keadilan representasi.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
AS Presentasikan Rencana Ubah Jalur Gaza Jadi Resor Futuristik ke Investor
• 4 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
KPK Ungkap Dugaan Aliran Suap Rp14,2 Miliar ke Bupati Bekasi Ade Kuswara
• 6 jam lalumatamata.com
thumb
Kasus Pemerasan WN Korsel, Kejagung Buru Keterlibatan Atasan Oknum Jaksa di Banten
• 21 jam lalumediaindonesia.com
thumb
IWIP Serahkan Bantuan Kemanusiaan bagi Korban Bencana Aceh dan Sumatera
• 20 jam lalujpnn.com
thumb
Masyarakat Adat Desak DPRD Sulsel Gelar RDP Usut Dugaan Penyimpangan GMTD
• 21 jam lalufajar.co.id
Berhasil disimpan.