Deforestasi Hutan Jambi dan Ruang Hidup yang Kian Menyempit bagi Suku Anak Dalam

kumparan.com
1 jam lalu
Cover Berita

Deforestasi Jambi menggerus hutan dan martabat Suku Anak Dalam, menggusur ruang hidup, budaya, serta hak mereka atas rimba yang dijaga turun-temurun.

Suatu waktu, di pedalaman Jambi, hutan bukan hanya deretan pohon dan suara satwa. Di sana tersimpan ingatan, doa, dan cara hidup sebuah komunitas yang sudah berabad-abad bergantung pada rimba, yaitu Suku Anak Dalam. Bagi mereka, hutan adalah rumah, ruang belajar, ruang spiritual, sekaligus sumber penghidupan yang tak tergantikan.

Suku Anak Dalam (SAD) mendiami kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dan wilayah-wilayah di sepanjang jalur lintas Sumatera. Mereka tersebar di Kabupaten Batang Hari, Tebo, Bungo, Sarolangun, Merangin, hingga Tanjung Jabung Barat.

Secara turun-temurun, mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, berpindah di dalam hutan, menggantungkan hidup pada aktivitas berburu dan meramu. Cara hidup nomaden itu bukan sekadar pilihan praktis, melainkan juga bagian dari pengetahuan dan tata nilai yang mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam.

Perubahan mulai tampak ketika hutan yang selama ini menjadi ruang hidup perlahan dikalkulasi sebagai “sumber daya” yang harus diolah secara maksimal. Dalam beberapa dekade terakhir, pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan karet skala besar, praktik penebangan liar, serta program transmigrasi mengubah wajah bentang alam Jambi.

Hutan yang dulu rapat dan gelap kini dipecah oleh jalan tanah, kanal, dan petak-petak kebun yang tertata rapi di atas peta, tetapi menyisakan kekacauan di lapangan.

Berbagai laporan lingkungan menunjukkan bahwa Jambi kehilangan ratusan ribu hektare tutupan hutan dalam kurun dua dekade terakhir, dengan kerusakan besar terjadi di kawasan hulu daerah aliran sungai dan wilayah konservasi.

Angka-angka itu sering tampil sebagai statistik: hektare yang hilang, grafik yang menurun, dan emisi yang meningkat. Namun, di balik setiap hektare hutan yang lenyap, ada jalur berburu yang terputus, sumber air yang perlahan mengecil, dan wilayah ritual yang tak lagi dapat diakses Suku Anak Dalam.

Bagi komunitas ini, deforestasi berarti desakan berlapis. Mereka tidak hanya kehilangan ruang fisik untuk hidup, tetapi juga kehilangan ruang sosial dan budaya. Ketika hutan menyusut, mereka terdorong ke pinggir, menumpang di lahan-lahan perkebunan, menetap di tepi desa, atau hidup dalam posisi tawar yang lemah di hadapan perusahaan dan kebijakan negara.

Bahkan, laporan-laporan lama mencatat bagaimana sebagian keluarga Suku Anak Dalam terpaksa berjalan jauh ke kampung-kampung sekitar, mencari penghidupan, dan tak jarang bergantung pada belas kasihan orang luar.

Di tengah tekanan tersebut, Suku Anak Dalam berupaya beradaptasi. Sejumlah kajian menunjukkan bahwa komunitas ini tidak lagi seragam. Sebagian masih memegang teguh pola hidup nomaden, sebagian lain menjadi semi-nomaden, dan ada yang mulai menetap di pinggiran desa.

Ada yang bekerja sebagai buruh di kebun karet dan sawit serta ada yang terlibat dalam program pemberdayaan yang dirancang pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Adaptasi ini sering dibaca sebagai “kemajuan”, tetapi jarang dipertanyakan: Kemajuan bagi siapa dan dengan syarat apa?

Perubahan pola hidup itu juga membawa perubahan nilai. Beberapa norma adat dan kebiasaan tradisional mengalami pergeseran. Ruang bagi ritual, cerita lisan, dan pengetahuan tentang hutan menyusut seiring menyempitnya ruang ekologis yang menopang semuanya. Ketika hutan tak lagi utuh, warisan pengetahuan yang terikat pada rimba pun perlahan kehilangan pijakan.

Dalam konteks inilah, deforestasi di Jambi tidak bisa semata dipahami sebagai persoalan teknis pengelolaan lahan. Ia adalah persoalan keadilan ekologis dan kultural. Hutan yang hilang tidak hanya mengancam keberlanjutan ekosistem, tetapi juga mengikis martabat dan hak-hak komunitas adat yang sejak awal menjaga dan hidup bersama hutan.

Di atas kertas, pembangunan kerap dijanjikan sebagai jalan menuju kesejahteraan. Namun bagi Suku Anak Dalam, pembangunan yang mengabaikan hak atas ruang hidup sering kali diterjemahkan sebagai penggusuran yang berlangsung pelan-pelan.

Pertanyaannya: Sejauh mana negara dan masyarakat bersedia mengakui Suku Anak Dalam bukan sebagai “pengganggu” di tengah proyek pembangunan, melainkan sebagai subjek yang sah atas tanah dan hutan yang telah mereka rawat turun-temurun?

Pengakuan wilayah adat, perlindungan hukum yang jelas, dan moratorium nyata terhadap deforestasi di kawasan hidup mereka adalah langkah minimum, bukan bonus kebijakan. Tanpa itu, setiap narasi tentang “pembangunan berkelanjutan” akan terus menyisakan paradoks: hutan dijanjikan diselamatkan, tetapi penjaganya justru disingkirkan.

Melindungi hutan Jambi dengan sungguh-sungguh melalui penegakan hukum, pembenahan tata kelola izin, serta pelibatan aktif komunitas adat dalam setiap keputusan berarti mengakui bahwa Suku Anak Dalam punya hak untuk terus hidup sebagai dirinya sendiri.

Pada akhirnya, cara kita memperlakukan mereka dan hutannya adalah cermin keberpihakan apakah pembangunan di negeri ini sungguh untuk semua, atau hanya untuk mereka yang punya kuasa menguasai peta.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Sebanyak 29.500 Liter BBM Mendarat ke Bener Meriah & Aceh Tengah via Udara
• 18 jam lalukumparan.com
thumb
Catatan Dahlan Iskan: Anwar Ali
• 12 jam lalugenpi.co
thumb
Festival of Twenties 2025 Hadirkan Pengalaman Multi Show untuk Generasi Usia 20-an
• 19 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Dari Jalan Hingga Dapur: SPPG Hutuo Dibangun Efisien
• 17 jam laludisway.id
thumb
Citilink Salurkan Lebih dari 13 Ton Bantuan Kemanusiaan Bank Mandiri ke Sumatera
• 5 jam laluharianfajar
Berhasil disimpan.