Mediaapakabar.com - Pihak Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) sebagai aliansi strategis dalam pergerakan melawan impunitas atas kasus kekerasan terhadap jurnalis menilai bahwa dalam beberapa hari terakhir, pembatasan terhadap pemberitaan bencana di Sumatera terjadi secara masif dan sistematis.
Polanya jelas dan berbahaya, mulai dari intimidasi aparat TNI terhadap jurnalis Kompas yang meliput bantuan internasional, penghapusan total pemberitaan bencana di detik.com, hingga penghentian siaran dan praktek sensor diri oleh CNN Indonesia TV terhadap laporan langsung dari lokasi bencana
Demikian Erick Tanjung selaku Koordinator KKJ dalam siaran persnya yang diterima di Medan pada Sabtu (20/12/2025).
Dia menyatakan bahwa dari sejumlah laporan yang menampilkan kondisi faktual di lapangan sungguh bertolak belakang dengan narasi resmi para pejabat negara. Rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan adanya upaya serius untuk mengendalikan arus informasi publik dan menutup fakta.
Oleh karenanya KKJ mendesak : 1. Presiden RI untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada seluruh jurnalis yang mengalami intimidasi dan pembatasan dalam peliputan bencana di Sumatera, serta segera menetapkan Status Bencana Nasional.
2. Presiden RI untuk menjamin perlindungan penuh terhadap kerja-kerja pers, khususnya di wilayah bencana, dan memastikan publik memperoleh informasi yang akurat dan faktual. 3. Presiden RI untuk memerintahkan seluruh pejabat negara menghentikan penyampaian pernyataan yang tidak akurat, menyesatkan dan bertentangan dengan fakta di lokasi bencana.
4. Dewan Pers untuk secara aktif mendorong dan menekan negara agar memenuhi kewajibannya dalam melindungi kemerdekaan pers, terutama di situasi bencana. 5. Perusahaan media untuk menjamin keselamatan dan perlindungan jurnalis serta pekerja media, dan menolak terlibat dalam segala bentuk pembatasan, sensor, maupun pengaburan informasi terkait bencana di Sumatera.
KKJ yang terhimpun dari 11 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta Pewarta Foto Indonesia (PFI) menyampaikan pandangan sebagai berikut:
Pertama, kemerdekaan pers terus ditekan dan dilemahkan. Pembatasan dan intimidasi terhadap jurnalis merupakan serangan langsung terhadap kemerdekaan pers, yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berekspresi dan hak warga negara untuk mengetahui. " Kemerdekaan pers adalah indikator utama kebebasan sipil dan kualitas demokrasi," tegasnya.
Tindakan intimidasi terhadap jurnalis secara langsung bertentangan dengan jaminan perlindungan hukum yang diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers. Lebih dari itu, perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana menghalang-halangi kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU Pers. Perlu ditegaskan bahwa upaya perdamaian secara informal tidak menghapus unsur pidana dari tindakan melawan hukum tersebut.
Kedua, negara diduga aktif membatasi hak atas informasi warga negara. Pembatasan pemberitaan bencana merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas informasi, yang merupakan hak asasi dan hak konstitusional warga negara. Hak ini dijamin dalam pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh dan menyampaikan informasi.
" Dalam konteks bencana, pembatasan informasi bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam keselamatan publik. Upaya penyeragaman narasi dan pengaburan fakta menunjukkan kehendak negara untuk mengontrol pengetahuan masyarakat dan mengancam kebebasan pers," ungkapnya.
Ketiga, negara berpotensi menjadi produsen disinformasi. Intervensi negara terhadap pemberitaan, termasuk dugaan perintah untuk menghentikan liputan bencana, merupakan praktik manipulasi informasi. Ketika ruang verifikasi, kritik, dan kontrol publik ditutup, pernyataan pejabat yang keliru atau menyesatkan dibiarkan hadir tanpa koreksi.
" Praktek ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi, serta melanggar kewajiban negara untuk menyediakan informasi yang benar sesuai dengan prinsip keterbukaan, akurasi dan kepentingan publik," imbuhnya.
Menurut KKJ, keseluruhan pelanggaran tersebut memperlihatkan wajah negara yang secara terang-terangan membatasi hak warganya sendiri. Di samping itu, perusahaan media juga tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya. Media memiliki mandat sebagai kontrol sosial dan ruang check and balances terhadap kekuasaan, bukan justru menjadi bagian dari mekanisme pembungkaman. (Zf)




