FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Pakar Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof. Amir Ilyas, bicara terkait kecenderungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang belakangan lebih banyak menyasar kepala daerah melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Seperti diketahui, jika dibandingkan dengan penanganan kasus-kasus besar di tingkat pusat, maka akan didapatkan perbedaan yang besar.
Dikatakan Prof. Amir, pola penegakan hukum tersebut berpotensi menimbulkan stigma negatif di tengah publik.
Ia menegaskan, pendekatan empirik yang dilakukan KPK justru memunculkan kecurigaan soal independensi lembaga antirasuah.
“KPK yang akhir-akhir ini lebih banyak menyasar kepala daerah dalam jaring OTT, daripada mempercepat kasus di pusat, seperti di kementerian misalnya kasus kuota haji dengan pendekatan empirik terhadap hukum (observer), jelas akan memunculkan stigma dan kecurigaan,” ujar Prof. Amir kepada fajar.co.id, Sabtu (20/12/2025).
Ia menyebut, kecurigaan publik mengarah pada dugaan bahwa KPK tidak sepenuhnya lepas dari pengaruh kekuasaan di tingkat pusat.
“Kecurigaan bahwa KPK besar kemungkinannya telah dikendalikan oleh jaring-jaring kekuasaan pemerintah pusat,” ucapnya.
Lanjut Prof. Amir, kecurigaan tersebut tidak muncul tanpa dasar. Ia mengaitkannya dengan perubahan posisi KPK yang kini berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
“Kecurigaan ini beralasan setelah KPK dikurangi superbody-nya dengan menempatkan KPK dalam rumpun eksekutif,” jelasnya.
Lebih jauh, ia menilai penangkapan sejumlah kepala daerah melalui OTT juga menunjukkan bahwa KPK cenderung bekerja pada wilayah perkara yang lebih mudah dibuktikan secara hukum.
“Penangkapan beberapa kepala daerah dalam OTT, juga menunjukkan bahwa KPK bekerja di ranah yang lebih gampang pembuktiannya,” katanya.
Prof. Amir menjelaskan, kasus suap yang ditangani melalui OTT umumnya memiliki karakter pembuktian yang sederhana karena jarak antaraktor yang dekat dan alur transaksi yang jelas.
“Kalau kasus OTT lebih gampang dibuktikan sebab jarak aktor dekat, nilai transaksi cepat diketahui, pelakunya tidak berlapis,” ia menuturkan.
Sebaliknya, Prof. Amir menegaskan bahwa perkara korupsi di tingkat pusat memiliki kompleksitas yang jauh lebih tinggi karena berkaitan dengan kebijakan.
“Berbeda halnya dengan korupsi di pusat, korupsinya berupa policy corruption, berbasis regulasi, kuota, konsesi, dan diskresi, dan aktor berlapis-lapis,” terangnya.
Kondisi tersebut, kata Prof. Amir, membuat KPK terkesan lebih represif di daerah ketimbang di pusat pemerintahan.
“Soal kemudahan pembuktian ini kadang KPK lebih kelihatan bekerja secara represif di daerah daripada di pusat,” imbuhnya.
Jika pola ini terus dibiarkan, ia mengingatkan akan muncul stigma penegakan hukum yang tidak adil.
“Jika pola ini dibiarkan terus, maka akan memunculkan pula stigma penegakan hukum secara diskriminatif (tebang pilih),” tegasnya.
Dampaknya, lanjut Prof. Amir, fungsi utama KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi kelas kakap berpotensi terdegradasi.
“Hingga terdegradasinya fungsi KPK untuk menangani korupsi sistemik, high level corruption, dan state capture corruption,” katanya.
Ia menekankan bahwa KPK perlu melakukan perubahan pendekatan agar tidak dipersepsikan hanya mampu menangani kasus suap di daerah.
“Agar KPK tidak kelihatan hanya mampu dipenanganan kasus suap di daerah, kurang energik untuk kasus korupsi merugikan keuangan negara di sentra pemerintahan, maka KPK sudah seharusnya memulai pembuktian progresif pada policy based corruption,” terangnya.
Menurutnya, prioritas penanganan perkara seharusnya didasarkan pada dampak sistemik, bukan semata karena kemudahan pembuktian.
“Harus memprioritaskan perkara yang berdampak sistemik, bukan karena kemudahan pembuktian saja,” lanjutnya.
Selain itu, Prof. Amir juga menekankan pentingnya transparansi KPK dalam menangani perkara di tingkat pusat.
“KPK harus transparan pada penanganan perkara di pusat dengan penjelasan sejauhmana perkembangannya,” tukasnya.
Ia menilai penjelasan normatif saja tidak cukup untuk membangun kepercayaan publik.
“Tidak dengan penjelasan secara normatif semata, tetapi harus mampu memberi penjelasan konkrit,” tambahnya.
Terutama, kata dia, mengenai kronologi singkat perkara yang sedang ditangani.
“Terutama pada kronologi singkat perkara yang sedang berada dalam penanganannya,” Prof. Amir menegaskan.
Sebagai contoh, Prof. Amir menyinggung penanganan kasus kuota haji. Ia bilang, jika menggunakan pendekatan pasal suap, seharusnya sudah ada tersangka yang ditetapkan.
“Kalau kasus suap jangan dipaksa harus dengan korupsi kerugian keuangan negara, seperti di kasus kuota Haji itu, andai mau diterapkan Pasal 5 UU Tipikor di situ, sudah ada pasti aktor yang telah ditetapkan sebagai tersangka.”
(Muhsin/fajar)



