FAJAR, SEMARANG — Ambisi PSIS Semarang untuk kembali ke habitat elite sepak bola nasional memasuki fase krusial. Putaran kedua Pegadaian Championship 2025/2026 bukan sekadar lanjutan kompetisi, melainkan medan ujian sesungguhnya bagi proyek kebangkitan Laskar Mahesa Jenar. Laga tandang melawan Barito Putera di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Sabtu (27/12/2025), menjadi pembuka yang langsung sarat tekanan.
PSIS datang dengan narasi besar: tim berpengalaman, dipenuhi pemain senior, dan kini diperkuat oleh trio naturalisasi yang kenyang asam garam sepak bola Indonesia—Esteban Gabriel Vizcarra, Otavio Dutra, dan Goncalves. Di atas kertas, kombinasi ini menghadirkan aura “skuad juara”. Namun di balik nama besar dan rekam jejak panjang, terselip pertanyaan fundamental: apakah usia dan pengalaman masih cukup untuk menjawab tuntutan kompetisi yang kian keras?
Esteban Vizcarra menjadi sorotan utama. Pemain kelahiran Belen de Escobar, Argentina, berusia 39 tahun itu telah lama menjadi bagian dari lanskap sepak bola nasional. Sejak pertama kali merumput di Indonesia pada 2009, Vizcarra telah menjelajah banyak klub besar—Persib Bandung, Sriwijaya FC, Madura United, hingga Persela Lamongan. Ia juga pernah mencatatkan satu caps bersama Timnas Indonesia pada 2018, menegaskan statusnya sebagai pemain naturalisasi yang diakui.
Sebagai gelandang serang dan winger, Vizcarra dikenal bukan karena kecepatan semata, melainkan kecerdasan membaca ruang, ketenangan dalam penguasaan bola, serta kemampuan mengambil keputusan di momen krusial. Namun usia membuat perannya tak lagi bisa dipaksakan penuh selama 90 menit. Di putaran pertama musim ini bersama Persela, Vizcarra hanya tampil enam kali dan mencetak satu gol—statistik sederhana yang mencerminkan transformasi perannya dari motor utama menjadi pengendali ritme.
Di lini belakang, PSIS menggantungkan harapan pada Otavio Dutra. Bek tengah berusia 42 tahun kelahiran Brasil itu telah mengantongi paspor Indonesia sejak 2019 dan dikenal sebagai figur pemimpin di lapangan. Dutra pernah menjadi palang pintu bagi klub-klub besar seperti Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, Madura United, hingga Persela Lamongan.
Kehadiran Dutra memberi stabilitas dan ketenangan di sektor yang selama ini kerap menjadi titik rapuh PSIS. Namun seperti Vizcarra, usia juga menjadi tantangan tersendiri. Mobilitas dan recovery menjadi faktor yang harus dikelola cermat oleh tim pelatih, terutama menghadapi lawan-lawan dengan intensitas tinggi dan transisi cepat.
Sementara itu, nama Goncalves melengkapi trio naturalisasi berpengalaman PSIS. Meski tak selalu menjadi sorotan utama, Goncalves dikenal sebagai pemain pekerja keras dengan karakter kuat. Keberadaannya menambah dimensi fisik dan mental di dalam tim—sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kompetisi panjang seperti Pegadaian Championship.
Asisten Manajer PSIS Semarang, Reza, menegaskan bahwa rekrutmen pemain senior ini bukan tanpa pertimbangan.
“Kualitas dan pengalaman mereka sangat kami butuhkan. Kami yakin Vizcarra, Dutra, dan pemain-pemain senior lain bisa membantu memperbaiki performa PSIS dan membimbing pemain muda,” ujarnya.
Namun realitas kompetisi tak selalu ramah pada romantisme pengalaman. Pegadaian Championship musim ini berlangsung ketat. Banyak klub datang dengan proyek serius, memadukan pemain muda eksplosif dan asing berkualitas. Dalam konteks itu, PSIS dituntut bukan hanya tampil rapi, tetapi juga konsisten—sesuatu yang belum sepenuhnya mereka temukan.
Posisi PSIS di klasemen Grup Timur masih belum aman. Setiap laga tandang menjadi ujian mental, terlebih menghadapi Barito Putera yang dikenal disiplin, agresif, dan efisien dalam memanfaatkan kesalahan lawan. Bermain di Stadion Gelora Delta, meski bukan kandang asli Barito, tetap menghadirkan atmosfer menekan bagi tim tamu.
Di sinilah peran trio naturalisasi diuji. Vizcarra dituntut menjadi otak permainan, Dutra menjadi komando lini belakang, dan Goncalves menjadi penyeimbang di tengah kerasnya duel. Namun sepak bola modern menuntut lebih dari sekadar kepemimpinan verbal. Intensitas, transisi cepat, dan stamina kolektif menjadi kunci.
PSIS tak bisa menggantungkan nasib hanya pada pemain senior. Mereka membutuhkan kontribusi nyata dari pemain muda, sistem permainan yang jelas, serta manajemen menit bermain yang cerdas. Vizcarra, Dutra, dan Goncalves idealnya menjadi katalis—bukan penopang tunggal.
Laga melawan Barito Putera akan menjadi tolok ukur awal. Apakah pengalaman dan mentalitas juara cukup untuk menutup celah fisik dan ritme permainan? Atau justru menjadi pengingat bahwa perjalanan menuju Super League membutuhkan keseimbangan generasi, bukan hanya nama besar?
Putaran kedua baru dimulai, tetapi bagi PSIS Semarang, waktu tak pernah benar-benar panjang. Trio naturalisasi ini membawa harapan—sekaligus risiko. Jawaban atas pertanyaan besar itu akan terungkap bukan di atas kertas, melainkan di lapangan, satu pertandingan demi satu pertandingan




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5451042/original/097753000_1766219943-Sulastiana2.jpg)